Mongabay.co.id

Janji Kemudahan Birokrasi untuk Perizinan Kapal Perikanan

 

Penerbitan sertifikat kelaikan kapal perikanan (SKKP) menjadi salah satu proses yang sering dikeluhkan oleh para pemilik kapal ataupun nelayan. Banyak yang mengeluh kalau proses tersebut sangat rumit dan menyita waktu yang sangat panjang.

Kondisi yang sudah berlangsung lama itu, akhirnya berdampak langsung kepada aktivitas mencari ikan yang seharusnya dilakukan kapal ikan. Tanpa aktivitas tersebut, pemilik kapal dan juga nelayan dipastikan tidak akan mendapat pemasukan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri sepertinya sudah menyadari kondisi yang dinilai bisa menurunkan aspek perekonomian di kawasan pesisir. Lembaga negara tersebut bekerja keras untuk melayani para pemohon SKKP dengan lebih cepat dan singkat.

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi di Jakarta, pekan lalu mengatakan, agar keluhan tidak kembali bermunculan di mana-mana, pihaknya sengaja menggelar gerai pelayanan yang didirikan di setiap daerah.

Kehadiran gerai-gerai tersebut, dimaksudkan agar proses penerbitan SKKP menjadi lebih cepat dan bisa melayani lebih banyak pemohon. KKP menyebutnya itu sebagai program akselerasi untuk penerbitan SKKP.

“Ini upaya Pemerintah dalam memberikan pelayanan prima dalam memfasilitas nelayan dan pelaku usaha kelautan dan perikanan,” ucap dia.

baca : Polemik Cantrang : Perizinan Kapal Berbelit Jadi Peluang Pungli (7)

 

Seorang petugas sedang mengukur kapal penangkap ikan. Foto : KKP

 

Dengan menggelar gerai secara khusus di setiap daerah, maka upaya melaksanakan pelayanan jemput bola secara langsung juga akan bisa terwujud. Di sisi lain, layanan tersebut akan dirasakan manfaatnya, karena itu menjadi jawaban atas keluhan sulitnya mengurus SKKP.

Di antara keluhan yang sering muncul saat pengajuan SKKP dilakukan, adalah lokasi pelabuhan perikanan yang menjadi unit pelaksana teknis (UPT) pada lingkup Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP, dinilai jauh dan membuat jarak tempuh menjadi lama.

Namun demikian, keluhan tersebut dinilai menjadi masukan berharga bagi KKP, karena itu berarti akan ada perbaikan layanan yang diberikan kepada nelayan dan pelaku usaha. Salah satunya, adalah penambahan jumlah tenaga petugas pemeriksa kelaikan kapal perikanan.

Muhammad Zaini Hanafi bilang, semua tenaga pemeriksa yang berjumlah mencapai 122 orang saat ini berada di pelabuhan perikanan UPT pusat. Mereka bertugas untuk bisa melayani semua pemohon sertifikasi SKKP.

Sebagai program akselerasi yang sedang berjalan, KKP berjanji akan terus menambah jumlah tenaga pemeriksa sesuai dengan kebutuhan di semua daerah. Kemudian, mereka yang bertugas di lapangan juga terus diberikan peningkatan kualitas bagaimana memeriksa kelaikan kapal perikanan.

Kehadiran para petugas pemeriksa tersebut, diharapkan bisa membawa perubahan dalam proses penerbitan SKKP menjadi lebih cepat namun tetap berkualitas. Para petugas tersebut diharapkan bisa memiliki keseragaman dalam memberikan pelayanan di semua pelabuhan perikanan Indonesia.

baca juga : Negara Harus Telusuri Kapal Ikan Tak Berizin

 

Alat tangkap ikan dan kapal ikan yang terparkir di Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, 3 Juli 2022. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Salah satu daerah yang sudah menggelar gerai kelaikan kapal perikanan, adalah Kota Tanjung Pinang di Provinsi Kepulauan Riau. Selama sepekan para petugas melakukan pemeriksaan fisik dan administrasi kapal perikanan yang menerbitkan 328 SKKP.

Pendirian gerai pemeriksaan kelaikan kapal perikanan, menjadi salah satu upaya yang sedang dilakukan oleh KKP untuk mengembalikan kepercayaan publik, terutama dari pelaku usaha kelautan dan perikanan, serta dari para nelayan.

Kepercayaan itu berusaha dipulihkan, karena selama ini kualitas pelayanan kepada masyarakat, termasuk pengurusan dokumen kapal perikanan masih banyak mendapat penilaian buruk. Keluhan tersebut muncul bersama dengan keluhan lain seperti penggunaan alat penangkapan ikan (API).

