- Namanya Pulau Mandioli, secara administrasi masuk Halmahera Selatan, Maluku Utara. Warga di pulau ini bergantung hidup dan berkecukupan dari pertanian atau perkebunan pala, cengkih dan kelapa.
- Supardi Syarif, Kepala Desa Jiko mengatakan, masyarakat Jiko serius bertani. Hasil kebun dari pala, cengkih dan kelapa dari Jiko tak terdata berapa besar per bulan, atau per tahun. Meski begitu, dari hasil panen bisa sampai puluhan ton setiap bulan dikirim ke Bacan maupun Ternate.
- Pemerintah yang banyak memberi izin-izin kepada usaha ekstraktif membuat warga khawatir. Mereka tak ingin pulau mereka terganggu pertambangan, seperti daerah-daerah sekitar seperti Pulau Obi dan lain-lain. Warga khawatir sengsara, seperti terlihat di daerah sekitar ketika masuk tambang banyak terjadi kerusakan.
- Faisal Ratuela, Direktur Walhi Maluku Utara, mendesak pemerintah fokus kebijakan pembangunan pada pertanian, perkebunan dan perikanan dibanding mengeksploitasi hutan dan lahan pulau-pulau dengan izin tambang dan perkebunan monokultur yang merusak.
Aena Suba, sedang mengangkat biji pala dan fuli dalam karung plastik untuk dijemur di depan rumah. Ada sekitar 30 kg biji pala. Di tepi jalan Desa Djiko, Kecamatan Mandioli Selatan, Halmahera Selatan, Maluku Utara inilah pala dan fuli berjejer dalam proses pengeringan.
“Torang bapete baru dua hari (kami memetik pala ini baru dua hari). Mungkin tiga hari lagi selesai panen,”kata Aena, Juni lalu.
Dia punya sekitar 150 pohon pala di kebun. Ada yang sudah usia tua, ada yang baru belajar berbuah.
Selain pala hasil panen dari kebun, katanya, juga beli biji mentah atau basah dari warga dan tetangga. Yang dia jemur kelihatan banyak. Biji basah per kaleng susu Rp8.000.
Untuk beli biji pala mentah perlu modal lumayan besar. “Rp50 juta sudah cukup jika mau beli biji pala eceran,”katanya.
Di kampung itu, tak hanya keluarganya menanam pala, masyarakat Pulau Mandioli giat menanam pala. Selain harga mahal juga panen mudah serta umur berbuah tidak terlalu lama. Dibanding memanen kelapa termasuk pekerjaan terbilang berat, mulai pembersihan, panjat, kumpul dan olah.
“Pokoknya kalau proses bikin kelapa jadi kopra itu butuh tenaga ekstra. Dibanding panen pala perempuan juga bisa kerjakan,” ujarnya.
Awalnya, warga hanya menanam kelapa dan kakao. Hutan Pulau Mandioli pun didominasi kelapa. Dari tepi pantai hingga ke puncak gunung banyak berisi tanaman kelapa. Warga mulai menanam pala ketika hasil kakao mulai menurun karena diserang hama pasca konflik 1999. Sejak itu, setiap warga di kampung punya pala hingga ratusan pohon. “Di setiap kampung warga memiliki pohon pala paling minimal 100-200 pohon. Bahkan, ada sampai 500 pohon,” katanya.
Dari tiap pala berusia muda sekali berbuah bisa 10-20 kilogram. Pala pohon tua, sekali berbuah bisa panen sampai 30 kilogram.
“Saat ini, masyarakat yang punya kebun pala senang karena harga biji pala mahal. Pala berbuah dan panen sepanjang tahun.”
Petani di Desa Jiko, misal, mereka berkecukupan karena ada pala. Untuk kebutuhan sehari-hari bisa dari hasil pala. Satu kg biji pala sudah ratusan ribu. Belum lagi, katanya, harga fuli per kilogram bisa tembus Rp200.000. Apalagi tambah kalau panen kopra tiap empat bulan sekali.
“Kalau torang (kami) di Mandioli pala ini sudah menjamin hidup warga. Kebutuhan sehari hari, termasuk biaya sekolah anak, tabungan dan lain-lain. Semua dari kebun pala,”katanya.
Desa Jiko, merupakan ibu kota Kecamatan Mandioli Selatan, dengan 398 keluarga atau 2.050 jiwa menanam pala, cengkih dan kelapa.
