Mongabay.co.id

Meminimalisir Kerugian, Petani Kopi Pilih Panen Racutan

 

Meski lahan kebunnya berada di lereng pegunungan yang curam, tidak lantas membuat Ruskin (50), petani di Dukuh Gingsir, Desa Rahtau, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, merasa kesulitan memanen buah kopi.

Bersama tiga kerabatnya, pria berkumis tebal ini nampak semangat menuai hasil tanaman yang sudah ditanam sejak 5 tahun lalu itu. Ketinggian tanaman kopi yang dipanen beragam antara dada orang dewasa, sejajar dengan kepala, hingga di atas kepala.

Sebelum pindah ke tanaman kopi lainnya bapak tiga anak ini terlebih dulu menghabiskan buah kopi yang ada ditangkai itu dengan menggunakan tangan kosong.

Padahal, dalam satu tangkai itu tidak semua buah kopi telah matang penuh. Ada yang masih hijau kekuningan, kuning kemerahan, bahkan masih ada yang berwarna hijau seperti daunnya. Warna itu memperlihatkan kondisi buah kopi sebenarnya masih muda dan belum layak dipanen.

Namun, karena adanya monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan babi hutan (Sus scrofa) yang merusak tanamannya itu, sehingga dengan berat hati dia harus memanen semuanya. Bagi Ruskin kedua satwa liar tersebut merupakan hama.

“Di lahan yang ini saya lebih memilih memanen semua, jika tidak begitu nanti tidak kebagian. Meskipun sebenarnya saya ingin metik merah,” kata pria yang mengaku memiliki lima lokasi kebun kopi di titik yang berbeda-berbeda ini, akhir Juli lalu, 2022. Jika di total keluasan kebun Ruskin hingga 2 haktare.

baca : Cerita Para Pemuda Tuai Keberkahan Dari Panen Kopi Musiman

 

Petani memanen buah kopi di lahan dengan tingkat kemiringan yang curam. Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Cara memetik semua buah kopi yang ada ditangkai ini disebut dengan petik racutan atau serentak. Pemetikan dilakukan terhadap semua buah kopi dari semua dompolan, termasuk yang berwarna hijau dipetik habis.

Jika petik merah, lanjut dia, dalam semusim mestinya buah kopi bisa dipanen 3-5 kali. Karena petik merah dilakukan secara selektif untuk buah yang sudah berwarna merah penuh saja, atau kondisinya sudah matang sempurna.

 

Lebih Mudah

Petani lain, Jamari (67) mengaku jika tidak ada hewan yang menyerang buah kopi miliknya sebenarnya Ia juga ingin memanen buah kopi dengan cara petik selektif. Karena dibandingkan petik racutan, harga kopi basah yang dipetik dengan cara selektif itu bisa lebih mahal.

Tetapi karena kondisi lingkungan yang kurang memungkinkan tersebut membuat Jamari memilih memanen kopi dengan sistem racutan, panennya pun lebih awal. Hal ini untuk menghindari kerugian yang lebih besar.

baca juga : Mahniwati, Putri Pariwisata yang Terjun ke Bisnis Kopi dan Dampingi Petani di Lombok

 

Dalam satu tangkai buah kopi tidak semua matang penuh. Namun, untuk menghindari kerugian yang lebih besar petani harus memanen semuanya. Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Saat ini, lanjut kakek enam cucu itu, harga kopi basah yang petik merah per kilonya kisaran Rp7.000-8.000 ribu. Sedangkan buah kopi hasil petik racutan harga per kilonya Rp4.000-5.000 ribu. Menurut dia, sebagian besar petani kopi di Desa Rahtau juga banyak yang memilih memanen dengan sistem petik racutan.

Bukan karena serangan hama saja yang menjadi alasan. Tetapi dengan sistem racutan ini biaya panen juga bisa lebih ditekan. Selain itu, juga lebih mudah dan praktis. “Apalagi kalau panen kan membutuhkan banyak biaya. Karena untuk panen ini tidak bisa sendiri, harus menggunakan jasa orang,” ujar pria yang sejak tahun 1975 sudah merawat kopi itu.

