Mongabay.co.id

Cerita Para Pemuda Tuai Keberkahan Dari Panen Kopi Musiman

 

Bising suara mesin giling mengiringi Rumanto (25) saat memecah biji kopi dari kulitnya. Bersama Taufiq (19) kerabatnya, pria berkulit sawo matang itu nampak tergesa-gesa membopong buah kopi basah dalam wadah karung tersebut untuk dimasukkan ke mesin penggilingan.

Proses pemecahan buah kopi menggunakan mesin penggiling ini tidak membutuhkan waktu lama. Sehingga begitu kopi habis tergiling, mereka dengan cepat berganti membopong buah kopi yang ada di karung lainnya yang beratnya sekitar 100 kilogram. Sesekali mereka mengorek tumpukan buah kopi agar proses keluarnya lancer dari mesin penggiling.

“Ini tadi sudah selesai (penggilingan) 70 karung. Masih ada 30 karung lagi yang menunggu untuk diselesaikan,” ujar Rumanto yang ditemui akhir Juli 2022.

Proses pemecahan buah kopi dari kulitnya itu mereka lakukan di pelataran halaman rumah warga di Dukuh Semliro, Desa Rahtawu, Kecamatan Gebong, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Meski siang itu terik matahari berada tepat di atas kepala, namun udara di Dukuh Semliro berketinggian sekitar 1.300 mdpl tersebut masih terasa sejuk. Biarpun demikian, keringat kedua pemuda tersebut nampak bercucuran.

baca :  Hanya Kopi Arabika di Hati Masyarakat Gayo, Bukan Tambang Emas

 

Rumanto (kiri) dan Taufiq (kanan) saat menggiling buah kopi di di pelataran halaman rumah warga di Desa Rahtawu, Kecamatan Gebong, Kudus, Jateng. Per harinya rata-rata mereka mampu menggiling 100 karung buah kopi basah. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Rezeki Musiman

Laki-laki dengan sweater warna biru itu melanjutkan, bersama temannya Ia memulai aktivitasnya dari jam 07:00 WIB pagi. Biasanya sore hari baru selesai. Khusus untuk pengupasan ini per hari mereka mendapatkan upah dari pengepul antara Rp50.000-Rp70.000 ribu.

Upah diterima tergantung jumlah karung buah kopi yang digiling. Saat musim panen kopi yang biasanya dimulai pada bulan Juni dan berakhir sekitar September itu mereka biasanya mampu menggiling 100 karung buah kopi basah per harinya.

Berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, Rumanto bisa mendapatkan upah sekitar Rp2-3 juta saat musim panen kopi. Hasil upahnya itu tidak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi dia gunakan untuk membeli kambing.

Hewan ternak inilah yang menjadi pekerjaan dia dalam sehari-hari ketika tidak musim panen raya kopi.

“Alhamdulillah, selama musim panen raya kopi berlangsung kami tidak pernah menolak job penggilingan,” kata Rumanto. Walau senyumnya ramah, tetapi sorot matanya sangat tergambar jelas dia begitu lelah.

baca juga : Upaya Lestarikan Kopi Bacan dari Induk Tanaman Usia Lebih 100 Tahun

 

Seorang anak muda mengemasi buah kopi yang sudah kering setelah dijemur di tempat terbuka. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Pengupasan buah kopi basah dengan menggunakan mesin ini merupakan salah satu proses pasca panen, dikenal juga dengan istilah pulping. Sedangkan nama mesin untuk mengupas kulit luar itu disebut dengan pulper.

Dengan adanya pulper tersebut proses pengeringan kopi basah bisa lebih cepat dibandingkan dengan buah kopi yang masih utuh. Saat panasnya bagus, buah kopi yang sudah pecah itu hanya perlu waktu 4-5 hari menjadi kering. Sedangkan yang masih utuh memerlukan waktu 30 hari.

Berbeda dengan Rumanto yang ketika panen raya kopi mencari rezekinya lewat jasa penggilingan. Pemuda lain, Suhandoyo (31), melihat peluang tersebut dengan menjadi tukang ojek. Meski profesi itu sudah dijalani selama 3 tahun. Namun, dia mengaku baru tahun ini mengangkut buah kopi.

Sebelumnya, bapak dua anak ini hanya mengangkut jagung, ketela, kapuk randu dan kayu. Jasa pengangkutannya dihargai Rp16.000 per karung buah kopi basah yang yang diangkut dari kebun ke jalan raya.

baca juga : Kopi Dulamayo, Tanaman Mitigasi Bencana di Hulu Gorontalo

 

Suhandoyo (31) membawa tiga karung buah kopi basah dengan menggunakan motor roda dua. Dengan melewati medan yang curam, per harinya Suhandoyo bisa menyelesaikan antara 20-30 karung. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Suhandoyo bisa mengangkut sekitar 20-30 karung kopi per harinya melewati medan yang curam. Jika ditotal, per hari rata-rata dia bisa pulang membawa uang Rp320 ribu.

