Mongabay.co.id

Bagaimana Dorong Pembiayaan Sektor Energi Tekan Krisis Iklim?

 

 

 

 

Happy birthday Bank BNI, stop financing coal, coal destroys future.” Begitu tulisan poster yang terpampang di depan Gedung BNI Medan, Juli  lalu.

Puluhan anak muda berkumpul di Depan Kantor Bank BNI, longmarch menuju titik Nol Kota Medan, di Kantor Pos Medan. Mereka aksi damai, orasi dan baca puisi sebagai upaya kritik Bank BNI yang masih mendanai sektor batubara, di HUT ke 76.

Mereka mendesak BNI berhenti mendanai industri batubara karena berdampak pada kerusakan lingkungan dan kesehatan serta memperparah krisis iklim.

“Perusahaan batubara terbukti mencemari lingkungan dan penyebab perubahan Iklim,” kata Rimba Zaid Nasuition, Fossil Free Sumatera Utara.

BNI masih danai proyek batubara walau sejak 31 Mei 2018, bersama delapan bank nasional membentuk Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia (IKBI). Mereka berkomiten menerapkan pembiayaan berkelanjutan. BNI juga salah satu anggota first movers on sustainable banking dan satu-satunya bank di Indonesia yang jadi anggota UN Environment Programme Finance Initiative.

Komitmen BNI mendukung upaya Pemerintah Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan upaya sendiri, atau sampai 41% dengan dukungan dunia internasional pada 2030.

Sayangnya, bank negara ini belum serius menggarap pembiayaan berkelanjutan. Justru, katanya, BNI masih membiayai sektor berkaitan dengan batubara.

“Baru-baru ini BNI juga mendanai perusahaan tambang batubara di Sumatera Selatan,” kata Rimba.

 

Aktivitas penambangan batu bara di blok B milik PT Minemex

 

Pada April 2021, BNI terlibat dalam pemberian kredit sindikasi kepada PT Adaro Energy Tbk. Dalam laporan tahunannya, produsen batubara terbesar kedua di Indonesia ini punya cadangan batubara 1,1 miliar ton.

Berdasarkan studi lembaga Urgewald dan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), BNI tercatat memberi pinjaman ke perusahaan batubara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) 2020. Bank ini mendanai proyek tak ramah lingkungan sampai US$1,83 miliar, setara Rp27 triliun selama periode Oktober 2018-Oktober 2020. Sementara enam bank lokal yang masih memberikan pinjaman ke perusahaan batubara yang terdaftar pada Global Coal Exit List (GCEL) 2020, pada periode sama mencapai Rp89 triliun.

Bank Mandiri berikan pinjaman terbesar US$2,46 miliar setara Rp36 triliun (kurs Rp14.500 per US$), dan BNI US$1,83 miliar, setara Rp27 triliun. Bank Rakyat Indonesia (BRI) juga beri pinjaman US$1,76 miliar atau Rp26 triliun, BCA US$0,82 miliar, setara Rp12 triliun, Bank Tabungan Negara (BTN) US$0,10 miliar atau Rp1,5 triliun, dan Indonesia Eximbank US$0,03 miliar atau setara Rp435 miliar.

Urgewald melaporkan bank-bank di Indonesia yang masih memberi pinjaman ke perusahaan batubara, juga bekerjasama dengan 166 kampus di Indonesia.

“Supaya mahasiswa menjadi nasabah untuk menyetor biaya pendidikan melalui BNI. Artinya, gak langsung kita juga ikut menyumbang kerusakan alam,” kata Mimi Surbakti, Direktur Srikandi Lestari.

 

Aksi generasi muda di Sumut, protes BNI yang masih dana pembiiayaan batubara. Foto: Barita News Lumbanbatu

 

Daya rusak

Mengutip data Moody’s Investor Service, perusahaan tambang batubara ABM Investama mengumumkan PT. Adaro mendapat pinjaman US$100 juta dari dua bank BUMN.

“Padahal batubara merupakan penghasil emisi karbon dioksida buatan manusia terbesar di dunia. Pada 2020, produksi batubara global menyumbang emisi karbon dioksida 13.98 miliar ton per tahun ”, kata Rianda dari Walhi Sumut.

Dia bilang, polusi batubara berkontribusi besar mempercepat krisis iklim, salah satu bukti makin banyak bencana alam di berbagai wilayah di dunia, termasuk Indonesia.

