Mongabay.co.id

Cerita Warga Samirono-Bantar Beralih ke Biogas dan Gas Rawa

 

 

 

 

 

Samiyem, tak pernah beli gas LPG 3 kg dalam setahun ini karena sudah punya instalasi biogas di rumahnya. “Dulu, bisa dua sampai tiga tabung sebulan. Kalau sekarang sudah nggak pakai gas melon,” kata Samiyem.

Gas melon adalah sebutan untuk gas LPG 3 kg subsidi pemerintah untuk masyarakat miskin. Tabung kecil dan berwarna hijau seperti buah melon. Di Desa Samirono, Kabupaten Semarang, harga ‘melon’ Rp20.000 per tabung.

Sebelum memakai biogas, selain gas melon, Samiyem masih memasak dengan kayu bakar. Dia harus berjalan kaki sekitar 1.5 kilometer mengambil kayu bakar di tegalan (kebun).

Setiap minggu dia harus menyediakan satu hari untuk 3-4 kali bolak balik mengambil kayu. Sekali mengumpulkan kayu, bisa untuk keperluan seminggu.

Di tegalan, Samiyem menanam tembakau dan rumput untuk pakan sapi.

“Kalau pakai kayu bakar, nyumet-nya susah. Apalagi kalau musim hujan, kayu basah. Kalau pakai kayu tembakau itu juga di dada sesek.”

Tepat di belakang rumah Samiyem ada kandang berisi dua sapi. Kandang sapi didesain dengan sebagian permukaan agak miring agar memudahkan dia mengumpulkan kotoran dan memasukkan ke tangki kedap udara (digester) di halaman belakang rumah. Di dalam digester, kotoran sapi padat dicampur air dengan perbandingan satu banding satu alias satu liter kotoran dicampur satu liter air. Campuran ini dicerna dan difermentasi oleh bakteri yang menghasilkan gas methan dan gas-gas lain.

Gas yang timbul dari proses ini ditampung di dalam digester. Penumpukan produksi gas akan menimbulkan tekanan hingga dapat disalurkan ke rumah melalui pipa. Gas inilah yang dipakai Samiyem untuk memasak dengan kompor gas layaknya gas melon. Tak hanya untuk , memasak gas juga untuk penerangan lampu petromaks. Sisa fermentasi tetap bisa sebagai pupuk kandang.

“Pakainya itu aja. Udah lebih dari cukup. Ga perlu beli LPG lagi, uang bisa buat sekolah anak. Dulu, ya buat sekolah, buat beli LPG, agak berat.”

 

Insalasi bipgas di Desa Samirono. Fptp: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Selain hemat uang, Samiyem juga jadi punya banyak waktu luang karena tak perlu ambil kayu ke tegalan dan memasak dengan kayu bakar. Samiyem hanya perlu rutin mengisi digester dua kali sehari. Pengisian sore bisa untuk memasak pagi hari. Pengisian pagi untuk sore hari.

“Sekarang saya kadang cari daun cengkih untuk dijual. Bisa jadi tambahan,” kata ibu dua anak ini.

Serupa dilakukan Rukini, juga warga Samirono. Dia jauh lebih dulu pakai biogas. Sejak 2001, Rukini kebagian jatah biogas komunal yang dibangun pemerintah desa.

Rukini ingat, dapat bantuan Rp10 juta dari pemerintah untuk membangun instalasi biogas lengkap dengan semua material termasuk kompor dan lampu petromaks.

Kala itu, dia punya delapan sapi. Delakangan dia menjual beberapa sapi untuk berbagai keperluan. Kini, sisa tiga sapi dan biogas komunal sudah tak beroperasi. Kompor dan lampu Rukini sudah rusak. Dia terpaksa kembali membeli gas LPG 3 kg dan kayu bakar.

“Dulu enak pakai kompor itu tak perlu beli gas,” katanya.

Eni Lestari, Kepala Bidang Energi Baru dan Terbarukan Dinas ESDM Jawa Tengah mengatakan, biogas sebagai energi alam di masyarakat pedesaan punya potensi sangat besar. Untuk komunal, katanya perlu kemauan dan rasa tanggungjawab pengguna, baik untuk bergantian membersihkan kotoran, mengisi digester maupun mempertahankan ternak.

“Kadang ada yang hanya mau makai ga mau ngisi. Kadang sapi dijual. Karena itu sekarang pendekatan swakelola,” katanya.

Desa Samirono, terletak di kaki Gunung Merbabu dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Lokasi ini cocok buat pembudidayaan ternak.

Pada 2018, Samirono memiliki 843 keluarga dengan 2.430 sapi. Dengan limbah organik kotoran sapi cukup banyak, masyarakat memanfaatkan limbah untuk biogas.