“Ini sudah semingguan saya kerja mengangkut buah kopi. Kalau lagi musim gini ya senang. Jadi ikut merasakan keberkahan,” katanya.

Selain untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, upah yang dia dapat itu juga rencananya akan digunakan untuk merawat tanaman kopi yang sudah ditanam setahun lalu.

Sementara, Kasino (27), pemuda lainnya, mengaku ketika sedang musim panen raya ini dia lebih memilih merawat tanaman kopi pemberian bapaknya agar berbuah maksimal.

Bapak satu anak ini menganggap tidak akan sia-sia ketika merawat kopi dengan sungguh-sungguh. Karena selain harga kopi bisa relatif stabil pasarnya juga mudah. Selain itu, usia tanaman kopi juga bisa panjang.

“Tahun lalu dapat 5 kuintal, prediksi tahun ini bisa dapat 8 kuintal,” katanya. Selain memproduksi buah kopi, dia berkeinginan membuat kedai kopi ke depannya.

baca juga : Peyek Daun Kopi Menggugah Rasa dari Desa Batu Ampar

 

Kasino (27) berpose di lahan perkebunan kopi pemberian bapaknya di di Desa Rahtawu, Kecamatan Gebong, Kudus, Jateng. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Penghasil Kopi

Kepala Desa Rahtawu, Didik Ariyadi (50) mengungkapkan bahwa kopi merupakan tananam pertanian andalan warga setempat. Untuk lahan kopi terluas berada di Dukuh Semliro yang menjadikan dukuh ini sebagai produsen kopi terbesar diantara empat pedukuhan di Desa Rahtawu.

Didik bilang, selain Semliro, warga dukuh lain seperti Krajan, Gingsir dan Wetan Kali juga mulai menggantungkan ekonomi dari buah kopi. Selain orang tua, saat ini banyak pemuda yang mulai menanam kopi.

Untuk itu, kata pria yang menjabat sebagai Kades dari tahun 2019 ini, Pemerintah Desa seringkali mengajak anak-anak muda untuk mengikuti pelatihan-pelatihan terkait dengan penanganan kopi yang baik, terutama penanganan ditingkat pascapanen.

Dengan mengikuti pelatihan-pelatihan itu, para petani kopi jadi tahu perkembangan kopi, mulai dari harga hingga tren yang disukai para konsumen pecinta kopi. Dengan begitu, harapannya mereka bisa lebih semangat dalam mengembangkan tanaman kopi yang dimiliki.

“Karena anak-anak muda ini lebih mudah diarahkan. Sehingga mereka yang kita ajak untuk berubah,” ujar Didik yang dihubungi Kamis (18/08/2022).

menarik dibaca : Sabun Kopi, Cara Eka Besse Wulandari Bangkitkan Ekonomi Petani

 

Lanskap di kawasan Dukuh Semliro, Desa Rahtawu, Kecamatan Gebong, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah yang merupakan desa penghasil kopi terbesar di Kudus. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Menurut Didik, ketika anak-anak muda ini sudah bisa memperlakukan kopi dengan baik, nilai jualnya juga bisa menjadi lebih unggul. Dengan demikian para petani muda nantinya bisa sejahtera. Sehingga tidak perlu lagi ada yang merantau ke kota.

Mulanya, kata Didik, anak-anak muda setempat banyak yang putus sekolah. Setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) tidak sedikit dari warganya yang memilih menjadi kuli bangunan di luar kota. Namun, setelah banyak yang sadar akan potensi kesuburan alam di desanya, mereka akhirnya banyak yang memutuskan untuk berdaya dari desa.

“Saat ini yang sedang kami godok adalah bagaimana membuat regulasi agar petani-petani kopi ini bisa tetap bertahan dengan baik. Apalagi serangan para tengkulak-tengkulak itu sangat merugikan petani,” terangnya.

Dilansir dari kanaldesa.com, Data Dinas Pertanian Kabupaten Kudus mencatat, pada tahun 2020 produksi kopi di kabupaten berjuluk kota kretek itu mencapai 617,5 ton per tahun. Desa Rahtawu desa berketinggian 600-1.600 mdpl itu menjadikan penghasil kopi terbesar di Kudus yang memproduksi 196 ton per tahun dari lahan kopi seluas 244 hektare.

 

Exit mobile version