Mongabay.co.id

Klaim Terbaik dari Kampung Perikanan Cerdas

 

Desa Patra Tani di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan menjadi lokasi percontohan di Indonesia untuk pengembangan program kampung perikanan cerdas atau smart fisheries village (SFV). Selain itu, ada juga proyek yang sama di Desa Panembangan, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Pengembangan program tersebut dilaksanakan untuk memperkuat kemandirian desa yang berbasis usaha perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengembangkannya bersama Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).

Kepala Badan Riset dan Sumber daya Manusia Kelautan dan Perikanan KKP I Nyoman Radiarta menjelaskan, walau SFV dilaksanakan di Indonesia, namun program tersebut mendapat dukungan dari dunia internasional.

“Konsep SFV juga dipromosikan di luar negeri, salah satunya pada forum regional Asia dan Pasifik,” ucap dia pekan lalu di Jakarta.

Sebagai bagian dari pengembangan prinsip ekonomi biru yang berkelanjutan, SFV memang dipersiapkan untuk bisa mewujudkan ketahanan pangan di wilayah permukiman dengan tetap menjaga keberlanjutan lingkungan dan sumber daya alam.

Penerapan praktik ekonomi biru menjadi sesuatu yang penting, karena ada panduan jelas dalam melaksanakan pengelolaan sumber daya kelautan. Selain itu, ekonomi biru juga menjadi acuan untuk memulihkan kesehatan laut dan potensi kelautan yang bisa menjadi kekuatan Indonesia.

baca : Benarkah Kampung Budi daya Perikanan Bisa Dorong Produksi?

 

Kepala BRSDM KP KKP I Nyoman Radiarta menjelaskan program kampung perikanan cerdas atau smart fisheries village (SFV). Foto : KKP

 

Detailnya, KKP melaksanakan implementasi pembangunan ekonomi biru melalui lima program prioritas. Di antaranya adalah memperluas wilayah konservasi dengan target luasan mencapai 30 persen dari total luas wilayah perairan Indonesia.

“Itu dilakukan dengan mengedepankan kualitas kawasan konservasi,” jelas dia.

Program kedua, adalah dengan melaksanakan kebijakan penangkapan ikan secara terukur yang berbasis pada kuota penangkapan dan menetapkan zona konservasi di enam zona penangkapan ikan.

Ketiga, menjaga daya dukung lingkungan dengan perikanan budi daya ikan yang ramah lingkungan dengan tujuan untuk meningkatkan produksi perikanan untuk pasar ekspor dan dalam negeri. Baik itu perikanan budi daya laut, pesisir, maupun pedalaman.

Keempat, KKP melaksanakan penataan ruang laut mewujudkan untuk perlindungan ekosistem pesisir dan laut. Terakhir atau kelima, program prioritas dalam implementasi prinsip ekonomi biru adalah manajemen sampah laut dengan strategi nilai ekonomi.

I Nyoman Radiarta menerangkan, agar program prioritas di atas bisa berjalan, maka konsep SFV kemudian dikembangkan sebagai konsep pembangunan desa perikanan dan satuan kerja yang berbasis penerapan teknologi informasi komunikasi dan manajemen tepat guna, dan keberlanjutan.

baca juga : Membumikan Prinsip Ekonomi Biru di Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil

 

Ilustrasi. Bentang Taman Nasional Bangko-Bangko dengan deretan perahu dan perkampungan nelayan di Pantai Bangko-Bangko, Desa Batuputih, Kecamatan Sekotong Lombok Barat. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, SFV juga dikembangkan untuk meningkatkan ekonomi di pelosok dan pesisir pada lokasi pengembangannya ada di tengah pelaksanaan program kampung budi daya dan desa inovasi/desa mitra.

Sebelum KKP menetapkan sebuah lokasi sebagai pengembangan program SFV, terlebih dahulu dilakukan pengukuran lima indikator yang bisa menjadi panduan atau kerangka acuan. Kelimanya adalah sustainable, modernization, acceleration, regeneration, dan technology atau SMART.

Dia meyakini, pelaksanaan SFV akan bisa mengubah wajah kampung perikanan menjadi lebih bisa bersaing secara ekonomi. Hal tersebut bisa terjadi, karena ada kegiatan ekonomi di dalam kampung yang lebih beragam dengan tetap memperhatikan prinsip keberlanjutan.

“Ada spot wisata hingga produksi UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah). Ini memang bertujuan untuk menggali dan mengembangkan desa perikanan menjadi lebih maju, modern dan berkelanjutan dalam meningkatkan ekonomi masyarakat desa,” terang dia.