Supardi Syarif, Kepala Desa Jiko mengatakan, masyarakat Jiko serius bertani. Hasil kebun dari pala, cengkih dan kelapa dari Jiko tak terdata berapa besar per bulan, atau per tahun.
Meski begitu, katanya, dari hasil panen bisa sampai puluhan ton setiap bulan dikirim ke Bacan maupun Ternate.
“Hasil hasil pala, cengkih dan kopra ini kebanyakan dibawa ke Bacan dan Ternate. Tiap bulan bisa puluhan ton. Ini potensi besar hasil perkebunan dari desa kami.”
Warga desa, katanya, menggantungkan hidup dari perkebunan tiga jenis tanaman ini. Pala, cengkih atau kelapa, merupakan tanaman yang bisa diwariskan turun temurun kepada anak cucu.
“Dari tiga komoditi perkebunan ini, pala tanaman paling banyak digemari dan ditanam,”kata Supardi.
Pemerintah juga mendukung dengan mendistribusikan bibit. Dalam beberapa tahun ini, ada bantuan bibit pala dari pemerintah.
Khawatir ada tambang
Pulau seluas 266,02 kilometer itu berada di antara Pulau Bacan dan gugusan pulau-pulau Obi. Pulau ini terdiri dari dua kecamatan, yakni Mandioli Utara dan Mandioli Selatan dengan 13 desa dan penduduk 11.262 jiwa, mayoritas petani.
Di Pulau Bacan, misal, sudah ada izin tambang skala besar maupun tambang rakyat. Di Obi, sudah di kelilingi perusahaan tambang nikel. Di Pulau Mandioli, tak ada izin ekstraktif.
Warga khawatir, industri tambang bisa masuk ke wilayah ini kalau ada potensi potensi mineral.
“Kami sudah dengar, kejadian di Obi datangnya tambang tidak hanya kebun yang kena, kampung saja bisa dipndah),”kata Firdaus Tabem, tokoh masyarakat Desa Jiko Mandioili Selatan.
Dia meminta, jangan sampai ada industri tambang masuk ke pulau ini. Kalau sampai terjadi, katanya, mereka bisa sengsara karena terjadi banyak kerusakan hutan, lahan, sungai, laut, sumber air bersih dan lain-lain.
Dalam dokumen rencana aksi kegiatan dan supervise atas gerakan nasional penyelamatan sumberdaya alam Indonesia untuk sektor perkebunan di Maluku Utara, Pulau Mandioli masuk dalam pengembangan lima komoditas unggulan yakni kelapa, kakao, pala, cengkih dan mete.
Sesuai pemetaan wilayah perkebunan, Mandioli masuk gugusan pulau Bacan Obi, yang termasuk dalam kawasan Sibela meliputi kecamatan di Bacan, Kasiruta, Botanglomang, Kepuluan Joronga dan Mandioli.
Pulau ini juga terbilang masih terisolasi dari akses antar desa. Hingga kini, jalan keliling pulau masih tanah. Penerangan masihmengandalkan genset yang menyala hanya enam jam, dari pukul 18.00- 00.00 WIT.
PLN, katanya, sudah membangun jaringan listrik dan selesai 2018, Namun, katanya, sekitar empat tahun terbangun, belum menyala. Mesin pembangkit juga belum ada hingga kini.
Mereka berharap, pemerintah membuka akses agar bisa memasarkan hasil pertanian dan perkebunan ke tempat lain.
Faisal Ratuela, Direktur Walhi Maluku Utara bilang, pulau-pulau kecil di Malut punya potensi alam besar seperti perikanan dan pertanian. Pulau-pulau kecil di Malut, katanya, kaya kelapa, cengkih dan pala. Masyarakat, sudah hidup turun temurun dengan menanam tiga tanaman penting ini.
Sayangnya, kata Faisal, pembangunan pemerintah malah banyak mendorong peningkatan pendapatan dari sektor pertambangan.
Padahal, katanya, seperti di Pulau Mandioli, dengan mengembangkan lahan pertanian atau perkebunan seperti pala, cengkih dan kelapa ini, warga mampu membangun ekonomi.
Tanaman-tanaman ini, katanya, lebih menjamin kehidupan masyarakat secara berkelanjutan dan alam tetap terjaga.
Dia desak pemerintah fokus kebijakan pembangunan pada pertanian/perkebunan dan perikanan dibanding mengeksploitasi hutan dan lahan pulau-pulau dengan izin tambang dan perkebunan monokultur yang merusak.