Mongabay.co.id

Menyusuri Kampung Terapung Penuh Sampah di Batam

 

Bau busuk menyengat masuk ke rongga hidung ketika memasuki pesisir kampung terapung Agas, Kelurahan Tanjung Uma, Lubuk Baja, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Sampah plastik berserakan di bawah pelantar rumah-rumah panggung warga. Ada juga yang ikut bersama air limbah berwarna hitam pekat menuju laut.

Orang-orang berlalu lalang di jembatan beton dan kayu diantara rumah-rumah panggung masyarakat di kampung itu. Tidak jarang juga terlihat anak-anak bermain kartu gambar di antara sampah yang berserakan.

Jika kita masuk lebih jauh ke dalam, terdapat Pasar Kampung Agas. Pedagang makanan hingga sayur-sayuran berjejer di sepanjang jalan di pasar ini. “Bagi kami sudah biasa (hidup dengan sampah berserakan) ini, sudah puluhan tahun sampah disini,” ujar Yuliarti (61 tahun) salah seorang warga Tanjung Uma kepada Mongabay Indonesia beberapa waktu lalu.

Kampung Agas yang ditempati Yuliarti ini bak menjadi “kampung sampah”. Hingga satu meter sampah menumpuk di bawah rumah panggung. Sudah menjadi rahasia umum kampung ini terkenal dengan tumpukan sampah. Warga menganggap hal itu biasa saja.

Mongabay Indonesia menelusuri sumber sampah dan limbah yang mencemari pesisir kampung ini. Hingga mencari solusi agar kampung Tanjung Uma tidak menjadi jalur pencemaran laut yang terus dibiarkan.

baca : Menteri Kelautan Bersihkan Sampah di Pantai Nongsa Batam. Ada Apa?

 

Yuliarti, warga Tanjung Uma, Kota Batam, Kepulauan Riau, yang berdiri didepan rumahnya yang penuh tumpukan sampah plastik. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Kampung Penampung Sampah

Masih jelas dalam ingatan Yuliarti pada kurun 1980-an lalu. Di bawah rumah panggungnya, air laut pesisir Tanjung Uma berwarna biru. Tetapi kondisi sekarang hanyalah tinggal tumpukan sampah yang menyisakan bau busuk. “Dulu ini laut pesisir, biru dan pantainya putih, kalau logam kita lemparkan, kita menyelam masih nampak (itu logam),” kenangnya sambil berdiri di pelantar rumah panggungnya sore itu.

Di depan rumah panggung Yuli terlihat beraneka ragam sampah, mulai dari botol minuman, baju bekas, hingga styrofoam. Tidak sedikitpun menyisakan air laut yang biru dan bersih itu. Semua pesisir sudah berubah menjadi tumpukan sampah. Sampah itu sudah menumpuk setinggi satu meter. Setiap tahun tumpukan itu terus naik menjangkau ke lantai rumah warga.

Ketika air laut pasang, kata Yuli, tidak jarang air dan sampah masuk sampai ke rumah warga. “Kalau rumah saya masih aman. Rumah lain sudah kemasukan air,” kata Yuli sambil menunjuk beberapa rumah panggung yang sedikit lebih rendah dari rumahnya.

Rata-rata Kampung Agas dihuni oleh warga di atas rumah panggung. Rumah-rumah itu berada cukup rapat dari satu rumah ke rumah yang lain. Bangunan ini ditopang dengan kayu yang dipancang rapat di bawah rumah.

Sampah-sampah tersebut berada di bawah pelantaran, maupun di celah antara rumah satu dengan yang lain. Hampir di setiap pekarangan rumah ada saja sampah yang berserakan.

Sampah ini tidak hanya berasal dari sampah rumah warga Tanjung Uma yang berjumlah sekitar 8.000 jiwa. Tetapi dari berbagai penjuru, mulai dari darat hingga sampah yang berasal dari laut.

baca juga : Sampah jadi Tabungan Lebaran di Batam, Seperti Apa?

 

Beberapa warga terlihat bercengkrama didepan rumah mereka diantara tumpukan sampah di Tanjung Uma, Kota Batam. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Letak Kampung Tanjung Uma tepat di sebelah utara Pulau Batam, mengarah ke selat Singapura. Kampung ini bersebelahan dengan kawasan pusat perbelanjaan Kota Batam, mulai dari mall-mall hingga pasar tradisional terbesar di Batam (Pasar Tos 3000). Dari kawasan inilah diduga sampah darat masuk ke pesisir Tanjung Uma melalui sungai.

“Kampung kami ini juga muara sungai dari Pasar Jodoh dan Nagoya. Sampah juga ada sebagian yang terbawa sungai-sungai itu,” kata Abdul Aziz Karim (72 tahun), mantan Ketua RW 4 Kelurahan Tanjung Uma, kepada Mongabay Indonesia beberapa waktu lalu.

Tidak hanya dari darat, sampah yang menumpuk di kampung Tanjung Uma juga berasal dari laut. Sampah laut naik ke pesisir ketika air pasang terjadi. Apalagi pada musim angin utara. Kemudian ketika surut, sampah-sampah berat tersangkut di bawah pelantar rumah panggung warga, tepatnya di tonggak kayu yang terpancang di bawah rumah.

