Mongabay.co.id

Anomali Cuaca Sulitkan Petani Garam

 

 

 

 

Petani garam terdampak perubahan iklim. Cuaca tak menentu hingga menyulitkan petani menggarap lahan garam mereka. Pertanian garam ini sangat bergantung terhadap cuaca. Biasanya, saat musim kemarau di Indonesia berlangsung enam bulan. Satu setengah bulan, petani garam gunakan untuk mempersiapkan lahan sampai pengaturan sirkulasi air laut.

Sejak air dialirkan dari laut, paling lama perlu 20 hari lebih untuk panen, paling singkat satu minggu, tergantung metode yang digunakan. Anomali iklim menyulitkan pengaturan itu semua.

Ubaid Abdul Hasan, Koordinator Forum Petani Garam Madura mengatakan, bila musim kemarau lebih memberikan harapan baik bagi petani. Sebaiknya, bila musim buruk, tidak mendukung untuk produksi garam.

“Ini sudah masuk bulan ke delapan masih turun hujan,” katanya, Senin (15/8/22).

Petani asal Desa Pinggir Papas, Kecamatan Kalianget, Sumenep ini bilang, produksi garam musim ini turun, biasa sekitar 150-180 ton per hektar, kini hanya 70-80 ton per hektar dalam satu musim.

“Bukan berarti tidak ada garam di wilayah kami, tetap ada garam itu, cuma ya hanya beberapa petani saja yang sudah panen,” katanya.

Bila hujan tiba saat proses penggaraman, katanya, air garam menjadi ‘muda’ lagi. Memang tidak mulai penggaraman dari awal, katanya, tetapi harus mengolah lagi. Itu pun tetap tergantung cuaca.

Di tengah cuaca tak menentu, para petani garam tetap menggarap lahan mereka dengan harapan cuaca membaik. Bertani garam adalah pekerjaan utama.

“Kami hanya bisa pasrah semoga cuaca bagus, panas, walaupun tidak sebagus musim kemarau yang normal.”

 

Pengangkutan garam. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

“Punya saya sendiri hanya ada satu pantong yang sudah dipungut, tidak besar, hanya sekitar 100 karung, lima ton. Untuk yang lain masih belum,” kata petani yang punya tujuh hektar lahan penggaraman itu.

Di wilayahnya, sekitar 10 orang panen garam. Harga garam sudah naik dua kali lipat dari sebelumnya, menyentuh angka Rp1,3 juta per ton, tetapi barang sedikit.

Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur bilang, hal-hal yang dialami para petani garam ini dampak perubahan iklim.

Pada 2012, ada penelitian di Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) tentang dampak perubahan iklim terhadap petani garam di Sampang dan Sumenep.

Dalam penelitian itu mengungkapkan, petani garam sangat terdampak perubahan iklim karena dalam proses penggaraman melibatkan penguapan. Kualitas penguapan ini, katanya, tergantung cuaca, kelembapan udara.

“Kalau kita bicara soal petani garam, itu yang menjadi masalah ini air laut kan juga menguap. Nah, penguapan air laut itu juga berpengaruh pada kelembapan udara. Kelembapan udara ini juga yang menentukan garam ini baik atau enggak,” katanya.

Faktor lain yang mempengaruhi penggaraman, adalah angin, di titik dan waktu tertentu angin cukup kencang.

Angin terlalu kencang, katanya, juga bisa menjadi penyebab beberapa infastruktur rusak, antara lain kincir angin untuk mengolah air.

Satu sisi, suhu sangat panas bisa meningkatkan kualitas garam, tetapi bila terlalu panas, sampai di atas 35-38 derajat celcius, berbahaya bagi petani, Jadi, katanya semua harus stabil dan aman bagi garam maupun manusianya.

“Suhu udara stabil antara 30-32 derajat celcius dengan penyinaran matahari 100%, dan kelembapan udara kurang dari 50%,” katanya.

Menurut Wahyu, perubahan iklim harus menjadi perhatian bersama, baik pemerintah nasional maupun global.

Dalam konteks pesisir, kata Wahyu, perlu pemetaan ulang wilayah-wilayah yang perlu ‘hijau’ kembali.

“Tanda kutip ‘dihijaukan kembali’ ini adalah ruang-ruang mangrovenya. Mangrove ini menjadi penting sebagai bagian adaptasi dan mitigasi iklim. Selain untuk menjaga permukaan pesisir, sekitar pesisir. Mangrove ini punya daya ikat karbon yang bagus.”

Madura, kata Wahyu, terimbas perubahan iklim. Dampaknya, bukan hanya pada pertanian garam, juga sektor lain.

“Dampaknya, tidak hanya pada petani tambak tradisional, nelayan tradisional juga.”

