Mongabay.co.id

Mengintip Nasib Buruh Sawit Perempuan di Jambi

 

 

 

 

Perempuan ini tak bisa menyembunyikan kegembiraan ketika dokter berhasil mengembalikan kesehatan indera penglihatannya. Buruh perusahaan sawit di Tanjung Jabung Timur, Jambi ini nyaris kehilangan penglihatan karena bola mata kanan kena percikan pestisida saat jadi buruh semprot.

Sudah sebulan ini Mirna (nama samaran) harus bolak-balik dari Nipah Panjang ke Jambi untuk berobat. Padahal jarak Jambi dengan Nipah tidaklah dekat. Perempuan 43 tahun ini harus menempuh perjalanan lima jam sekali jalan.

“Waktu pertama kali dibawa ke Rumah Sakit Kambang, Kota Jambi, dokternya bilang, untung saja cepat dibawa ke sana. Kalau terlambat bisa buta,” katanya, ditemui awal Agustus lalu.

Mirna menebus semua resep dan biaya berobat dengan nominal mencapai Rp 1,7 juta dari kantong pribadi. Uang itu dia kumpulkan dari hasil menyisihkan pendapatan jadi buruh. Perusahaan tempatnya bekerja tidak mau tahu dengan pengeluaran untuk pengobatan itu.

Perusahaan baru mau membayar upah kalau dia masuk kerja. Saat kerja, dia mendapat upah Rp 96.000 perhari, tak ada fasilitas apa pun dari perusahaan. Bahkan, alat kerja seperti sepatu boot, alat semprot, sarung tangan dan masker juga harus disediakan sendiri pekerja. Saat pekerja harian seperti Mirna mengalami kecelakaan, mereka harus menanggung sendiri semua.

Mirna sudah delapan tahun bekerja di perusahaan sawit itu, selalu berhati-hati saat melakukan penyemprotan. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, suatu hari sebelum menyemprot dia lupa memperhatikan arah angin. Kejadiannya cukup cepat, hingga cairan pestisida langsung terbawa angin dan berbalik ke arahnya.

“Langsung masuk mata percikan air peptisida di tangki semprot. Mata langsung merah dan pedih,” katanya.

Dua hari kejadian itu dia biarkan begitu saja. Dia hanya mengobati dengan obat tetes mata dan obat anti iritasi. Saat mata tak kunjung sehat, barulah Mirna berobat ke Puskesmas terdekat yang berjarak 20 kilometer dari tempat tinggal dan tempatnya bekerja.

Petugas Kesehatan di sana langsung angkat tangan karena Mirna terlambat berobat. Dia menyarankan Mirna berobat ke rumah sakit di Kota Jambi yang memiliki peralatan lebih lengkap.

Dia pun terpaksa rehat sejenak. Hampir tiga bulan dia tidak bekerja, bolak-balik, antara Nipah Panjang –Kota Jambi untuk mengobati matanya.

Awal 2022, dia mulai lagi bekerja sebagai buruh sawit di perusahaan yang sama meski mata belum sepenuhnya pulih.

“Bagaimana lagi. Anak-anak masih sekolah,” katanya.

Mirna tak punya pilihan lain selain menjadi buruh harian di perkebunan sawit itu. Suaminya bekerja serabutan, hanya sesekali ikut memanen sawit di perusahaan atau kebun orang. Terkadang dia juga terima jasa bikin sumur, namuan pekerjaan itu tak selalu ada.

Kehidupan keluarga itu lebih banyak bergantung pada Minah yang dapat upah Rp96-000 per hari. Terkadang kalau pestisida tidak keluar dia diupah menebas rumput dan membersihkan pelepah sawit dengan bayaran Rp79.000 per hari.

“Sekarang malah tidak ada lagi tenaga buruh harian, semua sistem borongan. Setiap hektar dibayar Rp120.000, “ keluhnya.

Mirna bilang, sistem borongan ini lebih berat. Pekerja harus sampai sore agar target selesai. Kalau target tidak tercapai, upah tidak diterima.

