Mongabay.co.id

Tebar Janji Sejahtera Panas Bumi Poco Leok

 

 

“Adakah orang dengan jujur mengatakan niat busuknya?” Pertanyaan ini muncul dari salah satu warga Poco Leok, Flores, Nusa Tenggara Timur, perihal upaya negara mengembangkan geothermal di daerah itu.

Rencana pengembangan PLTP Ulumbu di Poco Leok, karena kapasitas PLTP Ulumbu yang ada hanya 4,7 MW belum mencapai target pemenuhan kebutuhan listrik warga di Flores.

Daerah Poco Leok menjadi titik potensial.. Jarak antara Poco Leok dengan tapak eksisting PLTP Ulumbu hanya 3-5 km.

Poco Leok adalah nama umum dari tiga desa; Lungar, Mocok, dan Golo Muntas. Di dalamnya terdiri dari belasan kampung adat. Setiap kampung memiliki hubungan erat, baik secara antropologis, sosiologis, politik dan ekonomi. Mata pencaharian umum warga, adalah bertani, beternak dan penyadap tuak.

Sejak turun menurun manusia Poco Leok hidup dengan bertani, beternak dan menyadap tuak jadi aktivitas utama.

 

Kemajuan dan kesejahteraan?

Selama lima warsa belakangan, Poco Leok dilalu-lalangi oleh perusahaan beserta rombongannya, seperti ahli geologi, konsultan dengan berbagai perwakilan dari universitas. Terakhir kali yang datang pada 11 September /2021, dari Institut Teknologi Bandung, Universitas Pertamina Jakarta dan Universitas Trisakti.

Mereka datang bak malaikat yang meriap di kegelapan. Salah satu peneliti geologi menjelaskan, alam Poco Leok itu sangat indah, memiliki potensi panas bumi di bawahnya. PLTP Uumbu sudah mengaliri listrik sampai Labuan Bajo. Pada pertemuan di Aula Stasi Lungar itu, dia bllang, dengan ada pengembangan PLTP di Poco Leok akan memajukan daerah ke depan.

Warga adat Poco Leok kuat menolak. Akhirnya, pola kunjungan ke Poco Leok dari perusahaan dan Pemerintah Kecamatan (Pemkec) Satar Mese berubah. Mereka datang dengan frasa “tabe gendang” (permisi rumah adat). Suatu frasa baru bagi keadatan Manggarai.

Kegiatan “tabe gendang” hanya dilakukan di beberapa kampung adat seperti Mesir dan Lungar. Untuk Kampung Lungar ada catatan khusus. Dari awal sampai kini, beberapa tua adat menolak jadi kegiatan dilaksanakan sekelompok orang saja.

Perusahaan mendanai semua akomodasi kegiatan seperti makan dan minum selama pertemuan berlangsung.

Setelah ‘tabe gendang,’ perusahaan dan pemerintah kecamatan juga hadir dengan mengatakan survei jalan. Menurut cerita warga, jalan yang disurvei dan dibangun akan didanai perusahaan dengan lebar delapan meter.

Banyak warga Poco Leok berdecak kagum dengan survei perluasan jalan selebar delapan meter. Banyak juga yang jadikan lelucon pasalnya jalan dari Ponggeok ke PLTP Ulumbu saja sepanjang 4,6 km saat ini tidak diperbaiki.

Bahkan menurut Fais Boa, 2022, PLTP Ulumbu sudah buta mata, karena tak memiliki tanggung jawab untuk merehap jalan lintas Ponggeok-Ulumbu. Jalan itu sudah jadi tanggung jawab perusahaan.

 

Sekolah Dasar Negeri (SDN) Damu, hanya berjarak 500-700 mter dari lokasi PLTP Ulumbu. Warga merasa, setelah ada PLTP atap seng sekolah maupun rumah jadi mudah rusak. Foto: dokumen pribadi

 

Dengan konstruksi UU Nomor 40 /2007 tentang Persero Terbatas dimana pada Pasal 74-nya menjelaskan, pertama, perseroan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan, atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Kedua, tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

Ketiga, perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berarti, survei jalan selebar delapan meter di Poco Leok dari perusahaan adalah angan-angan. Karena tanggung jawab sosial dan lingkungan berlaku kalau perusahaan sudah beroperasi. Di Poco Leok, belum ada operasi perusahaan.

