Mongabay.co.id

PLTA Karama dalam Pusaran Bisnis Energi Kotor [3]

 

 

 

 

 

 

Mentari begitu terik. Saya menepi di pinggir jalan berkelok di punggungan gunung, di Kalumpang, Mamuju, Sulawesi Barat. Jalan mendaki, berangkal batu membuat punggung hingga lengan serasa remuk.

Siang itu, pertengahan Maret lalu, saya meninggalkan Desa Kalumpang ditemani seorang warga dengan bersepeda motor, menuju Dusun Sumuak, perkampungan kecil yang akan terkena dampak pembangunan proyek bendungan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Karama.

Dari jalan ini, Sungai Karama—aliran yang akan dibendung—tampak bagai sapuan kuas, berkelok, dengan jeram deras, membelah pegunungan dan lembah-lembah hijau menghampar.

Gunung Paken dan Sandapan, menjulang tinggi, menyambut siapapun yang datang.

Lantas siapa pelaksana proyek pembangunan PLTA Karama? Keberadaan perusahaan pengembang, PT DND Hydro Ecopower (DND) tak bisa ditelusuri melalui mesin pencarian internet. Apa yang muncul hanya: PT DND Electric Power, selain tumpukan berita soal kisruh PLTA Karama.

Warga yang menerima sosialisasi proyek yang saya temui pun tak tahu. Beberapa bahkan mengira, PT DND Hydro Ecopower adalah, perwujudan perusahaan sebelumnya yang hendak membangun PLTA, pada 2011, yang mereka usir mati-matian hingga angkat kaki.

 

Baca juga: Bagaimana Nasib Warga Kala Sungai Karama Terbendung? [1]

Sungai Karama, yang digunakan warga untuk berbagai keperluan ini akan dibendung untuk keperluan PLTA. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

PT DND Hydro Ecopower berdiri pada 1 Desember 2016, dengan nama PT DND Solar Ecopower.

Data Perseroan Terbatas dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), pada 6 Desember 2019, perusahaan berganti nama, sekaligus melakukan peralihan saham.

PT DND Hydro Ecopower adalah perusahaan patungan, antara Denergy Power LLC., sebuah perusahaan asal California, negara bagian Amerika Serikat dan dua perusahaan asal Indonesia: PT D&C Engineering Company dan PT Ciptaniaga Makmur Abadi. (PT DND Electric Power juga memiliki komposisi serupa).

PT DND Hydro Ecopower merupakan perseroan tertutup, dengan skema penanaman modal asing. Sekitar 78% saham dikuasai PT D&C Engineering Company, sebuah perusahaan patungan, dimiliki PT Sumberenergi Sakti Prima, Garland Investment Limited (Hong Kong), dan Zhejiang Huaye Power Engineering (Tiongkok). Kemudian, 21% saham dimiliki PT Ciptaniaga Makmur Abadi, dan 1% Denergy Power LLC., dengan saham Rp78 juta.

Sejak 2018, Denergy Power LLC, ditangguhkan di California. Perusahaan mengatakan status penangguhan itu tak mempengaruhi proyek PLTA Karama, meskipun memakai skema penanaman modal asing.

PT DND Hydro Ecopower berkantor di KYK Building, Jalan Cideng Barat, Jakarta Pusat, alamat sama yang dicantumkan oleh Denergy Power LLC sebagai kantor cabang, dan PT D&C Engineering Company, juga PT DND Electric Power. Selain alamat, nomor telepon kantor yang dicantumkan di situs mereka juga sama.

Alamat ini, menggiring pada sebuah perusahaan yang punya sejumlah bisnis pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dan pertambangan di Indonesia: PT Sumbergas Sakti Prima (SSP).

 

Jejak bisnis energi kotor

“Kita berjuang supaya kita dapatkan energi bersih,” kata Gunawan Ichsan, Penanggung jawab wilayah PT DND Hydro Ecopower, di ujung telepon.

“Energi terbarukan ini kita mau galakkan-lah. Jadi, kita mulai dari ini [PLTA Karama].”