Dengan mempelajari paparan di atas, maka dia menyimpulkan kalau SFV adalah praktik terbaik untuk menerapkan prinsip ekonomi biru dengan menggunakan teknologi inovatif. SFV menjadi tempat kegiatan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan inkubasi bisnis secara terpadu.

Semua itu dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan komunitas pekerja, melestarikan lingkungan, dan menerapkan teknologi digital. Jika berhasil, maka itu menjadi kerja keras hasil kolaborasi antar pemangku kepentingan yang terlibat.

Adapun, kolaborasi yang dilakukan adalah dengan menggandeng kementerian/lembaga (K/L), perbankan, akademisi, serta teknologi dan informasi. Dengan kerja sama tersebut, diharapkan pembangunan kampung budi daya berbasis kearifan lokal dan nelayan maju bisa terwujud.

baca juga : Harapan Nelayan Jambula dengan Program Kampung Nelayan Maju

 

Ilustrasi. Dua orang perempuan gembira menunjukkan ikan cakalang segar di Banda Neira, Kepulauan Banda, Maluku Tengah, Maluku. Foto : shutterstock

 

Kolaborasi

Tentang kolaborasi yang dilakukan bersama FAO, I Nyoman Radiarta menerangkan kalau itu dilakukan dengan fokus pada program iFish yang menjadi proyek kerja sama antara KKP dengan FAO. Program tersebut fokus pada tiga komoditas ikan air tawar, yaitu sidat, arwana, dan belida.

Adapun, tujuan proyek adalah untuk memperkuat kerangka pengelolaan pemanfaatan keanekaragaman sumber daya perikanan perairan darat, dan sekaligus meningkatkan perlindungan terhadap ekosistem perikanan darat bernilai tinggi dan keanekaragamannya di Indonesia.

Menurut dia, ada empat komponen kegiatan utama yang menjadi perhatian dari proyek tersebut, di antaranya adalah pengarusutamaan keanekaragaman hayati melalui pengembangan sumber daya dan pengelolaan kebijakan; konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan jenis-jenis ikan; pemantauan dan kajian keanekaragaman hayati; serta pemantauan dan evaluasi proyek, dan adaptasi pengelolaan.

Sebelumnya, selama dua tahun terakhir pengembangan SFV di Patra Tani sudah menerapkan inovasi Special Area for Conservation and Fish Refugia (SPEECTRA) dengan beberapa keunggulan fungsi yang sangat baik.

Di antaranya, adalah sebagai cadangan produksi ikan, cadangan karbon, mendukung ketahanan pangan, penyedia protein hewani ikan dalam program anti pengerdilan (stunting), mencegah kebakaran, serta menjadi suaka perikanan buatan untuk ikan memijah, berlindung dan mencari makan.

SPEECTRA dalam pengembangannya akan diproyeksikan sebagai wilayah perikanan terpadu berbasis anjangkarya atau edukasi wisata (eduwisata). Secara bertahap, SPEECTRA sudah mulai dibangun sejak 2019 dengan area seluas lima hektare sebagai percontohan.

baca juga : Mewujudkan Kedaulatan dan Ketahanan Pangan dari Perikanan

Kepala BRSDM KKP Sjarief Widjaja (depan) menangkap ikan saat meninjau lahan SPEECTRA, di Muara Enim, Sumatera Selatan, Sabtu (17/10/2020). Foto : KKP

 

Direktur Perencanaan Teknis Direktorat Jenderal Pembangunan Desa dan Perdesaan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) Dewi Yuliani memberikan pendapatnya tentang pengembangan SFV yang dilakukan KKP.

Menurut dia, SFV menjadi solusi yang tepat untuk meningkatkan produktivitas masyarakat desa berbasis perikanan. Dengan inovasi, pengembangan potensi perikanan yang ada di desa diyakini akan menjadi lebih optimal.

Seperti halnya dalam pembangunan dalam bentuk apa pun, akan selalu ada tantangan saat proses sedang berjalan. Demikian juga dengan pembangunan desa, baik di pelosok maupun di pesisir yang dinilai akan selalu menghadapi tantangan yang berbeda-beda dan sulit.

Untuk itu, dalam membangun desa diperlukan kolaborasi yang kuat antar pihak yang berkaitan dengan masyarakat di dalamnya ikut terlibat secara aktif. Kolaborasi bisa menjadi kunci, karena ada banyak tantangan, terutama soal SDM, akses permodalan, hingga infrastruktur.

“Untuk bisa membangun desa kita perlu melakukan kolaborasi, dan sudah berapa kali kami melakukan pertemuan dengan KKP untuk membahas kerja sama ke depan seperti apa. Kami juga punya program dana desa yang mungkin bisa dielaborasi,” jelas dia.