 

Lahan petani garam di Madura. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Tak stabli

Fathol Amin membiarkan lahan garam tak tergarap selama tiga tahun terakhir. Harga garam murah. Belum lagi anomali iklim menyulitkan petani dan mendorong ketidakstabilan harga garam.

Sebanyak 14 gudang penyimpanan garam Fathol yang berukuran 36x 6 meter per bangunan itu penuh, tumpukan garam itu tak terjual karena harga anjlok. Harga garam menyentuh harga terendah sampai Rp150.000 –Rp200.000 per ton. Sebelumnya, dia pernah menjual Rp.2,5 juta per ton.

Baru pada pertengahan 2022, harga garam berangsur membaik. Garamnya ditawar Rp1,1 juta per ton.

“[Harga rendah] 14 gudang [isi garam] tidak saya jual,” kata petani sekaligus pedagang garam asal Desa Lombang, Kecamatan Gili Genting,Madura, belum lama ini.

Pada 2015, PT Garam mendapatkan penugasan pemerintah pusat untuk menyerap garam untuk stabilisasi harga dengan anggaran Rp204 miliar. Sejak 2016-Desember 2020, mereka sudah menyerap garam rakyat 152, 9 juta ton di seluruh Indonesia dengan anggaran Rp189, 1 miliar:

Pada 2016, menyerap gram 8,9 juta ton, 2018 sebanyak 115, 6 juta ton, tahun 2019 sebanyak 28, 2 juta ton, dan 2020 sebanyak 99.900 ton.

“Tahun 2017 ada anomali iklim, kita tidak bisa melakukan penyerapan karena harga sudah di atas rata-rata,” kata Indra Kurniawan, Sekretaris Perusahaan PT Garam.

PT Garam mengusulkan perubahan rencana bisnis kepada pemerintah pusat. Pada April 2018, disetujui PT Garam bisa melakukan penyerapan.

Harga garam pada 2018–2019 sempat meroket lalu menukik pada tahun 2020, dari Rp1, 2 juta ke Rp400.000 per ton. Penyebabnya, impor garam cukup besar.

“Kalau kenapa impor. Itu sebenarnya kebijakan pemerintah pusat. PT Garam dengan ada impor itu kita juga kena imbasnya.”

Kurniawan bilang, garam konsumsi Indonesia sudah swasembada, tetapi tak untuk garam industri. Dia bilang, masih pekerjaan rumah dalam memenuhi kualitas garam.

November tahun lalu, Pimpinan Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PC PMII) Sumenep demontrasi di depan Kantor PT Garam (BUMN), Kecamatan Kalianget, Sumenep. Mereka menuntut optimalisasi serapan garam lokal, dan penuntasan masalah harga garam yang rendah. Juga, peningkatan kualitas garam PT Garam sebagai dengan petani garam lokal.

Pada 2019, tak ada serapan garam petani Sumenep dan harga pun murah, hanya Rp500.000-Rp600.000 per ton untuk kualitas nomor satu (K1), padahal kantor pusat PT Garam di Sumenep.

Berdasarkan data Dinas Perikanan Sumenep 2021, dari 1.967 hektar lahan di 11 kecamatan penghasil garam, produksi 57. 753 ton atau 30% dari target 192.947 ton. Yang terserap pada 2021 sekitar 40%.

“PT. Garam berdiri di sini sudah bertahun-tahun, ia memproduksi garam sendiri, meningkatkan kualitas garam sendiri, tetapi kurang memperhatikan kualitas garam lokal yang hanya mencapai 40% serapan garam, berbeda dengan tahun sebelumnya 70%,” kata Qudsiyanto, Ketua PMII Sumenep.

Dia bilang, tak rela bila tanah Sumenep hanya diambil sumber daya alamya tanpa memberikan dampak baik kepada masyarakat.

 

Sarana milik PT Garam yang ada di Sumenep. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

 

Sumenep menjadi kabupaten termiskin kedua di Jawa Timur, setelah Sampang. PT Garam yang berpusat di Sumenep, katanya, seharusnya memberikan dampak signifikan.

Arif Haendra, Direktur Operasi dan Pengembangan PT Garam, yang menemui massa waktu itu mengakui, Indonesia masih belum swasembada garam, perlu pencarian solusi bersama-sama. Dia juga ingin iklim usaha yang baik yang berpihak kepada garam rakyat.

“Kita tahu, kebutuhan garam Indonesia 4,6 juta ton, produksi tahun ini baru 1,3 juta ton, tapi kenapa harga tidak berpihak kepada kita?” tanyanya.

Rofiqi Romdani, petani garam dari Desa Gapura Barat, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep, bilang, ketika harga anjlok berkisar Rp600.000 per ton, petani merugi.