 

Tangan buruh sawit perempuan yang sehari-hari menyemprot pestisida. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

***

Di perumahan berlantai dan berdinding kayu, Siti (bukan nama sebenarnya) menyiapkan dua anak perempuannya yang akan berangkat sekolah. Suami Siti sudah beberapa jam lalu meninggalkan barak berukuran 4×6 meter persegi itu. Barak itu hanya memiliki satu kamar dan satu ruang tamu. Tidak ada kamar mandi ataupun wc.

Untuk mandi cuci, dan buang air mereka harus antri di kamar mandi dan WC umum yang dibangun di belakang jejeran barak pekerja.

SD negeri terdekat berjarak tiga kilometer dari barak-barak buruh sawit yang didiami Siti. Jarak itu harus ditempuh anak-anak Siti dengan berjalan kaki, hingga mereka harus berangkat pagi ke sekolah. Beruntung, kalau ada motor yang searah keluar kebun, anak-anak Siti akan mendapatkan boncengan sampai ke sekolah.

“Tidak ada sekolah, tidak ada layanan lesehatan di perusahaan ini. Kalau anak-anak mau sekolah ya harus jalan kaki minimal tiga kilometer. Kalau ada yang sakit, ya harus berobat ke luar ke desa terdekat” katanya.

Tak lama setelah anak-anaknya berangkat sekolah, Siti akan bekerja membantu suaminya. Siti bekerja menyemprot kebun sawit, terkadang juga memupuk dan membersihkan kebun. Pekerjaan ini sudah dia lakoni rutin selama enam tahun ini.

Suami Siti harus berangkat bekerja lebih dahulu guna memanen sawit di perusahaan sawit tempatnya bekerja. Pukul 7.00 pagi dia sudah harus siap di kantor mandor, menunggu jadwal dan lokasi penyemprotan, sekaligus mengambil cairan peptisida.

Dia berisitirahat pukul 10.30-11.00 WIB . Lanjut bekerja lagi sampai pukul 14.00 WIB.

Pekerjaan utama pekerja perempuan di bagian pemeliharaan adalah penyemprotan dan kalau tidak ada pekerjaan penyemprotan, pekerja membersihkan semak belukar di sekitar tanaman sawit.

Satu minggu, Siti hanya bekerja selama empat hari. Dalam sebulan sekitar 14-17 hari . Rata-rata dalam sebulan upah Siti Rp1,6 juta, ini upah total. Di luar itu, perusahaan tidak memberikan fasilitas apapun, termasuk menyediakan Jamsostek baik Jaminan Kesehatan atau Jaminan Ketenagakerjaan, yang merupakan hak setiap pekerja.

Jangankan berbicara hak pekerja pekerja mendapatkan hak reproduksi seperti cuti haid selama dua hari setiap bulan ataupun cuti melahirkan selama tiga bulan. Tunjangan hari raya pun tidak buruh perempuan dapatkan.

Siti cerita, sudah hampir 12 tahun tinggal di barak itu. Sejak dia menikah, Siti ikut suami bekerja di kebun sawit dan meninggalkan kampung halaman di Sumatera Utara.

Suami bekerja di blok berbeda dan mengerjakan jenis pekerjaan berbeda pula. Suaminya menjadi buruh panen. Berbeda dengan Siti, suaminya menjadi buruh kontrak. Meski tak memiliki kontrak perpanjangan setelah menerima kontrak pertama saat menginjakkan kaki di kebun sawit itu.

“Bedanya buruh kontrak dengan harian lepas. Mereka ada ditanggung BPJS. Kalau kami dak ada bantuannya,” katanya.

Setiap pagi, Siti berangkat ke kebun sawit. Dia bekerja dari pagi sampai tengah hari. Mendapat upah sekitar Rp 96.000.

Sekarang, perusahaan meniadakan sistem buruh harian lepas, semua upah berdasarkan target. Mereka menyebut istilah borongan.

 

Buruh sawit perempuan di perusahaan perkebunan sawit bersiap menyemport. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Upah per hari buruh borongan, hanya Rp120.000 dengan pekerjaan harus selesai seluas satu hektar.

Siti pakai peralatan lengkap saat bekerja. Dia memakai sepatu boot, sarung tangan, masker dan jilbab. Dia paham pestisida hama dan rumput (herbisida) di sekitar batang sawit sangat berbahaya.

