Mongabay.co.id

Ketika Proyek Bendungan Rawan Hapus Jejak Arkeologi di Kalumpang [2]

 

 

 

 

Kasman berladang di tepi Sungai Karama. Saban pagi, dia mengarungi arus Sungai Karama sejauh lima menit dari seberang rumahnya, di Dusun Sumuak, Kecamatan Kalumpang, Sulawesi Barat. Ketika matahari tergelincir, Kasman meninggalkan kebun, melawan arus deras Sungai Karama.

Kebun milik Kasman adalah tanah lapang seluas tiga lapangan bulu tangkis, warisan orangtuanya. Sejak lama, kebun itu ditanami padi.

Berladang di tepi sungai, layaknya Kasman, sebetulnya telah dilakukan sejak 3.500 tahun silam oleh kelompok awal penutur austronesia, yang memulai kehidupan di lembah Sungai Karama.

Mereka dikenal dengan “Out of Taiwan”. Para ras mongoloid yang bermigrasi dari daratan Taiwan. Mencapai Sulawesi melalui jalur Filipina dan Pulau Sangihe. Pintu masuknya, Sungai Karama.

Mereka bukan hanya leluhur Kasman, tetapi orang-orang nusantara. Mereka mewarisi gen, budaya, bahasa, dan segunung tinggalan yang hingga kini terus mengusik para arkeolog.

Pada Juni 2017, tim arkeolog Indonesia, membersihkan kotak ekskavasi yang terus menganga sejak ekskavasi terakhir, pada 2004 di Minanga Sipakko, salah satu situs neolitik termasyhur di dunia, di teras Sungai Karama, hanya beberapa kilometer dari rumah Kasman.

Lubang itu adalah kotak persegi berukuran 1.5 meter, dengan liang sedalam 2.5 meter, menampakkan lapisan tanah dari periode waktu dan warna berbeda. Makin di atas, makin muda. Dari kotak itu, para arkeolog mengumpulkan tanah yang mengandung puluhan fitolit tanaman berukuran mikroskopis, termasuk sekam padi.

Pada 2020, hasil penelitian itu diumumkan. Pertanian padi, Oryza sativa tertua di Indonesia berasal dari Kalumpang. Fitolit sekam padi yang dikumpulkan memiliki tanda-tanda domestikasi, terjadi pada 3.500 tahun lalu.

Temuan menakjubkan itu, hanya bagian dari puncak gunung es. Yang belum ditemukan, lebih banyak dari apa yang telah diketahui.

Semua tinggalan itu masih menanti kesempatan untuk ditemukan. Kemungkinan ia masih terkubur di sepanjang tepian sungai. Peninggalan-peninggalan ini sedang terancam.

Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Karama akan membangun bendungan dan menaikkan permukaan sungai hingga 62 mdpl. Melesapkan sebagian tepi Sungai Karama dan Bonehau, tempat-tempat yang diperkirakan menyimpan potensi arkeologi berharga.

“Padahal dari hilir hingga hulu, sebelah-menyebelah sungai, semua punya potensi arkeologi, dan masih banyak tempat yang belum terekspos. Temuan kita ini baru 10%,” kata Budianto Hakim, arkeolog dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia. Budi terkejut melihat peta genangan PLTA Karama. Dia khawatir.

“Kalau lokasi itu jadi ditenggelamkan, kita tidak tahu potensi arkeologi apa yang akan ditenggelamkan. Jangan-jangan di situlah situs pentingnya, situs paling tua,” kata Budi.

Budi bilang, sungai Karama adalah poros hunian manusia pada masa lampau. Di sana, mereka membangun hunian, di tepi sungai dan percabangan anak-anak sungai. Sebuah pola yang mereka bawa dari negeri asal.

Pilihan itu mendekatkan mereka dengan sumber air abadi, dan menjaga kesuburan lahan pertanian mereka selamanya, sekaligus melindungi mereka dari tradisi berburu kepala, mengayau.

Alat bantu yang ditemukan sejauh ini, membuktikan mereka orang yang cerdas.

Penelitian arkeologi bagai lapisan stalagmit. Terkadang, penelitian terbaru akan menyambung penelitian sebelumnya, atau paling tidak merevisi. Penelusuran panjang ini berlangsung satu abad, saat Indonesia masih di bawah kuasa Hindia Belanda.