Demi itu, kata Gunawan, perusahaan menggelontorkan duit banyak untuk investasi pembangkit, di Mamuju. “Yang jelas lebih banyak, dari pembangkit energi fosil,”katanya tanpa menyebutkan angka.

PLTA merupakan salah satu cara beralih pada ketergantungan energi fosil dan batubara. Sisi lain, PT DND Hydro Ecopower punya jejak keterkaitan dengan bisnis energi kotor.

Pemerintah Indonesia, berkomitmen, meninggalkan energi kotor secara bertahap dan memulai transisi ke energi terbarukan. Kendati malah merevisi UU Mineral dan Batubara, yang dinilai aktivis justru memperburuk krisis iklim, hutan hujan tersisa, dan masyarakat adat.

PT DND Hydro Ecopower punya kaitan dengan sejumlah PLTU di Indonesia, antara lain, PLTU Cilacap di Jawa Tengah, PLTU Jeneponto di Sulawesi Selatan, dan PLTGU Palembang di Sumatera Selatan, melalui PT. Sumberenergi Sakti Prima, pemegang saham PT. D&C Engineering Company.

Sumberenergi Sakti Prima dimiliki Dewi Kam, konglomerat asal Indonesia. Dalam laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), Dewi Kam juga terdaftar sebagai pemilik PT Sumbergas Sakti Prima, pemegang saham PT Sumberenergi Sakti Prima.

Dewi Kam, juga tercatat sebagai pemegang saham Birken Universal Corporation, perusahaan lepas pantai yang terdaftar dalam database offshore leaks, Konsorsium Internasional Jurnalis Investigasi (ICIJ).

Selain berkaitan dengan bisnis energi fosil, PT Sumbergas Sakti Prima juga mengoperasikan bisnis tambang biji dan pasir besi di Sukabumi, dan tambang galena di Padang.

 

 

Usaha lainnya, PT Ciracap Sumber Prima, tercatat sebagai perusahaan tambang batubara di Tabalong, Kalimantan Selatan, dengan pemilik manfaatnya adalah PT Sumber Suryadaya Prima, pemegang saham PT Bayan Resources Tbk, pemegang lima kontrak batubara dan 16 konsesi pertambangan batubara di Kalimantan Timur dan Selatan. Sekitar 25% saham PT Sumber Suryadaya Prima juga dimiliki PT Ciptaniaga Makmur Abadi.

“Yang harus kita waspadai adalah green washing atau pencitraan hijau. Seolah-olah sebuah perusahaan terlihat mengembangkan energi bersih atau sebagai pendukung energi bersih,” kata Ahmad Ashov, Direktur Program Trend Asia, organisasi lingkungan yang mengadvokasi percepatan peralihan energi, di Asia.

Dalam tulisan ini, Direktur PT DND Hydro Ecopower, Yanni tak ingin berkomentar. Semua aktivitas wawancara melalui Gunawan Ichsan. “Jadi kami satu pintu saja,,” tulis Yanni melalui WhatsApp.

Gunawan mengklaim, proyek PLTA Karama adalah komitmen perusahaan untuk meninggalkan penggunaan “energi fosil”.

“Hingga dari sekarang kami sebagai perusahaan yang bergerak di bidang energi sangat fokus dan serius, untuk mencari serta mengembangkan energi baru terbarukan, dan lebih ramah lingkungan,” katanya.

 

Kawasan sekitar Sungai Karama yang akan dibangun bendungan. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

***

PT DND Hydro Ecopower, bagai satu titik kecil dari kerumunan entitas perusahaan di baliknya. Nama dan logo nyaris mirip.

Bagai benang kusut, keterkaitan antara perusahaan dan orang-orang di pucuk perusahaan tampak begitu rumit. Seseorang merangkap sebagai pengurus di perusahaan satu dan perusahaan lain, dalam satu grup. Satu perusahaan saling ‘menguasai’ perusahaan lain. Di bawah hukum Indonesia, praktik demikian tak salah.