“Dari banjir, tanah longsor, kekeringan, dan perubahan cuaca tak menentu.”

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat tujuh dari 10 bencana alam di Indonesia terkait dengan krisis iklim. Penyumbang emisi karbon, katanya, termasuk PLTU Pangkalan Susu, Sumatera Utara.

Kajian Nexus3 terhadap PLTU Pangkalan Susu mencatat ada 105 hektar hutan mangrove rusak, termasuk 40 hektar di Desa Tanjung Pasir, Langkat. Hasil penelitian menunjukkan, operasional PLTU membutuhkan batubara 11.885 ton per hari. Dari sekitar empat PLTU hasilkan sekitar 713,1 ton abu batubara per hari.

Sedang sisa pembakaran batubara diperkirakan berupa abu terbang sekitar 499 ton dan bottom ash 213 per hari. Dari hasil Electrostatic Presipitator (ESP) atau alat penangkap abu terbang, ada 496,67 ton abu, dan abu terbang lepas ke udara sekitar 2,5 ton perhari atau 14,4 gram per detik.

Data Puskesmas Beras Basah Pangkalan Susu, 2019, mencatat, penyakit masyarakat antara lain ISPA 3.904, diare 477, infeksi usus 599, tekanan darah tinggi 572, karies gigi 295, penyakit vulva 153, penyakit infeksi kulit 346, penyakit alergi kulit 402 dan penyakit kulit jamur 147.

 

Desakan dari generasi muda agar BNI lepas dari pembiayaan batubara. Foto: Barita News L/ Mongabay Indonesia

 

***

Batubara, salah satu sumber energi fosil pelepas emisi karbon. Dalam Pertemuan Iklim di Glasgow (COP26) secara eksplisit setuju rencana mengurangi batubara guna menahan laju krisis iklim.

Indonesia masih tercatat sebagai negara produsen batubara terbesar setelah Tiongkok dan India, dengan produksi mencapai 606,2 juta ton pada 2021, atau nilai ekspor 435 juta ton. Di dalam negeri, sumber energi juga andalkan batubara.

Dalam pertemuan tingkat tinggi iklim itu sepakat gateaway coal, dan beralih ke energi terbarukan. Paris Agreement’s Rule Book (buku aturan implementasi Perjanjian Paris) selesai. Beberapa bulan lagi, tepatnya pada November 2022 mulai berlangsung pertemuan iklim (Conference of Parties/COP-27) di Mesir.

Doddy S. Sukardi, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau mengatakan, dalam pertemuan itu negara-negara maju berkomitmen meningkatkan pendanaan adaptasi, dan sepakat kurangi penggunaan batubara.

“Itu pertama kali diangkat dalam forum PBB ini. Meskipun India dan China termasuk Indonesia setuju kurangi namun bertahap,” katanya.

Sebagian besar negara maju, kecuali Australia, mengumumkan rencana peningkatan nationally determined contribution (NDC) yang signifikan. Beberapa negara berkembang seperti India, Thailand, dan Vietnam secara substansial berencana mengurangi emisi. Indonesia, dia nilai belum punya arah jelas menuju perubahan kebijakan politik ke energi terbarukan.

Sedangkan negara-negara maju, katanya, malah gagal memenuhi janji mereka menyediakan bantuan US$100 miliar kepada negara-negara berkembang pada 2020 guna membantu atasi krisis iklim. Mereka juga menolak pendanaan internasional untuk kerugian dan kerusakan akibat bencana iklim (loss and damage).

“Negara-negara maju belum memenuhi janji mereka mengirimkan $100 miliar ke negara-negara berkembang setiap tahun untuk mengakhiri penggunaan batu bara dan bahan bakar fosil”, terang Doddy.

Sisil Nurmala Dewi, Asia Managing Director 350.org menilai, belum ada keinginan politik Pemerintah Indonesia untuk mengubah perspektif pendanaan dari energi kotor ke ramah lingkungan.

“Karena industri batubara masih profitable (menguntungkan) bagi Indonesia.”

Menurut dia, sebagai tuan rumah G20, Indonesia sebaiknya mulai menghentikan PLTU batubara sejak dini. “Ubah ke energi terbarukan, bukan malah membuka PLTU baru.”

 

Tongkang batubara di sungai Mahakam di Samarinda, Kalimantan Timur. Foto : Kemal Jufri/Greenpeace.

 

********

Exit mobile version