Sejak itu, para arkeolog baru mengidentifikasi 21 situs, menyebar sepanjang Sungai Karama.

 

Baca juga: Bagaimana Nasib Warga Kala Sungai Karama Terbendung? [1]

Sungai Karama, kaya peninggalan arkeologi. Entah apa yang masih tersimpan di sepanjang sungai di Kecamatan Kalumpang ini.

 

Membuka tabir prasejarah

Pada 1921, di sebuah kampung tak jauh dari mulut muara Sungai Karama, penduduk setempat sedang membuka jalan penghubung desa di Sikendeng, kini masuk administrasi Kecamatan Sempaga, Mamuju.

Pengerjaan terhenti, ketika mereka menemukan arca Buddha bercorak Amarawati, sebuah patung perunggu setinggi 86 centimeter, berasal dari India, abad 4 Masehi.

Caron, Gubernur Jenderal wilayah Sulawesi saat itu, meminta seorang ahli sejarah bernama A. A Cense, mencari tinggalan pendukung. Cense segera melakukan ekskavasi, mengupas lapisan demi lapisan tanah. Selama berhari-hari, Cense urung menemukan artefak yang sezaman dengan patung itu. Tetapi, Cense justru, tak sengaja membuka tabir prasejarah.

Dalam kotak ekskavasi, Cense mendapati pecahan gerabah bercorak prasejarah dan beliung persegi, sebuah perkakas batu berbentuk persegi panjang dan trapezium. Beberapa dekade berikutnya, beliung persegi menjadi jejak dasar kebudayaan austronesia sebagai petani peladang.

Saat Cense sibuk dengan temuan, penduduk menemukan benda serupa ketika membuka jalan penghubung kampung, di Kalumpang, bagian hulu Sungai Karama, puluhan kilometer nun jauh dari tempat Cense. Kabar itu segera hinggap ke telinganya.

Caron dan Cense bergegas meluncurkan ekspedisi ke lokasi itu. Mereka melawan arus Sungai Karama hanya dengan rakit! Setibanya, dua orang itu terpukau. Perjalanan penuh bahaya itu tak sia-sia.

Mereka lantas mengundang Pieter Vincent van Stein Callenfels, arkeolog dari Dinas Purbakala Hindia Belanda. Pada 1933, Callenfels mencapai Kalumpang dan melakukan ekskavasi, di Bukit Kamasi.

Namun, temuan awal Callenfels, hanya kumpulan artefak dari lapisan budaya berbeda yang telah bercampur, terganggu aktivitas pertanian penduduk. Callenfels gagal, tetapi, dia terlanjur terpikat.

Pada 1937, Callenfels kembali. Temuannya, kali ini meyakinkan. Benda-benda yang berasal dari prasejarah satu persatu terangkat.

Setelah penelitian, Callenfels menyusun teori. Bahwa budaya di Kalumpang tersusun dari tiga gelombang budaya. Hasil penelitiannya kemudian dipaparkan dalam kongres prasejarah, Prehistorian of the Far East, di Manila, pada 1951, 13 tahun setelah Callenfels wafat.

Gelombang pertama, adalah proto-neolitik. Callenfels mencirikan dengan kapak batu tajam miring, prototipe kapak batu, gerabah primitif, dan alat-alat Hoabinhian—alat batu kerakal yang diserpih pada satu atau kedua sisinya.

Gelombang selanjutnya, adalah neolitik, dicirikan oleh kapak yang ditempa halus dan gerabah polos. Gelombang terakhir, neolitik akhir. Dicirikan mata panah, pahat kecil, dan gerabah hias.

Menurut Callenfels, gelombang budaya pertama dan ketiga berasal dari utara, melewati Filipina. Tetapi teori Callenfels berbeda dengan penerusnya, Hendrik Robbert van Heekeren, analis prasejarah.

Heekeren membangun teori setelah penelitian di Minanga Sipakko, seberang Bukit Kamasi, pada 1949.

Dia menganggap, gelombang kebudayaan di Kalumpang hanya dua: neolitik awal dan neolitik akhir.

