Mongabay.co.id

Mahniwati, Putri Pariwisata yang Terjun ke Bisnis Kopi dan Dampingi Petani di Lombok

 

 

 

 

 

Mahniwati menyiapkan berbagai perlengkapan ke kebun kopi, pagi itu. Ada topi, tas, sandal, dan botol air minum. Sejak malam, dia sudah mewanti-wanti kami agar tak terlambat bangun. Kebun kopi yang akan kami tuju di Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, cukup jauh dari rumahnya di Desa Karang Bajo. Mahniwati akan mendampingi petani kopi panen perdana Juni lalu.

Kebun kopi tempat panen perdana tak jauh dari jalan. Sepeda motor kami parkir di tepi jalur pendakian Rinjani di pintu Senaru. Belasan pria dewasa dan berapa anak-anak sudah menunggu. Mahni satu-satunya perempuan.

Pohon kopi di kebun Senaru masuk kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) Senaru Universitas Mataram ini cukup tinggi, mencapai empat meter. Kalau tak bisa dipanjat, mereka menarik dengang galah. Perlahan biji kopi itu mereka masukkan dalam karung. Mahni berulang kali mengingatkan agar memetik biji merah saja.

“Dulu, sulit sekali meminta untuk memetik biji merah, karena dianggap merepotkan. Setelah lama diberikan pemahaman dan petani tahu harga lebih tinggi, barulah diikuti yang lain,’’ kata perempuan yang aktif di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini.

Setelah selesai panen kopi, para petani beranjak dari kebun. Mereka menuju rumah produksi kopi milik Nursaat, petani kopi di Senaru. Di rumah Nursaat sudah tersedia mesin pengupas biji kopi. Satu persatu petani yang panen pagi itu mengupas kopi.

Pada pengupasan pertama dianggap terlalu kasar. Perlu atur ulang pisau pengupas dan kecepatan mesin. Setelah tiga kali mencoba barulah dianggap tepat. Setelah terkupas, biji kopi itu dijemur.

Selama sehari penuh para petani yang rata-rata berusia 50 tahun lebih itu belajar proses panen kopi merah (cerry), membersihkan kopi, mengupas, menjemur, hingga roasting. Khusus roasting dengan biji kopi yang sudah diolah terlebih dahulu oleh Nursaat.

 

Mahniwati (dua dari kanan) bersama para perempuan adat Bayan saat melangsungkan ritual Maulid Adat di Desa Bayan, Lombok Utara. Foto: Mongabay Indonesia/Fathul Rakhman

 

Nursaat sudah lama jadi mitra Mahniwati dalam bisnis kopi. Dia menyediakan biji kopi, Mahni memasarkan sampai membuat kedai kopi dengan label Kon Bayan. Kon Bayan bermakna dua hal. Kon berarti di, menunjuk lokasi, jadi Kon Bayan berarti Bayan. Kon ini akronim dari Kopi Nina yang berarti kopi perempuan.

Walaupun pada proses panen dan pengolahan kopi pagi itu Mahniwati satu-satunya perempuan, tetapi sebagian besar mitra adalah petani perempuan.

Mahniwati lahir dan besar di Bayan, tempat yang dikenal dengan tradisi yang mengakar kuat. Bayan identik dengan wetu telu, sebuah kepercayaan lokal masyarakat, yang sering kali salah ditafsirkan orang luar.

Mahniwati bilang, ketika sering mengikuti berbagai kegiatan sering ditanya tentang praktik masyarakat Bayan. Pandangan orang luar, wetu telu itu berarti tiga. Hanya melaksanakan sholat tiga kali saja. Puasa tiga kali saja.

“Itu juga salah satu alasan saya menggunakan nama Bayan. Untuk menunjukkan Bayan itu punya banyak potensi,’’ katanya.

Perjalanan Mahniwati membuat branding kopi Kon Bayan memang unik. Lahir dan besar di lingkungan masyarakat adat yang kuat, Mahniwati pernah menjadi putri pariwisata. Ikut kontes di tingkat kabupaten, dan menjadi putri pariwisata favorit di tingkat provinsi. Dari forum putri pariwisata itulah Mahniwati tahu bagaimana pandangan orang tentang Bayan tentang wetu telu. Lewat putri pariwisata itu Mahniwati ingin meluruskan pandangan keliru itu.

Bergelut dengan kegiatan putri pariwisata, Mahniwati mencapai titik jenuh. Dia merasa ada yang kosong dalam perjalanan hidupnya. Dia melihat masyarakat adat kaya dengan sumber daya alam, tapi kehidupan mereka miskin.