Untuk pekerjaan yang sangat berisiko ini perusahaan tidak menyediakan peralatan apapun kecuali bahan kimia buat tanaman. Kalau ingin bekerja, para buruh harus menyiapkan sendiri semua, seperti tangki semprot, dan alat perlindungan diri seperti sarung tangan, topi atau kaca mata harus disiapkan dari rumah.

Kalau tidak, risiko akan ditanggung sendiri. Risiko itulah yang dialami Aisyah (nama samaran). Karena tak pakai sarung tangan, setiap kali pulang bekerja tangan gatal dan kemerahan.

“Kalau awal-awal dahulu parah tangan ini, terkelupas. Sekarang sudah biasa. Kadang kita lupa bawa sarung tangan, apalagi helm. Tidak ada yang disediakan perusahaan, kita semua beli sendiri.”

Dibanding Mirna dan Siti, Aisyah sudah lebih dahulu bekerja. Delapan tahun dia menjadi buruh harian lepas di perusahaan sawit di Nipah Panjang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Dia dan suami berasal dari Nusa Tenggara, merantau ke Riau menjadi buruh sawit lalu pindah ke Jambi.

Sekarang dia sudah punya cucu. Punggungnya sudah mulai sakit karena keseringan membawa beban seberat 18 liter terus berulang-ulang hampir setiap hari. Meski demikian, dia belum berencana pensiun. Alasannyaia masih perlu uang untuk kehidupan sehari-hari. Kalau berhenti bekerja tak ada tabungan untuk menghidupi mereka.

Upah buruh selama berpuluh tahun hanya mampu membeli sepetak rumah dengan halaman saja. Tidak ada kebun, suaminya sekarang sebagai buruh panen di kebun-kebun milik warga, tidak lagi di perusahaan.

Aisyah bermimpi suatu hari bisa membeli kebun dan pensiun menjadi buruh.

“Mulai terasa sakit, itu tulang punggung.” Dia gunakan ban bekas untuk modifikasi tali ransel tangkinya. “Perusahaan mana tahu urusan beginian. Kita bekerja, kita dibayar. Kalau tidak aman, tidak sehat, itu urusan kita.”

 

Sawit petani mandiri. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

***

Jambi, menjadi provinsi ketiga dengan kebun sawit terluas di Sumatera mencapai 1,135 juta hektar. Data Dinas Perkebunan Jambi ada 186 perusahaan sawit di provinsi ini dengan luasan mencapai 550.000 hektar. Artinya, jika dirata-ratakan dengan tanggungjawab per hektar satu buruh, jumlah buruh harian lepas 550.000 jiwa.

Data terbaru dari Pengurus Daerah Jambi PD Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan- Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (F.SPPP-SPSI) tercatat ada 250.000 buruh perkebunan sawit di Jambi.

Zulkipli, Wakil ketua PD F.SPPP-SPSI Jambi menyoroti, hak-hak buruh perkebunan di Jambi masih belum mendapatkan perhatian.

Beberapa temuan adalah kecurangan dan kenakalan perusahaan mulai dari memberikan status buruh harian lepas sepanjang mereka bekerja di sana, meski sudah bertahun-tahun lamanya.

“Iya, cerita-certia itu banyak kita dengar dari anggota. Cuma tidak ada yang mau melaporkan ini. Kita di sini sifatnya pendampingan. Akan memperjuangkan hak-hak bersama buruh yang melapor,“ katanya.

Meski terkesan lamban, Zulkipli menyoroti beberapa hal dari kasus-kasus yang mereka dampingi. “Pertama, persoalan aturan, kedua, keberanian dan solidaritas para buruh.”

Mereka dengan pekerjaan terus-menerus seperti buruh panen, buruh semprot, perawatan, dan pemupukan, katanya, seharusnya tak lagi jadi buruh harian lepas.

“Harusnya staf permanen, dan diberikan asuransi kesehatan dan Jamsostek.”

Buruh perempuan dia sebut tidak terdengar karena memang transfer informasi dan pengetahuan tentang aturan dan tidak memiliki keberanian bersuara membuat posisi mereka lemah.