Para petani, katanya, biasa menjual garam ke tengkulak. Sebelum mengarap lahan garam (talangan), sudah ada pembicaraan dengan tengkulak. Penggarap lahan sepakat dengan pemilik lahan (ngala’ paron). Laba bersih dibagi dua antara penggarap dan pemiliki lahan setelah dipotong modal produksi.

Terkadang, pedagang garam yang memberikan modal untuk petani-penggarap dengan salah satu ketentuan hasil garam jual ke pemodal. Ada pula ngala’ paron ke PT Garam, lalu jual ke koperasi perusahana BUMN itu.

Setahu saya, mon (kalau) daerah Gapura ini, tidak ada yang diserap langsung PT garam, ndak ada.” PT Garam punya lahan garam sendiri, otomatis mereka memasok dari lahan mereka.

Fathol bilang, menjual garam ke siapa saja. Bila membeli garam dari buruh-petani dia mematok harga sesuai patokan di Panarukan, Jawa Timur.

“[Sesuai] harga Panarukan, kalau harga di Panarukan Rp500.000, ya berarti Rp500.000).”

Dia punya banyak lahan pertanian garam yang membentang di pesisir utara Pulau Gili Raja. Dia tak tahu pasti berapa luasannya.

Fatsol biasa bekerja sama dengan pekerja garam. Sebagai pemilik lahan, dia membiayai modal penggarapan lahan, para pekerja mendapatkan bagian 50% dari pendapatan bersih.

Modal yang harus dia keluarkan adalah mengeluarkan lumpur tebal di dalam petak lahan. Satu tempat penggaraman (panthong) terdiri dari enam petak lahan: dua petak untuk proses pengkristalan, empat petak untuk mengatur sirkulasi air laut.

Dalam sekali pengeluaran lumpur, Fathol bisa menghabiskan Rp5 juta–Rp10 juta. Kadang borongan, kadang upah harian, Rp125.000 per hari, sama dengan tukang bangunan.

Pekerjaan itu, katanya, satu kali dalam satu musim. Dia juga harus pakai mesin penyedot air laut untuk mengisi air petak lahan. Dia gunakan tiga mesin. Kedalaman lahan yang diisi air pusar orang dewasa, yang jadi garam hanya sekitar 10–20 cm di permukaan.

 

Demo mahasiswa November 2021 karena harga garam anjlok. Foto: Moh Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Hanya kualitas konsumsi?

Romdani mengatakan, garam Madura sering disebut jelek, tidak memenuhi standar industri, sekadar jadi garam konsumsi, padahal tidak. Dia bilang, banyak bukti penelitian yang mengatakan bahwa garam Madura masuk kualitas industri.

Baginya, kualitas garam Madura yang dibilang hanya untuk konsumsi sebatas alasan untuk impor garam, padahal setok di bawah masih belum terserap hingga harga garam murah. Parahnya lagi, kalau impor garam saat kemarau.

Beberapa penelitian mengatakan, kualitas garam Madura bagus dan masuk kualitas industri. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, pernah mengatakan, garam Madura berdasarkan penelitian di laboratorium Universtitas Indonesia (UI), Jakarta, kadar kemurnian garamnya, natrium klorida (NaCI), mencapai 95,4%.

“Laboratorium yang kami pilih adalah Jerman dan Singapura agar tidak ada dugaan kepentingan oknum tertentu dan akan dibuktikan bahwa kualitas garam rakyat bisa menyuplai industri,” kata Susi waktu itu di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya. November 2015.

Romdani bilang, berdasarkan sejarah garam di Sumenep, bila memang garam Madura tidak bagus karena musim tidak sama dengan musim di luar negeri, Australia, misal. Dia mempertanyakan mengapa Belanda tertarik datang ke Madura untuk menguasai garam. Belanda pasti punya alasan kuat dalam mendatangi suatu daerah, mencari keuntungan.

“Kenapa kok Belanda bisa ke sini? Ya kan sampe’ samangken (sampai sekarang) peninggalan Belanda banyak, kenapa mau menguasai Madura? Ya karena garamnya, kualitasnya, bagus,” kata Romdani.

Imbas lain dari serapan dan harga garam yang tak stabil, katanya, para pemuda mulai jarang mau bertani garam. Seandainya, mereka diberi pilihan jadi petani garam atau karyawan PT Garam, mereka akan lebih memilih bekerja sebagai karyawan.

 

Petani saat memanen hasil garam dari geomembran di Sedayulawas, Brondong, Lamongan, Jawa Timur, Senin (26/07/2019). Geomembran adalah alat yang terbuat dari plastik, digunakan sejumlah petani di daerah itu untuk alas saat proses pembuatan garam. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

 

*******

 

Exit mobile version