 

Mahniwati, perempuan adat Bayan saat proses penjemuran kopi di Desa Senaru, Kabupaten Lombok Utara. Foto: Mongabay Indonesia/Fathul Rakhman

 

Ambil contoh, katanya, potensi kopi. Sebagian besar kebun kopi di Kabupaten Lombok Utara berada di komunitas masyarakat adat. Begitu tahu harga biji kopi yang dijual petani, dia sedih. Mahniwati tahu harga kopi di café. Dia tahu harga kopi yang sering dia bantu promosikan sebagai putri pariwisata.

“Bayangkan biji kopi per kg hanya Rp20.000-an, padahal kopi mereka kopi organik dan kopi bagus,’’ katanya.

Mahniwati mengikuti berbagai kegiatan terkait kopi. Dia juga belajar otodidak. Belajar proses pemeliharaan, panen, pascapanen, pengolahan, hingga pemasaran. Dia juga ikut sertifikasi jadi barista. Dengan pengalaman itu, Mahniwati total mengabdikan diri mendampingi petani kopi.


Penyelamat saat krisis

Desa Senaru, dikenal sebagai jalur pendakian Rinjani sejak tahun 70-an. Sebelum Sembalun, Lombok Timur dikenal seperti saat ini, Senaru adalah pintu pendakian. Masyarakat meraup untung dari pendakian. Sepanjang jalan di Desa Senaru berdiri restoran, homestay, hotel, dan kios-kios jasa treking. Kehidupan Senaru seperti kota. Hidup 24 jam. Ratusan orang mendaki setiap hari.

Semua berubah ketika gempa 2018. Senaru adalah salah satu desa terdampak gempa cukup parah. Gempa 29 Juli 2018 membuat fasilitas pariwisata rusak, disusul Agustus 2018 benar-benar membuat pariwisata tiarap. Kerusakan fasilitas akibat gempa belum selesai diperbaiki, menyusul pandemi COVID-19.

Pariwisata di Senaru benar-benar gulung tikar. Hingga kini masih banyak fasilitas pariwisata yang belum diperbaiki sejak rusak oleh gempa 2018.

Ketika Senaru jaya oleh pariwisata, kebun-kebun ditinggalkan. Tidak terurus, ada juga yang digadai untuk menambah modal pariwisata. Sejak sejak gempa 2018, disusul COVID-19 masyarakat mulai sadar. Kebun adalah tumpuan hidup mereka. Kopi adalah penyelamat.

“Satu-satunya komoditas yang permintaan tinggi selama pandemi adalah kopi,’’ kata Mahniwati.

 

Mahniwati di depan mesjid kuno Semokan Ruak, Kecamatan Bayan saat mengikuti ritual Lebaran Adat. Foto: Mongabay Indonesia/Fathul Rakhman

Kebun kopi yang dulu tak terurus kembali dibersihkan petani. Para pekerja di sektor pariwisata seperti porter, guide, bahkan pemilik penginapan kembali ke kebun. Mereka belajar dari nol untuk mengolah kopi. Menghasilkan kopi yang bisa bersaing dengan daerah lain.

Di masa-masa sulit itulah Mahniwati meningkatkan kemampuannya. Tekun berlatih mengolah kopi, dan makin sering turun ke kampung-kampung. Masuk kebun, masuk hutan untuk mendampingi petani kopi.

Awalnya dia dipandang sebelah mata. Kopi terlalu identik dengan urusan laki-laki. Padahal, di seluruh proses bisnis kopi, lebih banyak perempuan yang terlibat. Saat panen kopi sebagian besar adalah perempuan. Saat proses pengolahan pascapanen juga lebih banyak terlibat perempuan.

Begitu juga dalam bisnis kopi, sebagian besar UMKM di bisnis kopi dan turunan adalah perempuan. Kehadiran Mahniwati, sarjana, mantan putri pariwisata, memberikan semangat kepada para petani perempuan.

Ketika para petani laki-laki sulit diajak untuk mengolah kopi dengan kualitas premium, dia mengajak kaum perempuan.

“Sekarang petani-petani kopi kita sudah mulai terlatih. Bagi saya ini bukan saingan, tapi ini menjadi mitra.”

Saat kami menelusuri kebun-kebun kopi di Desa Senaru, telepon masuk ke smartphone Mahniwati. Pengepul kopi dari Desa Bayan menghubungi.

Sore itu juga kami bertemu. Rupanya, pengepul kopi itu ingin Mahniwati mendampingi petani kopi di desanya. Selama ini, petani kopi masih panen dengan cara merontokkan semua biji, merah maupun hijau. Harga juga ditentukan tengkulak besar.

 

Mahniwati, perempuan adat Bayan saat proses penjemuran kopi di Desa Senaru, Kabupaten Lombok Utara. Foto: Mongabay Indonesia/Fathul Rakhman. Foto: Mongabay Indonesia/Fathul Rakhman

 

*******

Exit mobile version