Slamet Juriyono, Kepala Desa Samirono, mengatakan, untuk swakelola ini, pemerintah memberi fasilitas material sementara pengerjaan sendiri dengan gotong royong.

 

Memasak pakai bahan bakar biogas, dari memanfaatkan kotoran sapi. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Pada 2021, volume biogas di desa ini mencapai 644 meter kubik dengan produksi sekitar 252 meter kubik per hari. Biogas kini dipakai 152 keluarga dari total 800 keluarga.

Selain buat masak, warga juga memanfaatkan biogas untuk usaha rumah dan warung. Produk sampingan biogas berupa slurry juga sebagai pupuk.

“Inovasi masyarakat dan UMKM meningkat. Biaya listrik juga berkurang. Biasa Rp300.000 sebulan, sekarang Rp20.000-25.000,” kata Slamet.

Hingga pertengahan 2022, Slamet sudah menerima 42 lagi permintaan masyarakat untuk membangun biogas di rumah mereka.

“Sampai akhir tahun bisa ratusan usulan, Sukur-sukur 2024 Samirono sudah bisa mandiri energi,” katanya.

Slamet berharap, pemerintah tak terus impor sapi agar masyarakat desa bertahan menjadi peternak.

 

Gas rawa

Seratus kilometer dari Samirono, Murliah, warga Desa Bantar, Kabupaten Banjarnegara juga sudah meninggalkan gas melon. Perempuan 36 tahun ini bisa hemat dari pemakaian dua tabung per bulan yang saat ini harga Rp23.000 per tabung.

Murliah tak pakai biogas. Di desa ini ada potensi energi lokal berupa gas rawa (biogenic shallow gas) yang menjadi sumber alternatif baru bagi masyarakat.

“Pakai gas alam, gasnya ga bau. Kalau LPG itu sering bocor pas masangnya, bau. Kalau ini tinggal disetel, dikasih korek sudah nyala,” katanya.

Sebagai pengguna gas rawa, Murliah hanya perlu membayar iuran Rp25.000 perbulan untuk perawatan dan biaya listrik instalasi gas rawa.

Gas rawa adalah gas yang terbentuk dari bakteri metagonik pada lingkungan rawa yang merupakan lingkungan anaerobic. Gas ini terdapat pada lapisan batuan yang dangkal.

Pada 2020, Dinas ESDM Jawa Tengah membangun instalasi gas rawa untuk memasak. Mula-mula hanya dimanfaatkan 25 keluarga. Tahun ini, instalasi meluas dan bisa buat 100 keluarga, setara 12% dari keluarga di Desa Bantar.

 

Penggunaan biogas tak hanya untuk masak sehari-hari di rumah, juga untuk bikin produk UMKM. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia

 

Instalasi gas rawa dibangun di atas tanah milik desa. Pemboran di kedalaman 40 meter. Dari sumur bor, gas dialirkan dengan listrik dan empat kompresor melalui pipa sepanjang 50 meter ke tabung. Sayangnya, kapasitas tabung masih kecil.

“Karena itu Pemerintah Desa Bantar menggunakan dana desa guna menambah tiga tabung separator untuk menjaga kestabilan gas dan pembagian merata bagi penggunanya,” kata Sarwan, perangkat desa juga opertaor.

Saat ini, instalasi gas rawa bisa menjangkau rumah terjauh hingga 600 meter dari sumur bor. Dengan penambahan tiga tabung baru dia berharap bisa menjangkau lebih banyak warga.

Masalahnya, kalau listrik padam, aliran gas akan berhenti.

Gas rawa ini sebetulnya bukan hal baru bagi masyarakat Bantar.

“Sejak saya SD sudah ada ini. Dulu hanya untuk mainan, bawa selang lalu bakar api. Tapi ditakutin katanya ini bahaya,” kata Admin, Kepala Dusun 1 Desa Bantar.

Marlistya Citraningrum, Program Manager Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, saat ini untuk memasak di Indonesia identik dengan LPG. Padahal, katanya, ada sumber energi lain seperti biogas dan gas rawa yang tersedia di daerah masing-masing.

Gas rawa ditemukan di beberapa lokasi di Jawa Tengah, termasuk Desa Bantar, Kabupaten Banjarnegara – dimanfaatkan dengan fasilitas tabung pemisah, penaik tekanan, dan pipa penyaluran hingga bisa langsung digunakan masyarakat untuk kompor gas.

Desa Bantar, menunjukkan model, contoh pengelolaan dan peningkatan fasilitas dengan kombinasi iuran masyarakat dan penggunaan dana desa.

“Pemanfaatan dana desa untuk mendorong kemandirian energi dan pengembangan energi di desa, khusus energi terbarukan dapat dilakukan desa lain di Indonesia.”

 

 

Exit mobile version