- Lautan pasir dan hijau padang savana membentang. Kabut menyapa saat rombongan pegiat lingkungan menelusuri kawah purba Bromo Juli lalu.
- Purnawan Dwikora Negara, Ketua KIH Regional 012 Malang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang mengatakan, kawah purba Bromo merupakan kawasan suci bagi Masyarakat Adat Tengger.
- Masyarakat Tengger antara lain ada ritual upacara Yadnya Kasada. Sebelum upacara ini, pemuka umat Buddha Jawa Sanyata memimpin doa membuka pintu tanah hila hila. Setelah itu, warga diperbolehkan melintasi tanah hila hila. Kalau Masyarakat Tengger nekat melintas sebelum dibuka, upacara bakal sia-sia.
- Agus Hendratno dari Departemen Geologi, Universitas Gadjah Mada dalam penelitian berjudul “Kajian eko-geologi kaldera Tengger sebagai sumberdaya geowisata dan geological site heritage” mengatakan, endapan piroklastik Kaldera Tengger tersusun atas klastika dari bom vulkanik, lapili, dengan matrik yang sangat pekat dari pasir-pasir vulkanik. Butir pasir berbentuk butir runcing dan agak runcing.
Sepuluh anggota Klub Indonesia Hijau (KIH) Regional 012 Malang menyusuri Kaldera Tengger dengan sepeda motor Juli lalu. Dingin membekap tubuh saat melintasi kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).
Kaldera Tengger, secara administratif di Kabupaten Probolinggo, dan Pasuruan ini merupakan bentang alam vulkanik lautan pasir dengan beberapa kerucut vulkanik meliputi Gunung Bromo (2.392 mdpl), Gunung Batok (2.440 mdpl), Gunung Kursi (2.581 mdpl). Lalu, Gunung Widodaren (2.614 mdpl), dan Gunung Watangen (2.601 mdpl).
Kaldera Tengger terbentuk dari Gunung Bromo Purba, membentang selebar 16 kilometer. Aktivitas vulkanik Tengger diperkirakan mengalami aktivitas besar-besaran sekitar 820.000 tahun. Ia terdiri atas lima stratovolcanoes yang saling tumpang tindih, masing-masing dipotong sebuah kaldera. Saat ini, hanya Bromo yang menunjukkan aktivitas vulkanik.
Lautan pasir dan hijau padang savana membentang. Kabut menyapa saat rombongan pegiat lingkungan menelusuri kawah purba Bromo. Purnawan Dwikora Negara, Ketua KIH Regional 012 Malang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang mengatakan, lokasi ini merupakan kawah purba Bromo. Kawasan suci bagi Masyarakat Adat Tengger. “Tampat sakral dunia dewa,” katanya.
Masyarakat Tengger, menyebut kaldera itu tanah hila-hila. Sesuai keyakinan Masyarakat Sdat Tengger yang menganut Buddha Jawa Sanyata diyakini sebagai tempat roh menuju ke surga. Menuju tanah hila-hila, harus melintasi kutukan. “Kutukan itu berupa pohon dan batu besar, peninggalan megalitikum. Tempat menaruh dupa,” katanya.
Masyarakat Adat Tengger meyakini, kutukan merupakan batas dunia sakral atau suci dengan dunia manusia. Kutukan menjadi pintu gerbang menuju tanah hila-hila. Hila-hila itu di Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang; Cemoro Lawang, Kecamatan Ngadisari, Kabupaten Probolinggo; Pakis Bincil, Wonokitri, Kabupaten Pasuruan; dan Ranupani, Kecamatan Senduro, Lumajang.
Saat melintas kutukan, katanya, Masyarakat Adat Tengger harus berpamitan, sopan, dan menjaga ucapan. Kalau melanggar, mereka akan dikutuk atau dihukum.
Tumari, pemuka adat Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang mengatakan, kutukan jadi tempat suci dan sakral. Setiap orang yang melintas diminta menjaga sikap dan ucapan, terutama saat memasuki watu gede atau batu besar.
“Jangan bilang dingin, akan betul-betul kedinginan. Juga jangan mengucapkan nyasar, nanti nyasar betulan. Sering kejadian seperti itu,” katanya.
Masyarakat Tengger tetap menjaga sikap dan ucapan saat melintas di Kutukan. Kalau mendapat kesulitan, katanya, mereka berdoa dan meminta izin agar diberi kelancaran.
Kawah candradimuka
Dalam mantra Mbah Dukun, katanya, menyebut sebagai kawah candradimuka atau tempat penyeberangan arwah. Kalau ada hajatan, entas-entas atau selamatan arwah leluhur memakai ayam dan bebek sebagai persembahan di tanah hila hila. Ayam dan bebek setelah dimantrai dilempar ke tanah hila hila.
“Menurut keyakinan kami, arwah menyeberangi kawah candradimuka dengan bebek atau ayam,” katanya.