 

Birokrasi Sulit

Saat berada di Semarang, Jawa Tengah misalnya, Muhammad Zaini Hanafi menerima keluhan dari para nelayan karena proses perizinan kapal dengan API jaring tarik berkantong (JTB) dinilai sering dipersulit oleh KKP.

Keluhan tersebut, tentu saja muncul dengan keluhan umum, yaitu lama dan sulitnya mengurus SKKP. Kemudian, ada juga keluhan berkaitan dengan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), izin alokasi penangkapan ikan pada dua wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), dan juga keluhan tarif pungutan hasil perikanan (PHP) yang dinilai memberatkan.

Keluhan-keluhan tersebut kemudian ditanggapi dengan memberikan jawaban-jawaban. Salah satunya, adalah jawaban yang menyebutkan kalau berbagai pelayanan dan kemudahan kini sudah diberikan agar bisa mendukung perbaikan aktivitas perikanan tangkap.

“Masalah perizinan sudah clear, kapal eks cantrang didorong untuk beralih menggunakan jaring tarik berkantong. Yang perlu digarisbawahi adalah tidak untuk perizinan kapal baru,” tegasnya di hadapan para nelayan.

baca juga : Ini Cara Agar Ada Efek Jera untuk Pemilik Kapal Tanpa Surat Izin Melaut

 

Deretan kapal berukuran lebih dari 150 GT tengah sandar di Sungai Selogonggong, Juwana, Pati, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Melalui jawaban tersebut, dia mengingatkan agar para pelaku usaha perikanan tangkap untuk selalu patuh pada aturan yang ada, salah satunya dengan mematuhi penggunaan API yang ramah lingkungan dan tidak termasuk API yang dilarang oleh Pemerintah Indonesia.

API yang dimaksud, jika merujuk pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan, adalah pancing, jaring insang, pukat cincin dan lainnya.

Berkaitan dengan sertifikasi kelaikan kapal perikanan, dia menyebut kalau itu merupakan hal yang baru bagi KKP, karena sebelumnya proses itu dilakukan di Kementerian Perhubungan. Identifikasi permasalahan yang ada serta masukan dari para pelaku usaha akan segera ditindaklanjuti. KKP juga memastikan akan menerjunkan petugas kelaikan kapal perikanan untuk memberikan pelayanan kepada nelayan.

Menjawab keluhan tentang kelangkaan BBM, Muhammad Zaini Hanafi mengatakan kalau itu ada kaitan dengan resesi global yang terjadi sekarang dan berdampak ke semua sektor. Dia berjanji akan berkoordinasi dengan pihak terkait untuk BBM khusus bagi industri kapal perikanan.

Koordinasi harus dilakukan, karena dia mengakui kalau BBM bersubsidi yang ada saat ini hanya berlaku untuk nelayan skala kecil dan tradisional. Itu berarti, nelayan di luar kategori tersebut harus membeli BBM dengan harga yang normal, meskipun mahal.

“Kita juga sudah teken kesepakatan bersama dengan kementerian/lembaga terkait BBM ini, dengan harapan kuota untuk nelayan semakin terpenuhi, distribusi semakin cepat, serta penyaluran di berbagai SPDN akan semakin lancar,” bebernya.

baca juga : KKP dan TNI AL Tangkap Kapal Ilegal, Nelayan Natuna Terus Menjerit

 

Kapal ikan harian yang mulai banyak menggunakan jaring minitrawl diparkir di Pelabuhan Perikanan Rembang, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Sementara itu, menjawab pertanyaan pelaku usaha tentang alokasi dua WPPNRI yang berdampingan apakah akan diberikan atau tidak, KKP saat ini masih sedang mempelajarinya lebih lanjut. Namun, secara umum, WPPNRI yang memungkinkan untuk mengikuti penerapan itu memang tidak banyak.

Dia menyebut saat ini hanya ada empat WPPNRI yang lokasinya berdampingan, sehingga bisa diterapkan untuk kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota di masa mendatang. Kebijakan tersebut akan khusus diberikan kepada pelaku usaha dengan kapal perikanan di bawah 100 gros ton (GT).

Adapun, empat WPPNRI yang dimaksud adalah 711 (meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Utara) dengan 712 (meliputi perairan Laut Jawa). Atau, WPPNRI 712 dengan 713 (meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali).

Keluhan lainnya, yaitu tentang mahalnya tarif PHP, juga menjadi perhatian KKP. Dia berjanji kalau revisi Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 dan indeks tarif PHP pascaproduksi yang dirasa memberatkan, akan dikaji kembali dengan melibatkan nelayan, pelaku usaha, peneliti dan akademisi.

Pada kesempatan berbeda, Direktur Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan KKP Mansur memberikan penjelasan tentang keluhan pengurusan SKKP dari para pelaku usaha dan nelayan. Menurut dia, saat ini proses pengurusan sudah tidak memerlukan waktu lama lagi.