Dalam sehari ongkos tenaga kerja panen untuk satu orang Rp70 ribu, sementara tenaga kerja yang dibutuhkan petani dalam memanen kopi ini antara antara 3-5 orang, banyak sedikitnya tenaga kerja yang diperbantukan ini tergantung keluasan lahan kebun yang dimiliki petani.

Waktu panen sehari juga belum tentu selesai, apalagi di medan yang cukup sulit. Belum lagi ditambah ongkos untuk tukang ojek yang mengusung buah kopi dari kebun ke jalan raya. Di lahan dengan keluasan sekitar satu hektare itu Jumari mengaku sudah empat hari memanen kopi.

“Meskipun harga kopi petik merah lebih mahal. Namun, ongkos panennya lebih besar, karena waktunya kan bisa lebih lama,” terang pria murah senyum itu disela memanen kopi.

baca juga : Sabun Kopi, Cara Eka Besse Wulandari Bangkitkan Ekonomi Petani

 

Buah kopi di dalam wadah karung yang dipanen dengan sistem racutan. Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Kurang Maksimal

Di Kabupaten Kudus Desa Rahtawu merupakan desa tertinggi. Dengan pertanian andalannya yaitu kopi. Data Dinas Pertanian dilansir dari kanaldesa.com mencatat, pada tahun 2020 produksi kopi di Kudus mencapai 617,5 ton per tahun. Sedangkan Desa dengan ketinggian antara 600-1.600 mdpl ini adalah Desa penghasil kopi terbesar di Kabupaten berjuluk kota kretek ini .

Shodiq Eko Ariyanto (58), Dosen Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Muria saat dijumpai pada Selasa (02/08/2022) menjelaskan, rata-rata kopi di kabupaten Kudus merupakan kopi varietas jenis robusta. Hal ini dikarenakan ketinggiannya yang tidak seberapa.

Menurutnya, kendala yang seringkali dihadapi oleh petani setempat yaitu ongkos petik yang mahal, utamanya petani yang memiliki lahan perkebunan di kemiringan ekstrem, biasanya di atas ketinggian 1.000 mdpl di lereng Gunung Muria.

Kendala lain yang dihadapi petani kopi di lereng Gunung Muria, kata Shodiq, umumnya adalah penanganan pasca panen. Karena panennya menggunakan sistem borong sehingga cara memetiknya juga tidak menggunakan metode petik merah, melainkan racutan.

Padahal, lanjut pria yang gemar mendaki gunung ini, jika panennya menggunakan metode petik merah hasil kopinya bisa lebih bagus ketimbang yang dicampur dengan warna hijau dan kuning.

baca juga : Hanya Kopi Arabika di Hati Masyarakat Gayo, Bukan Tambang Emas

 

Usai dilakukan pecah kulit, sebagian petani kemudian menjemur buah kopi di pinggir jalan di Desa Rahtawu, Kecamatan Gebong, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

“Sebagian memang sudah ada yang melakukan sortir buah kopi dari kebun. Namun, kebanyakannya masih memanen dengan sistem racutan. Utamanya itu petani yang modalnya pas-pasan, yawes poko’e panen,” jelas pria yang menjabat sebagai Wakil Dekan di Instansi tersebut.

Shodiq menilai, meski di kabupaten Kudus tren produksi kopi maupun kedai-kedai semakin banyak ternyata masih belum berbanding lurus dengan meningkatnya harga kopi ditingkat petani. Hal ini dikarenakan adanya sistem ijon.

Karena kebutuhan ekonomi, biasanya petani akan hutang atau menggadaikan buah kopinya dulu meskipun belum panen. Sedangkan harganya ditentukan oleh pengepul. Cara ini dianggap membuat harga kopi relatif murah.

 

 

Exit mobile version