Kondisi tersebut membuat sampah menumpuk setiap air pasang surut terjadi. Dari tahun ke tahun tumpukan sampah semakin tinggi, menjangkau lantai dasar rumah panggung warga.

Seperti yang terjadi di rumah Abdul Karim. Di bawah rumah warga Tanjung Uma satu ini sudah menjadi daratan biasa, begitu juga dengan rumah sekitarnya.  Padahal dulunya adalah laut pesisir yang biru, sekarang hilang akibat penumpukan sampah. “Di bawah lantai ini sampah semua, karena tinggi tumpukan sampah sudah sampai ke lantai, akhirnya saya cor saja jadi daratan,” katanya.

Abdul mengatakan, awal membangun rumah panggungnya ini jarak antara rumah ke dasar laut mencapai sekitar 1,5 meter. Tetapi sampah terus naik dan mengendap di bawah rumahnya, sehingga sekarang menjadi daratan.

Diperkirakan telah terjadi sedimentasi atau pengendapan material termasuk sampah menjadi daratan sepanjang 15 meter di pesisir pantai Tanjung Uma. Tetapi Abdul tidak tahu pasti luas daratan yang terbentuk.

baca juga : Kampung Iklim jadi Model Kelola Sampah Masyarakat, Seperti Apa?

 

Seorang warga melihat tumpukan sampah yang berada di antara rumah panggung warga Tanjung Uma, Kota Batam. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Abdul termasuk salah satu warga Tanjung Uma yang pertama kali menetap di kawasan tersebut. Ketika pertama datang di pesisir ini pada tahun 1979, air laut memang masih bersih dan pasir putih. “Saat itu pasar dan mall-mall di atas sana belum ada, sampah mulai ada pada tahun 1995-an,” katanya.

Abdul menyimpulkan, 60 persen sampah yang masuk ke Tanjung Uma dari luar, baik dari daratan maupun terbawa laut. Sekitar 40 persennya berasal dari masyarakat di Tanjung Uma yang membuang sampah sembarangan. “Begitu juga sampah yang ada di TPS (tempat penampungan sementara), 80 persen dari kelurahan lain,” katanya.

Berbagai macam upaya sudah dilakukan pemerintah dan warga sekitar Tanjung Uma. Mulai dari memasang jaring, memungut sampah, mengadakan TPS hingga gotong royong. “Tetapi tetap saja sampahnya datang kembali,” kata Abdul.

 

Ekosistem Rusak

Rusaknya pesisir Tanjung Uma berdampak kepada nelayan pesisir di sekitar kampung ini. Sebelum tercemari oleh sampah, nelayan masih bisa menangkap ikan di sekitar pesisir. Tetapi sekarang nelayan harus menangkap ikan jauh ke laut perbatasan Indonesia dan Singapura.

Seperti yang dilakukan Edi Suherman, salah seorang nelayan Tanjung uma yang sudah menetap di kawasan ini sejak tahun 1980-an. “Dulu tinggal hidupkan kompor dan mancing, dapat ikan untuk langsung digoreng. Sekarang lihatlah,” kata Edi menunjuk ke air laut yang berada di bawah rumahnya berwarna hitam pekat dan mengeluarkan bau busuk.

Edi juga menggambarkan betapa jernihnya air laut di Tanjung Uma sebelum banyaknya perumahan. “Dulu jernih sekali, mata pancing kita bisa nampak kalau masuk laut, disini banyak ikan lebam dan dingkis,” katanya.

baca juga : Punari Pilih Pungut Sampah Dibanding Melaut

 

Seorang anak bermain di muara sungai yang hitam dan bau, sungai ini juga dicemari sampah plastik di Kampung Tanjung Uma, Kota Batam. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Sekarang Edi mengaku harus melaut ke perbatasan Indonesia dan Singapura, atau sekitar 2-3 mil ke arah Singapura. Nelayan berangkat malam hari kembali ke darat pada pagi hari. “Kadang ada yang tertangkap patroli Singapura, karena kedapatan mencuri ikan di laut mereka,” kata Edi.

Ia juga mengatakan, ikan di Singapura masih banyak karena tidak banyak nelayan yang menangkap ikan di perairan negara ‘Singa Putih’ itu. “Tetapi kalau perairan kita, lihatlah kapal-kapal itu, nelayan banyak sekali dah macam lebah di laut,” kata Edi.

Edi juga mengatakan, solusi membersihkan sampah di Tanjung Uma adalah dengan memindahkan rumah panggung warga kampung tua disini. Setelah itu baru dibersihkan secara keseluruhan.

Begitu juga yang dikatakan Abdul Aziz, solusinya dengan memindahkan warga, kemudian membersihkan pesisir ini dari sampah adalah cara memperbaiki kampung Tanjung Uma. “Harus direlokasi, karena sampah sudah sangat banyak,” katanya. (bersambung)

 

Exit mobile version