“Syaratnya, jika dokumen persyaratannya sudah lengkap,” ungkap dia.

 

Aktivitas bongkar muatan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Adapun, syarat administrasi yang harus disiapkan untuk mengurus SKKP, antara lain kartu tanda penduduk (KTP) dari pemohon, surat izin usaha perikanan (SIUP), dan SKKP yang sebelumnya sudah diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan yang berperan sebagai pemegang kewenangan sebelumnya.

Dia menyebut, kehadiran gerai pemeriksaan kelaikan kapal perikanan di setiap pelabuhan perikanan, berdampak positif karena antusiasme pelaku usaha dan nelayan naik dengan cepat. Hingga saat ini, SKKP yang sudah diterbitkan oleh KKP berjumlah 1.932 sertifikat.

“Hal ini menunjukkan usaha perikanan tangkap terus tumbuh meskipun terjadi dinamika perubahan regulasi,” terang dia.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pada kesempatan sebelumnya, menjelaskan bahwa pengurusan SKKP oleh KKP menjadi pertama kali sepanjang sejarah berdirinya kementerian tersebut.

Selama itu, SKKP ada di bawah kewenangan Kemenhub RI dan kemudian beralih kewenangan kepada KKP dengan tugas dan fungsi yang sama. Peralihan wewenang tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Saat perbaikan pelayanan untuk mengurus dokumen izin kapal perikanan sedang giat dilakukan KKP, di saat yang sama masih ada fakta lain bahwa laut Indonesia tetap menjadi buruan para pencuri ikan dari negara lain.

Fakta tersebut dibeberkan Koordinator Nasional Destructive Fishing (DFW) Watch Moh Abdi Suhufan belum lama ini. Menurut dia, perairan laut Indonesia sampai sekarang masih banyak diserbu kapal perikanan yang tidak memiliki izin operasional.

Sepanjang semester satu pada 2022 ini saja, sedikitnya ada 79 kapal ikan yang berhasil ditangkap oleh kapal Pengawas Sumber daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP. Kapal-kapal tersebut ditangkap karena terbukti melakukan praktik penangkapan ikan secara ilegal di laut Indonesia.

“Ada 10 kapal ikan asing dan 69 kapal Indonesia,” ungkap dia.

 

Berbagai kapal perikanan yang berlabuh di kolam Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman Jakarta, pada Januari 2018. Foto : PIPP KKP

Dengan jumlah tersebut, itu menegaskan kalau pelaku perikanan ilegal tidak selalu berasal dari luar negeri, namun justru dari Indonesia. Dari total jumlah tersebut, hampir semua kapal ikan mendapatkan izin operasi dari daerah, bukan pusat.

Moh Abdi Suhufan menyebut, fakta tersebut menjelaskan bahwa ada ketimpangan dalam hal tata kelola perikanan Indonesia antara pusat dan daerah. Detailnya, karena kapal-kapal tersebut melakukan pelanggaran seperti tidak mempunyai Surat Izin Penangkapan Ikan, Surat Perintah Berlayar, dan SKKP.

“Saya menduga, selain 69 kapal ikan yang tertangkap tersebut, masih ada banyak kapal ukuran di bawah 30 GT yang beroperasi tanpa izin,” tutur dia

Dia kemudian menyebutkan, contoh nyata ada di Laut Arafura, karena diduga sebanyak 3.000 kapal ikan dan perahu sudah biasa beroperasi tanpa membekali diri dengan surat izin dan registrasi yang menjadi syarat untuk melakukan pelayaran dan operasi menangkap ikan.

“Pemerintah jangan menutup mata atas kondisi ini karena praktik ini telah berlangsung lama,” sambung dia.

Peneliti DFW Indonesia Subhan Usman juga menyoroti lemahnya tata kelola perikanan, terutama status daftar milik kapal dan perizinan kapal di bawah 30 GT. Hal itu disebabkan oleh birokrasi yang berbelit dan pelayanan publik pada sektor perikanan yang belum membaik.

“Untuk mengurus surat ukur kapal, pas kecil, pas besar dan SIPI pemilik kapal dan pelaku usaha harus berurusan dengan Syahbandar atau KSOP, Dinas Perikanan kabupaten dan Dinas Perikanan Provinsi tanpa kejelasan biaya dan waktu,” terang dia.

Akibat kondisi ini, banyak pemilik kapal memilih untuk tidak mengurus izin dengan dan melakukan spekulasi dengan berlayar untuk menangkap ikan, walau resikonya adalah ditangkap oleh aparat. Padahal, jika kapal tak berizin banyak beroperasi, itu akan berimplikasi pada rendahnya kualitas pendataan hasil tangkapan.

 

Exit mobile version