Yanni, Direktur PT DND Hydro Ecopower, juga menjadi personalia di PT D&C Engineering Company. Komisaris PT. DND Hydro Ecopower, Yasin Rizal, melalui akun LinkedIn pribadinya, menjabat sebagai Presiden Direktur PT. Sumbergas Sakti Prima, sejak 2012, dan sejak 2008, duduk sebagai corporate secretary di perusahaan pengembang PLTU Cilacap. PT. Sumber Segara Primadoya, dengan saham dikuasai PT Sumberenergi Sakti Prima dan PT Pembangkitan Jawa Bali, anak usaha PT PLN.

Selain sebagai Komisaris PT DND Electric Power, Rizal juga menjabat sebagai executive director PT Ciracap Sumber Prima, di mana Azhary Sirajuddin, pimpinan PT Ciptaniaga Makmur Abadi, terdaftar sebagai direktur.

Selain itu, Direktur Utama PT. DND Hydro Ecopower, Thiam Leong Choo, pernah tercatat sebagai Presiden Direktur PT DND Electric Power, juga manager Denergy Power LLC., perusahaan asing, di balik proyek PLTA Karama. He Chao, komisaris utama PT DND Hydro Ecopower, sesungguhnya pemilik manfaat PT D&C Engineering Company.

Menurut Ashov, praktik demikian lumrah dalam pusaran bisnis tambang atau pembangkit. “Yang kita temukan dalam perusahaan-perusahaan lain memang begitu. Jadi, ini praktik yang sangat umum. Menyembunyikan [pemilik manfaat], berlayer-layer.”

Pada 2018, Presiden Indonesia Joko Widodo, telah meneken peraturan yang meminta perusahaan, mengungkap dan melaporkan pemilik manfaat perusahaan yang sebenarnya kepada negara, dalam rentang satu tahun sejak Perpres 13/2018 itu berlaku. Perpres itu terbit untuk mencegah tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.

Empat tahun sudah perpres itu terbit, menurut Ashov, korporasi yang melaporkan pemilik manfaat baru sekitar 20%. “Ini akan sangat berkaitan secara etik,” katanya.

Dari laman pemilik manfaat Ditjen AHU, data PT DND Hydro Ecopower tak ditemukan. Sementara, PT Sumbergas Sakti Prima mencantumkan Dewi Kam sebagai pemilik manfaat.

Pemilik manfaat adalah seorang atau perseroan yang memiliki saham dan menerima keuntungan atau laba lebih dari 25%. Namun, Ditjen AHU tak memverifikasi hasil laporan korporasi lebih lanjut.

 

 

***

Beberapa waduk PLTA justru menghasilkan emisi jauh lebih tinggi, dibandingkan pembangkit batubara. Bendungan PLTA menaikkan permukaan sungai, tanaman dan bahan organik lain melesap, meluruh waktu demi waktu, melepas karbon dioksida dan metana ke angkasa.

Selama beberapa dekade, di negara berkembang, pembangunan bendungan untuk PLTA meningkat, dan seringkali mengulangi masalah serupa yang terjadi di masa lampau: mengganggu ekologi sungai dan mengancam keanekaragaman hayati perairan dan darat.

“Secara sosial, ekonomi lokal, dan lingkungan, sulit kita katakan bahwa PLTA ini adalah energi bersih dan berkelanjutan,” kata Ashov.

Bendungan PLTA, akan menurunkan kualitas air di sepanjang sungai, menurut publikasi tahun 2019. Air tersendat di bendungan, dan ketika mengalir ke hilir telah kehabisan oksigen, yang akan “membahayakan biota sungai.”

Dalam beberapa kasus, bendungan PLTA menurunkan jumlah tangkapan ikan nelayan di bagian hilir.

Dalam dokumen analisis dampak lingkungan (andal) PLTA Karama, populasi ikan sidat dan ikan gobi (Genus: Sicyopterus) diperkirakan menurun, lantaran jangka waktu operasi begitu lama akan mengganggu pola kehidupan ikan itu.

