Mongabay.co.id

Berbagi Durian dengan Gajah Sumatera

Kawanan gajah liar yang berada di Sugihan-Simpang Heran. Foto: Dok. PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa]

 

Tulisan ini bagian pertama dari lima artikel yang diterbitkan untuk memperingati Hari Gajah Sedunia.

**

 

Pertengahan tahun 1993, belasan gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus] masuk persawahan Gunung Raya di Desa Tanjung Kemala, yang berada di kaki lanskap Suaka Margasatwa Gunung Raya, Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU] Selatan, Sumatera Selatan. Akibatnya, hamparan padi di persawahan warga seluas 100 hektar tersebut, sebagian besar rusak.

Sejumlah warga coba menghalau kawanan gajah itu dengan berbagai cara. Mulai dari menyalakan mercon, obor, hingga ada yang menembak dengan kecepek [senjata api rakitan]. Tindakan terakhir, menembak dengan kecepek, membuat kawanan gajah marah. Mereka bukan hanya merusak persawahan, tapi juga kebun dan pondok warga.

“Seorang bapak, almarhum dan saya lupa namanya, marah dengan warga yang menembak gajah. Seharusnya, kawanan gajah dibiarkan saja atau jangan diganggu. Sebab, pada waktunya mereka akan pergi,” kata Iptoni [57], tokoh masyarakat Suku Ranau, yang menetap di Desa Tanjung Kemala, Kecamatan Buay Pematang Ribu Ranau Tengah [BPRRT], Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU] Selatan, kepada Mongabay Indonesia, pertengahan Juni 2022.

“Dia kemudian mengambil nasi putih dan air kopi dari pondoknya di tengah sawah dan meletakkan .di atas tanah. Dia menunduk menghadap kawanan gajah. Dia berucap minta maaf atas nama warga desa. Dia pun minta agar sawah dan rumah jangan dirusak, sebab manusia adalah makhluk lemah yang ingin hidup. Lalu, jika butuh makan, kawanan gajah dipersilahkan makan nasi putih dan kopi yang dihidangkannya.”

 

Kawanan gajah liar yang berada di Sugihan-Simpang Heran. Foto: Dok. PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa]

 

Lanjutnya, “Setelah aksi permohonan bapak itu, kawanan gajah pergi. Tapi mereka tidak makan nasi putih dan air kopi yang dihidangkan. Hingga saat ini kawanan gajah tidak pernah kembali lagi.”

Peristiwa itu mengejutkan warga. Sebab, selama ratusan tahun masyarakat Suku Ranau hidup damai dengan gajah maupun satwa lainnya.

Setelah kejadian tersebut, baru diketahui penyebab kehadiran kawanan gajah karena kawasan hutan larangan Cangkah Dua yang berada di Gunung Raya dirambah. Atau, dijadikan perkebunan kopi oleh sejumlah warga. “Umumnya warga pendatang,” kata Iptoni.

“Akhirnya, hutan larang Cangkah Dua tidak lagi dirambah. Bahkan dilakukan penanaman pohon di lokasi yang rusak bersama pemerintah.”

Hutan larangan Cangkah Dua merupakan hulu dari Sungai Way Relai yang bermuara ke Danau Ranau. Sebagai sumber air persawahan dan kebun warga lima desa, yakni Desa Pilla, Desa Tanjung Kemala, Desa Jepara, Desa Suka Marga, dan Desa Tanjungsari.

“Jika hutan larangan rusak, persawahan dan perkebunan kami terganggu,” kata Iptoni.

Selain sebagai sumber air dan habitat satwa, seperti gajah, hutan larangan juga gudangnya obat alami. “Misalnya dari akar-akaran pohon atau tanaman, termasuk daunnya,” katanya.

 

Hutan larangan Cangkah Dua yang berada di kaki Gunung Raya. Hutan larangan itu merupakan habitat gajah sumatera. Foto: [Drone] Humaidy Kenedy/Mongabay Indonesia

 

Berbagi durian dengan gajah

Para leluhur Suku Ranau, kata Iptoni, sangat menghormati gajah dan harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae]. “Terhadap gajah, jangankan membunuh atau menyakitinya, berkata kasar saja tidak boleh.”

Dijelaskannya, nilai-nilai tersebut diturunkan para leluhur. Jika dilanggar, malapetaka akan menimpa pelakunya. “Kejadian kawanan gajah masuk persawahan kami tahun 1993, merupakan bukti adanya pelanggaran.”

Selain gajah, Suku Ranau juga sangat hormat pada harimau. “Tidak boleh berkata kasar, apalagi bertindak buruk. Bisa celaka semua.”

 

Iptoni [57], tokoh masyarakat Suku Ranau, menunjukan tanaman yang dapat dijadikan obat. Foto: Humaidy Kenedy/Mongabay Indonesia

 

Seorang tokoh yang mengajarkan nilai-nilai hidup harmonis dengan alam adalah Puyang Ratu Pekeh, yang makamnya tidak jauh dari lokasi persawahan. “Bukan hanya mengajarkan agama, tapi juga pertanian, perkebunan, obat-obatan, serta bagaimana sikap kita terhadap alam, khususnya gajah dan harimau.”