Sebelum upacara Yadnya Kasada, pemuka umat Buddha Jawa Sanyata memimpin doa membuka pintu tanah hila hila. Setelah itu, warga diperbolehkan melintasi tanah hila hila. Kalau Masyarakat Tengger nekat melintas sebelum dibuka Mbah Dukun, upacara bakal sia-sia.
Kemudian lanjut dengan upacara mengambil air suci di Gua Widodaren di Gunung Widodaren dari air menetes dari stalaktit dan stalagmit. “Ada isyarat. Jika doa dikabulkan air yang menetes banyak. Jika belum dikabulkan air yang menetes sedikit,” katanya.
Mereka biasa berjalan kaki dari Ngadas ke Widodaren sekitar 1,5 jam. Masyarakat Tengger juga mengambil air suci di sini setiap Jumat Legi. Sembari membawa sesaji sebagai wujud syukur berupa lima nasi lengkap dengan lauk, kue dan kopi. “Pulangnya membawa air dari Gua Widodaren.”
Menurut legenda Masyarakat Adat Tengger, Rara Anteng dan Jaka Seger sebagai leluhur Tengger secara kultural. Setelah menikah, Rara Anteng dan Jaka Seger tak kunjung dikarunia anak. Keduanya berjanji memberikan tumbal anak bungsu ke kawah Bromo. Keduanya terlanjur menyanyangi anak bungsu atau anak ke-25 bernama Dewa Kusuma. Keduanya tak rela mengorban Kusuma ke kawah Bromo dan mereka sembunyikan.
“Pada kisah itu, gunung purba Bromo, lidah api sampai Penanjakan di Pasuruan,” kata Purnawan. Lantas Dewa Kusuma bersedia berkorban demi keselamatan warga desa yang kini disebut sebagai Masyarakat Adat Tengger.
Dari dalam kawah, suara Dewa Kusuma meminta suguhan berupa segala bentuk hasil bumi.
Sesaji sesuai permintaan Raden Dewa Kusuma, katanya, berupa sayur-sayuran antara lain kentang, bawang prei, dan kubis. Sesaji dilabuhkan ke kawah Bromo. Suguhan ini, kini disebut sebagai ritual Yadnya Kasada yang berlangssung setiap Kasada hari ke-14 dalam penanggalan Masyarakat Tengger.
“Petani menjadi pekerjaan suci bagi Masyarakat Tengger. Ada siklus, tanah ditanami sayuran, dimantrai Pak Dukun, hasil bumi dilabuh ke kawah Bromo,” ujar Purnawan yang meneliti Masyarakat Tengger.
Masyarakat menggantungkan hidup ke pertanian. Sekaligus menjaga budaya dan tradisi dari leluhur secara turun temurun.
Arwah 25 anak Roro Jonggrang dan Joko Seger, kata Purnawan, diyakini Masyarakat Adat Tengger menempati Gunung Pananjakan, Bromo, Semeru, Batok, Widodaren, bebatuan dan sumber air. Tempat itu dikeramatkan Masyarakat Tengger.
“Jika ditarik garis imajiner, garis magis saling terhubung itu melingkat, kawasan yang diayomi leluhur. Tengger atau tengering budi luhur (tanda budi luhur),” kata Purnawan.
Mereka memuja kawasan itu, juga sebagai penanda sekaligus penghormatan.
***
Kaldera Tengger berada pada ketinggian 750–2.581 mdpl seluas 5.250 hektar. Dinding kaldera mengelilingi lautan pasir sangat terjal dan kemiringan lereng 60 meter sampai 800 meter dengan ketinggian berkisar 120 meter sampai 130 meter. Batuan vulkanik dasar kaldera Tengger terdiri atas, pasir vulkanik Tengger, kerikil vulkanik, dan batuapung.
Kaldera Tengger merupakan gunung purba berukuran raksasa yang hancur berulang kali akibat aktivitas erupsi. Gunung api ini mengeluarkan material letusan ketika masih aktif.
Mulyadi dalam jurnal The Sand Sea and Other Caldera Formation in Bromo-Tengger Complex East Java menyebut, sejarah Pegunungan Tengger mulai 1,4 juta tahun lalu. Berdasarkan catatan sejarah, letusan dan kegiatan vulkanik Bromo tercatat sejak 1804.
Agus Hendratno dari Departemen Geologi, Universitas Gadjah Mada dalam penelitian berjudul “Kajian eko-geologi kaldera Tengger sebagai sumberdaya geowisata dan geological site heritage” mengatakan, endapan piroklastik Kaldera Tengger tersusun atas klastika dari bom vulkanik, lapili, dengan matrik yang sangat pekat dari pasir-pasir vulkanik. Butir pasir berbentuk butir runcing dan agak runcing.
“Susunan vertikal endapan vulkanik di kaldera Tengger merupakan fenomena kegunungapian yang sangat menarik, eksotik, dan spesifik pada suatu tipe gunungapi yang membentuk kerucut sinder dalam kaldera,” tulis Agus.