Neolitik akhir, dicirikan oleh Heekeren dengan beliung persegi dan mata tombak yang dihaluskan, beliung kecil, mata panah, alat bor, dan gergaji. Selain gerabah hias dengan pola lingkaran, spiral, segitiga, meander, pilin, lingkaran kecil, dan motif tepi kerang, yang menurut Heekeren hasil pengaruh budaya Dongson, yang berkembang di Lembah Sông Hồng, Vietnam.

Heekeren berpendapat, kedua gelombang kebudayaan itu berasal dari China Selatan, masuk Sulawesi melalui Filipina. Tetapi penelitian itu belum dapat memastikan, siapakah pembawa budaya itu.

Sehabis Heekeren mengetengahkan data-data yang lebih maju dan berarti, penelitian berikutnya baru pada 1969 dan 1970.

Penelitian 1969 dilakukan seorang arkeolog Indonesia bernama Raden Pandji Soejono, melalui teknik eksplorasi. Penelitiannya, menghadirkan pandangan baru, tentang jejak dan gelombang kebudayaan Kalumpang.

 

Sungai Karama, aliran sungai yang menjadi tumpuan warga untuk berbagai keperluan. DI sekitar sungai ini juga banyak peninggalan prasejarah. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Soejono berpendapat, periode paleometalik (perunggu) juga berlangsung di Kalumpang. Belakangan teori itu didukung bukti kuat dari penelitian Balai Arkeologi Sulawesi Selatan, pada 2013 dan 2014, di Sakkarra, Bonehau.

Periode paleometalik, dicirikan Soejono dengan gerabah bermotif geometris, yang memiliki persamaan dengan gerabah Sahuyn, dari Vietnam.

Selama satu dekade setelah Soejono, penelitian arkeologi di Kalumpang berhenti, sampai pada 1987, ketika mahasiswa dan dosen arkeologi Universitas Hasanuddin (Unhas) meluncurkan ekspedisi. Budi termasuk bagian rombongan itu.

Setelah ekspedisi Unhas, aktivitas penelitian kembali semarak dengan melibatkan peneliti Balai Arkeologi Sulawesi Selatan dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Kadang penelitian lintas negara dan menghabiskan waktu bertahun-tahun.

Penelitian 1994 dan 1995, akhirnya menemukan jejak penutur austronesia, yang diyakini sebagai pemangku budaya di Kalumpang. Penelitian itu dipimpin seorang arkeolog kawakan, Truman Simanjuntak. Penelitian itu lanjut pada 2004 hingga 2006.

Tahun-tahun berikutnya, temuan demi temuan terkuak. Lokasi penelitian pun meluas. Penelitian Balai Arkeologi Sulawesi Selatan, selama 2012-2017, paling tidak, memberi gambaran terang perjalanan kebudayaan yang berlangsung sepanjang Sungai Karama, sejak periode awal Neolitik (3800 SM) hingga akhir Paleometalik, dan awal Masa Proto-Sejarah (400 M).

“Ini situs-situs yang mendunia, bukan situs ecek-ecek,” kata Budi. “Situs ini bukan cuma milik orang Kalumpang, ini punya masyarakat Indonesia. Apakah kita harus membiarkannya tenggelam? Sementara inilah bukti peradaban.”

Tentu saja, perusahaan mengklaim proyek mereka tak melenyapkan situs-situs itu setelah merujuk hasil kajian genangan mereka. Tetapi, situs yang dimaksud hanya yang ditemukan, termasuk perkampungan dan kuburan-kuburan tua, di sepanjang Sungai Bonehau.

Dalam dokumen RKL, perusahaan akan bekerjasama dengan kelompok arkeolog untuk melestarikan situs sekitar PLTA.

Bagaimana pun, bagi Budi, kajian itu belum cukup. “Tidak boleh perusahaan sekadar memberi batasan genangan, tanpa ada simulasi. Karena ini pasti ada rembesan-rembesan dan terjadi pergeseran tanah. Tidak terbendung saja, itu luapan kalau banjir bah menggenangi sedikit kampung. Apalagi kalau terbendung.”

Kekhawatiran Budi beralasan. Situs arkeologi di Sungai Karama, beberapa terancam karena longsor dan banjir. Beberapa tahun lalu, para arkeolog menyerukan penelitian arkeologi digenjot karena alasan ini.

Di Sumuak, tinggalan arkeologi tersingkap setelah lereng yang memerangkap longsor dan meluruh ke sungai.