 

Menolak

Meskipun berbagai macam cara pendekatan yang dilakukan oleh perusahaan, mayoritas warga Poco Leok menolak. Alasan warga sangat beragam. Ada warga dari Kampung Adat Mucu mengatakan menolak karena menyaksikan langsung rumah-rumah warga di Ulumbu dengan atap cepat berkarat.

Penolakan yang beralasan. Faktanya, di Kampung Damu berjarak 800 ratusan meter dari PLTP Ulumbu, rumah warga cepat rusak.

Penuturan warga di Damu, seng rumah hanya bertahan lima tahun. Maka sebagian beralih ke asbes. Kalau yang banyak uang, akan membeli, seng alumunium dengan harga dua kali lipat dari seng biasa.

Kenyataan ini membuat warga Poco Leok juga menolak kampung mereka jadi target pengembangan. Saya bersama beberapa warga dari Kampung Tere dan Lungar pernah berdiskusi ihwal pengembangan PLTP Ulumbu di Poco Leok. Mereka meragukan janji perusahaan akan memajukan daerah dan meningkatkan ekonomi.

“Saya sangat ragu ungkapan meningkatkan ekonomi dan memajukan, kalau seandainya geothermal itu dibangun di Poco Leok. Saya ragu karena sampai kini, hidup kita dengan orang di sekitar Ulumbu tidak beda-beda jauh,” kata Yohanes Gunawan.

 

Baca juga: Rencana Pengeboran Geothermal di Poco Leok dan Pengabaian Warga

Wilayah terbuka di Ulumbu, yang jadi obyek wisata sumber energi panas bumi. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Apa yang diceritakan Gunawan sangat benar, karena data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Manggarai sejak tahun 2015, tidak memberikan perubahan signifikan jika membandingkan desa di tapak eksisting Ulumbu dan di Poco Leok.

Di sisi lain, penolakan umum dari beberapa gendang saat ini terkait akar kehidupannya atau yang sering disebut dignitas.

Waktu sosialisasi di Aula Stasi Lungar pada 11 September 2021, perwakilan Gendang Mocok, Daniel Adur, menjelaskan secara terperinci terkait sikap penolakan.

Pertama, apabila setuju, berarti semua ritus adat akan hilang, baik mbaru one lingko peang. Rumah adalah tempat mereka lahir dan tempat berlindung. Kedua, natas bate labar, tempat bermain bersama terancam. “Lalau kami serahkan semua itu maka kami akan hilang tempat kami bermain dan hidup.”

Ketiga, compang bate takung, kalau diserahkan berarti budaya ritus adat itu akan hilang. Keempat, uma bate duat, kalau diserahkan, maka tak bisa beraktivitas ke kebun lagi. Kelima, wae bate teku bahwa air sebagai sumber kehidupan mereka akan terancam.

Penjelasan ini mempertegas tesis-tesis pokok tentang keadatan bagi masyarakat umum Manggarai. Dalam diskusi dengan antropolog Manggarai, Inosensius Sutam, aspek adat itu memiliki beberapa hal penting yang tak bisa terpisahkan satu sama lain. Seperti, gendang one lingko peang, natas bate labar, war bate teku, compang bate takung dan uma bate duat. Kelima pokok inilah dignitas orang Manggarai.

Singkatnya, kelima pokok ini adalah jaringan nexus yang membentuk kehidupan manusia Manggarai.

Sementara dari kelompok anak muda khusus pegiat pariwisata, juga menolak karena Poco Leok merupakan daerah pariwisata alam dan budaya. Hingga 2022, guide (pemandu) mengatakan sudah ratusan tamu datang.

Vendi Andur, pemandu wisata juga mengatakan, pernah bicara dengan turis asing, soal di Ulumbu, ternyata mereka tak suka kalau wisata alam itu ada perusahaan, apalagi pertambangan seperti panas bumi. Menurut Andur, lebih sedikit orang berkunjung setelah ada PLTP.

“Percuma kami sejahtera, kalau tanah warisan nenek moyang dijual begitu saja. Percuma kami maju, kalau masa depan anak kami tak tau harus membangun rumah dan hidup di atas tanah yang bukan miliknya.”

 

 

Pipa-pipa sumur uap yang memproses panas bumi jadi energi PLTP Ulumbu. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

*Penulis, Ernest L. Teredi, adalah Kordinator Penelitian Anamnesis Indonesia. Tulisan ini adlaah opini penulis.

 

 

Exit mobile version