Dewi Yuliani menerangkan, dalam mengembangkan pedesaan di seluruh Negeri, pihaknya membuat beragam program kerja yang bertujuan untuk bisa meningkatkan keterbukaan ekonomi dan masyarakat. Termasuk, kawasan perdesaan prioritas nasional.

Saat ini, terdapat lokasi fokus (lokus) kawasan perdesaan prioritas nasional yang dikembangkan Kemendesa PDTT. Dalam program tersebut, ada sepuluh kawasan perdesaan yang dikembangkan pada 2022 dengan fokus mencakup sektor kelautan dan perikanan.

Rinciannya, ada pengembangan kawasan Minapolitan Idi Rayeuk di Kabupaten Aceh Timur dengan pengembangan fokus pada perikanan tangkap dan perikanan budi daya. Lalu, ada juga Kabupaten Belitung melalui pengembangan kawasan Perdesaan Mina Agrowisata dengan fokus pada perikanan.

perlu dibaca : Ironi di Kepulauan Kei : Kaya Potensi Perikanan, Tapi Miskin Pemanfaatan [1]

 

Pengembangan Permukiman Perdesaan Kawasan Minapolitan Idi Rayeuk & Peureulak Kab. Aceh Timur. Foto : Cipta Karya Kemen PUPR

 

Kemudian, ada juga di Kabupaten Belitung Timur dengan Kawasan Perdesaan Minapolitan Perikanan Tangkap yang fokus pada ikan pelagis kecil. Kabupaten Pandeglang melalui Kawasan Perdesaan Mina Agrowisata Krakatau dengan fokus melinjo, perikanan, dan wisata.

Selanjutnya, di Kabupaten Gorontalo Utara ada pengembangan Kawasan Perdesaan Wisata Ponelo Kepulauan dengan fokus wisata bahari dan perikanan budi daya. Di Kabupaten Mamuju ada pengembangan Kawasan Perdesaan Wisata Terpadu Kambunong dengan fokus wisata bahari.

Di Kabupaten Pinrang, ada pengembangan Kawasan Perdesaan Minapolitan Luwita dengan fokus pada ikan. Lalu, di Kabupaten Konawe Selatan ada pengembangan Kawasan Perdesaan KPPN Tinanggea dengan fokus pada rumput laut, rajungan, udang, bandeng, dan terasi.

Berikutnya, di Kabupaten Muna ada pengembangan Kawasan Perdesaan Kecamatan Kabawo dan Kecamatan Parigi dengan fokus pada jagung kuning, padi, dan perikanan terpadu. Terakhir, di Kabupaten Merauke ada pengembangan Kawasan Perdesaan Penyangga Pangan Berkelanjutan dengan fokus pada padi, jagung, dan perikanan.

Dia menambahkan, dalam melaksanakan pengembangan kawasan perdesaan, pihaknya fokus pada arah kebijakan prioritas pembangunan desa. Termasuk, desa yang tanggap pada perubahan iklim, peduli lingkungan laut, dan desa dengan pertumbuhan ekonomi yang merata.

Diketahui, pengembangan SFV dilakukan KKP dengan melibatkan sejumlah instansi, baik dari pemerintahan ataupun pihak swasta. Selain Kemendes PDTT, pemerintahan juga melibatkan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf), dan pemerintah daerah.

Selain itu, ada juga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pihak swasta yang fokus pada pengembangan fasilitas telekomunikasi dan juga teknologi informasi. Adapun, fokus dari SFV adalah wisata kuliner, wisata edukasi, dan wisata olahraga.

Di antara yang terlibat dari BUMN dan swasta, adalah PT Telkom Indonesia dan PT XL Axiata. Kedua perusahaan yang fokus pada pengembangan teknologi informasi dan telekomunikasi itu, sama-sama menyebut kalau SFV adalah inovasi yang bisa menjadi solusi untuk mengembangkan kawasan pesisir dan pelosok lebih baik lagi.

Menurut Tribe Leader Aquaculture & Fisheries PT Telkom Indonesia Ahmad Rosadi Djakarsih, SFV sejalan dengan program kerja berbasis perikanan dan pertanian yang telah dilakukan pihaknya selama ini.

Sementara, Chief Corporate Affairs XL Axiata Marwan O Baasir menyebut kalau SFV menjadi pengembangan lebih baik lagi dari program sebelumnya yang sudah dijalankan, yakni Laut Nusantara yang dikembangkan bersama KKP.

Menurut dia, dalam mengembangkan SFV di lapangan, sangat penting untuk dilakukan analisis berbasis data agar bisa membentuk ekosistem digital, sehingga pertumbuhan ekonomi dapat tercapai. Dengan demikian, program yang dibangun juga menjadi lebih tepat sasaran.

 

Exit mobile version