Menurut tradisi tuturan di Kalumpang, Sungai Karama pernah banjir bandang. Ia memaksa para penghuni meninggalkan kampung, berpindah ke tempat lebih tinggi.

 

Pemukiman warga di sekitar Sungai Karama. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

***

Eli Supayo, tengah duduk di teras rumah, ketika saya tiba, pertengahan Maret lalu, di pusat Desa Kalumpang, Kecamatan Kalumpang, Sulawesi Barat.

Pada 2011, Eli berdiri di garis depan bersama warga lain, menentang rencana PLTA di Sungai Karama. Demi itu, Eli harus bermalam di halaman Kantor Gubernur Sulawesi Barat. Berdebat dengan ilmuwan Universitas Hassanudin, sampai berdemonstrasi. Perusahaan di balik proyek itu angkat kaki, tetapi perusahaan lain datang dengan proyek sama. Eli marah bukan main.

Baginya, Sungai Karama adalah kehidupan dan penghidupan orang Kalumpang-Bonehau. Membendungnya berarti memisahkan sungai itu dari rengkuhan mereka. “Jadi, legal standing-nya itu harus kami pertahankan. Sungai Karama juga menjadi jalur transportasi kami kalau mau berkunjung ke keluarga kami yang di pesisir.”

Eli heran. “Saya tidak mengerti mengapa ada amdal yang mengabaikan hubungan itu.”

Di Kalumpang, Eli adalah Tobara Pondan, pemimpin adat Tanalotong, komunitas adat yang mendiami pesisir Sungai Karama, bagian hulu. Situs-situs purbakala tersebar di Kalumpang, baginya bukan sekadar tinggalan, juga punya hubungan mendalam dengan dirinya. “Mereka itu nenek moyang kami.”

Eli, tamatan sekol ah menengah yang gemar membaca dan menulis.. Sejak muda, dia mengumpulkan tuturan sejarah dari orang-orangtua dan membukukan. Pada 2020, Eli menerbitkan buku tentang Tanalotong dan menjadi rujukan.

Kini, Eli sudah terlampau tua untuk melawanseperti dulu. Di Kalumpang, Eli tinggal di rumah permanen dengan pekarangan luas dan asri, bersama anaknya.

Pada malam hari yang senyap, di ruang tengah, Eli membuka laptop kecil dan memanggil saya mendekat. “Ini puisi saya tentang penolakan PLTA di Karama.”

Puisi itu Eli tulis, pada Oktober 2021, sebulan setelah DND memaparkan amdal PLTA Karama, di Mamuju.

“SUNGAI KARAMA!” saya tidak menyangka, Eli akan membacanya.

“Dari awal purbakala engkau hadir di penghidupan/bonehau, karataun, dan tumbuan leling/kembarmu lahir, menyatu di situs tomatua/dalam lestari kesatuan kehidupan/tobara sumaweli penjagamu/”

Eli menghela napas panjang.

“Kami berkacak pinggang bangga berdiri di tepian mu/karena ke dalam ruangmu moyang kami meletakkan harapan dan menaruh situs tinggalannya/dalam satu pandangan hidup titanan tallu tibamban sangnguyun/”

Suara Eli naik.

“Siapa saja mengusikmu! Akan bertentangan dengan kami!/sampai berputih tulang, bersama Tobara Sumaweli bernama Lappesi, turun temurun.”

***

Pola hunian dan kehidupan di masa lampau itu berlanjut hingga sekarang. Melalui adaptasi selama ribuan tahun.

Hari ini, kapak batu tergantikan dengan kapak besi hasil produksi massal dari pabrik modern. Baju kulit kayu tempaan nenek moyang mereka, berganti baju berbahan keluaran pabrik garmen.

Baru-baru ini, Kasman mengganti padi dengan kakao di kebun, karena tuntutan hidup. Di Kalumpang, beras bukan barang dagangan.

Di Kalumpang dan Bonehau, saya menyaksikan fase perubahan, di masa Sungai Karama terlihat sebagai sumber listrik dan keuntungan. Ia digembar-gemborkan sebagai pengganti energi fosil yang kotor. (Bersambung)

 

Sungai Karama, sungai dengan aliran deras dan tepian yang sebagian tertutup rapat dengan hutan. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

********

Exit mobile version