“Kelemahan ini dimanfaatkan oleh perusahaan. Pelecehan seksual juga sering kita dengar informasinya, tapi begitu mau dilaporkan, mereka tidak berani. Merasa malu dan ini aib. Memang butuh banyak kerjasama dengan teman-teman pemberdayaan perempuan.”

Buruh juga tidak pernah menerima pelatihan tentang penggunaan pestisida atau tes kesehatan saat bekerja menggunakan pestisida. Pengarahan awal pada saat penyemprotan hanya disampaikan oleh mandor agar semprotan tidak melawan arah angin.  Berdasarkan investigasi Organisasi Perjuangan dan Penguatan Komunitas (OPPUK – Organisasi Perjuangan dan Penguatan Untuk Kerakyatan) bekerja sama dengan Public Eye, beberapa jenis pestisida berbahaya banyak digunakan di perkebunan sawit. Seperti gramaxone,

Prima-Kuat merek pestisida dengan bahan aktif paraquat, Penta Up Z dengan bahan aktif glifosat, dan Kenlon dengan bahan aktif tricoform.  Prima-Kuat adalah cairan biru, Penta Up Z adalah cairan kuning keemasan dan Kenlon adalah cairan berwarna coklat muda.  Dari sejumlah buruh perempuan yang diawawancarai, rata-rata mereka mengalami gejala sama seperti sakit kepala, penglihatan kabur, gatal-gatal, dan ruam kulit.

Mereka juga mengalami mata merah, batuk, dan jantung berdebar. Temuan investigasi juga menunjukkan, buruh perempuan di perkebunan sawit bekerja sebagai buruh harian lepas yang bekerja sebagai penyemprot hama dan gulma.  Mereka bekerja tanpa jaminan kesehatan dan fasilitas yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Dalam menjalankan tugas, buruh perempuan tak pernah dibekali pengetahuan dan pemahaman tentang dampak negatif penggunaan pestisida terhadap kesehatan, khusus kesehatan reproduksi.

Pekerja jadi mengesampingkan keselamatan dan kesehatan kerja demi mendapatkan upah yang tak seimbang dengan risiko kerja yang harus mereka terima. Umumnya pekerja perempuan ditempatkan di bagian pemeliharaan dengan tugas semprot dengan bahan pestisida seperti Roundup, Gramoxone dan Ally. Mereka berisiko terkena bahan kimia berbahaya tanpa tanggung jawab dari perkebunan sawit di mana mereka bekerja.

Herwin Nasution, Ketua Umum Federasi Serbundo melihat negara lemah dan abai pada perusahaan yang belum memberikan hak-hak buruh perempuan sektor perkebunan sawit di Indonesia.

Jumlah buruh perempuan yang bekerja di sektor perkebunan sawit, katanya, lebih besar dibandingkan buruh laki-laki atau sekitar 65%. Karena buruh perempuan banyak di bagian perawatan seperti penyemprotan, pemupukan, pembabatan rumput atau semak, pembibitan, dan lain-lain.

Ironisnya, buruh perempuan di perkebunan sawit  mengalami ketidakadilan dengan status kerja buruh harian lepas, upah rendah di bawah upah minimum, tanpa alat perlindungan diri dan alat perlengkapan kerja tak memadai. Juga, tanpa jaminan sosial dan bersentuhan dengan pestisida berbahaya.

“Ini diperparah dengan tidak adanya Undang-undang yang melindungi buruh di perkebunan sawit.”

Seharusnya, kata Herwin, perusahaan wajib melaksanakan hak-hak buruh perempuan sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Dia mendesak, pemerintah segera membuat UU yang memberikan perlindungan bagi buruh di perkebunan sawit.

Kondisi buruh sawit perempuan memperlihatkan bahwa, kemerdekaan baru dinikmati sebagian orang. Perempuan-perempuan buruh ini masih menjadi budak di perkebunan sawit.

 

Buruh perempuan sedang menyemport tanaman sawit. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

****

 

Artikel ini merupakan hasil dari Program Training dan Fellowship Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial (GESI) Yang didukung Voice dan Konde.co.

Exit mobile version