Terkait makanan atau tanaman, masyarakat Suku Ranau berbagi dengan gajah dan harimau. Misalnya durian.

“Kalau ada gajah makan durian di kebun, kami biarkan saja. Mereka hanya makan secukupnya.”

“Untuk harimau, saat buah durian jatuh pertama, jangan diambil. Itu jatah mereka. Buah durian beikutnya untuk kita,” lanjut Iptoni.

 

Jejak telapak gajah di kebun karet warga di Desa Sidodadi, Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU] Selatan. Foto: Humaidy Kenedy/Mongabay Indonesia

 

Hutan Saka Gunung Raya

Lanskap hutan Saka Gunung Raya luasnya mencapai 75.883 hektar dengan ketinggian sekitar 130 – 1.600 meter dari permukaan laut. Kelompok hutan Saka Gunung Raya terdiri Hutan Lindung [HL] Saka, Hutan Produksi [HP] Saka, serta Suaka Margasatwa [SM] Gunung Raya.

Saka Gunung Raya merupakan ekosistem hutan hujan tropis dataran tinggi dengan curah hujan cukup tinggi. Sama dengan kawasan hutan lainnya di Sumatera Selatan, wilayah ini tak luput dari pembalakan dan pembukaan hutan untuk perkebunan.

Berdasarkan keterangan masyarakat dan penelusuran Mongabay Indonesia selama lima hari ini lanskap Saka Gunung Raya, di wilayah ini masih terdapat kawanan gajah liar.

“Yang sering melintas sekitar lima [individu],” kata Cik Nurdin [71], tokoh masyarakat Desa Durian Sembilan, Kecamatan Buay Pemaca, Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU] Selatan, Selasa [14/06/2022].

Desa Durian Sembilan berbatasan dengan SM Gunung Raya. Desa ini merupakan jalur atau pelintasan kawanan gajah.

“Tahun 1970-an hingga 1990-an, jumlah kawanan gajah belasan hingga puluhan [individu]. Jalur pergerakannya yang dulu hutan, berubah menjadi kebun kopi dan kebun jagung milik masyarakat,” katanya.

 

Sarki, tokoh masyarakat Desa Sidodadi yang berada di kaki Gunung Raya berada di kebun karet miliknya yang menjadi pelintasan kawanan gajah. Foto: Humaidy Kenedy/Mongabay Indonesia

 

Sarki [60], tokoh masyarakat Desa Sidodadi, Kecamatan Buay Pemaca, menuturkan dulu kawanan gajah jarang melintas. Tapi sejak 2004, hampir setiap tahun. Bahkan dua tahun terakhir, dalam setahun mereka datang dua kali.

“Saat ini yang terlihat hanya lima atau enam individu. Mereka berdiam di desa ini [kebun masyarakat] sekitar satu bulan. Kemudian pergi lagi,” katanya.

Sama seperti Desa Durian Sembilan, jalur dan kawasan menetap gajah bukan lagi hutan, tapi kebun kopi, karet, dan tanaman lainnya.

Sebagian besar masyarakat yang menetap di Desa Durian Sembilan dan Desa Sidodadi merupakan pendatang dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Pendatang lokalnya dari Semendo dan Ogan.

 

Buah durian yang sangat diminati masyarakat Indonesia. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berbagi makanan

Hendra A. Setyawan dari Jejak Bumi Indonesia [JBI], sebuah organisasi lingkungan hidup di Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU] dan Kabupaten OKU Selatan, kepada Mongabay Indonesia, menjelaskan berbagai suku yang ada di Kabupaten OKU Selatan seperti Suku Ranau, Suku Dayo, dan Suku Ogan, hidup harmonis dengan alam, khususnya satwa. Baik gajah, harimau, monyet, bahkan dengan babi dan tikus.

“Bentuknya berbagi makanan,” katanya.

“Dengan gajah dan harimau masyarakat berbagi durian, pisang, dan bambu. Sementera dengan monyet masyarakat memberi pisang, sedangkan babi dan tikus berupa umbi-umbian,” lanjutnya.

 

Persawahan di Desa Tanjung Kemala yang pernah didatangi belasan gajah sumatera pada 1993. Foto: [Drone] Humaidy Kenedy/Mongabay Indonesia

 

Durian teruntuk gajah dan harimau, ditanam khusus di hutan. Atau, membiarkan mereka menikmati buah pertama dan terakhir durian yang berada di kebun warga.

Saat membuka kebun sayuran atau padi, masyarakat biasanya menanam terlebih dahulu pisang dan umbi-umbian di sekililing atau batas kebun dan sawah.

“Adanya tanaman ini membuat monyet, babi, dan tikus mendapatkan makanan, sehingga mereka tidak lagi mengganggu sawah dan kebun sayuran warga,” paparnya.

 

Exit mobile version