Gobi, atau penja, telah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Kalumpang-Bonehau sejak lama. Tradisi itu dikenal dengan maduang, atau menangkap penja yang dilakukan ketika musim kemarau.

Bila bendungan PLTA Karama terbangun, warga yang saya temui memastikan tradisi itu tinggal cerita.

Penja adalah sumber protein tambahan. Mereka akan mengeringkan sebelum diolah jadi santapan lezat. Seringkali dibikin sambal atau dimasak dengan santan kelapa.

Sungai Karama menjadi habitat dua spesies penja, yang sekilas mirip. Memiliki tubuh meruncing, mata melotot, dan memanjang hingga seukuran jari telunjuk.

Mereka adalah, Sicyopterus longifilis, berwarna coklat kehitaman dan berbintik-bintik hitam menyebar sepanjang pundak hingga ekor. Sicyopterus pugnans, berwarna oranye kecoklatan dan pundak tertutupi belang-belang hitam pucat.

 

Ilustrasi. Pembangkit air, sebagai energi terbarukan di antara energi kotor, PLTU batubara.. Grafis: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Dua spesies ini hidup di arus sedang sampai tinggi, cenderung dangkal, melekat pada batu kerikil dan bebatuan, memakai alat pengisap di bagian perut.

Penja termasuk jenis ampidromi. Aktivitas bereproduksi hingga penetasan semua dilakukan di sungai. Larva-larva yang menetas, hanyut ke laut dan tumbuh menjadi ukuran remaja (juvenile), sebelum kembali bermigrasi ke sungai.

Mereka yang lolos dari tangkapan orang pesisir, meneruskan perjalanan menuju hulu sungai di Kalumpang, hingga ketinggian 100 mdpl—sesuatu yang tak mungkin kalau ada bendungan. Di tepi sungai, orang-orang menunggu menangkapi mereka.

Aih. Nanti tidak adami itu. Bagaimana caranya mau naiki bendungan? Karena bendungan kayak air terjun?” kata Kasman, warga Sumuak.

Perusahaan mengklaim, bendungan tak akan menghambat pola migrasi penja atau biota sungai lain. “Pintu ada empat. Ada pintu air turbin, di dalamnya memang ada baling-baling. Tapi baling-baling itu ramah lingkungan, sudah dirancang supaya hewan yang masuk tidak mengalami kerusakan,” kata Gunawan.

“Terus ada pintu air pengalihan, di sisi kiri kanan bendungan, hingga di situlah biota-biota lain lewat bersama sedimen. Jadi, aliran air ini hanya numpang lewat.”

Selain biota sungai, dalam dokumen andal, bendungan PLTA Karama akan mengganggu ekosistem penting bagi hewan-hewan darat endemik, macam julang Sulawesi (Aceros cassidix), hingga monyet-monyet endemik Sulawesi.

Bagaimanapun, air menjadi sumber utama energi di seluruh dunia, dan telah memasok 71% kebutuhan, pada tahun 2016. Tetapi, di negara maju, trend pembongkaran bendungan PLTA lebih banyak daripada jumlah proyek pembangunan baru. Biaya perawatan yang melangit jadi satu alasan utama penghancuran bendungan itu, selain harga mahal yang mesti ditanggung secara sosial dan lingkungan.

World Commission on Dams pada 2000, menaksir, sekitar 40-80 juta orang di seluruh dunia tergusur dari kampung mereka, karena dampak bendungan besar termasuk bendungan PLTA. Banyak dari mereka belum dimukimkan kembali atau menerima ganti rugi—jika ada.

Di Sulawesi Barat, pemerintah mencaplok 12 sungai sebagai potensi PLTA, total bisa menghasilkan listrik mencapai 1.427,7 MW.

Saat ini, PLTA Karama menanti rekomendasi lingkungan dari Dinas Lingkungan Hidup Sulbar.

“Sampai sekarang belum ada keluar,” kata Aco Takdir, Kepala DLH Sulbar. “Sementara berproses.” (Selesai)

 

 

 

*******

Exit mobile version