Mongabay.co.id

Populasi Kakap-Kerapu Menurun, Pemerintah Dorong Harvest Strategy

 

Pemerintah tengah menyusun draf dokumen strategi pemanfaatan atau harvest strategy untuk perikanan kakap-kerapu, salah satunya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 713, yang meliputi Selat Makasar, Teluk Bone, Laut Bali, dan Laut Flores.

Untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak, Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerja sama dengan Sustainable Fisheries Partnership (SFP), Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Selatan, melaksanakan kegiatan konsultasi publik di Hotel Almadera Makassar, Kamis (11/8/2022) silam.

Menurut Dessy Anggraeni, Direktur Program Indonesia Sustainable Fisheries Partnership (SFP), kegiatan ini dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan banyak masukan dari stakeholders mengenai draf dokumen strategi pemanfaatan kakap kerapu, agar dokumen ini tidak sekedar kertas kebijakan yang tak bisa diimplementasikan.

Dijelaskan Dessy, kakap kerapu adalah komoditas penting bagi Indonesia baik untuk pasar ekspor ataupun domestik. Sayangnya, dari data-data yang ada terlihat bahwa stok dari populasi kakap kerapu ini sudah ada indikasi menurun, ukuran yang semakin kecil dan tangkapan pun berkurang.

“Mungkin pemerintah merasa perlu melakukan strategi pemanfaatan atau harvest strategy untuk kakap kerapu, 3 spesies kakap dan 4 spesies kerapu mulai dari WPPNRI 713. Tadi kan disebutkan oleh KKP ada 4 WPPNRI nantinya untuk kakap kerapu, untuk saat ini dibahas draf dokumen WPPNRI 713, terutama di Sulsel karena termasuk pemasok kakap-kerapu yang cukup besar di WPPNRI 713,” jelasnya.

baca : Melestarikan Potensi Perikanan Kakap dan Kerapu di Laut Dalam

 

Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 713, yang meliputi Selat Makasar, Teluk Bone, Laut Bali, dan Laut Flores. Foto: Satu Data KKP.

 

Kegiatan yang dihadiri parapihak ini agar memberikan masukan terhadap draf atau dokumen kebijakan strategi pemanfaatan, strategi atau peraturan kira-kira apa yang bisa dilakukan oleh nelayan, yang bisa diimplementasikan.

“Kita juga mengajak industri pengolahan karena mereka juga yang akan membeli kakap kerapu dari nelayan dan untuk ekspor. Diharapkan ada masukan terkait bagaimana kebijakan ini bisa membantu mendorong industri dan bagaimana industri bisa tetap mendapatkan sumber daya berupa kakap-kerapu.”

Fery Sutyawan, Koordinator Kelompok Pengelolaan Sumberdaya Ikan Laut Pedalaman, Teritorial dan Perairan Kepulauan Kementerian Kelautan dan Perikanan menjelaskan pentingnya pengelolaan perikanan kakap dan kerapu secara berkelanjutan, antara lain karena memiliki potensi lestari yang besar yaitu 829.051 ton/tahun.

Selain itu, sebanyak 90 persen aktivitas penangkapan dilakukan oleh nelayan skala kecil dengan alat tangkap berupa rawai dasar, bubu, dan pancing ulur.

“Indonesia juga sebagai pemasok utama perikanan kakap dan kerapu dunia sebesar 45 persen tahun 2019 nilai ekspor kakap sebesar USD 8 juta dan kerapu sebesar USD 26 juta, salah satu komoditas prioritas untuk sertifikasi MSC.”

Potensi tersebut, menurutnya, menjadi dasar pentingnya menyusun Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) dalam rangka pengelolaan perikanan berkelanjutan, yang merupakan amanah UU No.31 Tahun 2004 Pasal 7 ayat (1) huruf a jo UU 11 Tahun 2020 dan PP 27 tahun 2021, di mana dikatakan bahwa komoditas kakap dan kerapu telah berada pada tingkat pemanfaatan fully exploited dan over exploited.

“Dengan diterapkannya RPP, maka perlu disusun dokumen harvest strategy perikanan sebagai pendukung operasional implementasi RPP. Amanat penyusunan harvest strategy kakap dan kerapu dalam Kepmen KP 123/2021.”

baca juga : Sinyal Pemanfaatan Berlebih pada Komoditas Sidat, Kerapu, dan Kakap

 

Fery Sutyawan dari KKP menjelaskan pentingnya pengelolaan perikanan kakap dan kerapu secara berkelanjutan, antara lain karena memiliki potensi lestari yang besar yaitu 829.051 ton/tahun. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurutnya, berdasarkan hasil konsultasi publik sebelumnya, dinyatakan terdapat 3 jenis kakap yang dikelola di WPPNRI 713, yaitu bambangan/kakap merah atau malabar red snapper (Lutjanus malabaricus), kakap anggoli atau goldbanded jobfish (Pristipomoides multidens) dan kurisi perak atau rusty jobfish (Aphareus rutilans).

Sementara untuk jenis kerapu terdapat 4 jenis yang dikelola di WPPNRI 713, yaitu kerapu lumpur atau orange spotted grouper (Epinephelus coioides), kerapu ekor putih atau spotted grouper (Epinephelus areolatus), kerapu ekor gunting atau white-edged lyretail (Variola albimarginata) dan kerapu sunu atau leopard coralgrouper (Plectropomus leopardus).

Pengelolaan terhadap total 7 spesies kakap dan kerapu tersebut merupakan hasil dari berbagai pertimbangan dan kategori, serta penilaian terhadap nilai spawning potential ratio (SPR), trade limit dan nilai tingkat kelimpahan CPUE kakap-kerapu.

“Pada akhirnya, direkomendasikanlah beberapa langkah pengelolaan kakap dan kerapu di WPPNRI 713 melalui pengendalian input, pengendalian output, dan skenario pengaturan ketika nilai SPR di bawah angka 20 persen.”

Beberapa poin yang diusulkan dalam aturan ini adalah pembatasan izin kapal atau armada penangkap ikan, pembatasan jenis dan ukuran alat pancing, dsb.

“Kita juga perlu mengubah mindset kuantitas ke kualitas. Bagaimana kita membatasi tapi tetap melindungi. Ini yang kami akui agak sulit karena terkait aspek sosial, terutama untuk jenis sunu yang jumlahnya semakin sedikit.”

baca juga : Menjaga Kelestarian Rajungan, Kakap, dan Kerapu

 

Seekor ikan kakap melompat dari permukaan air laut untuk memakan umpan. Foto : shutterstock

 

Muhammad Ilyas, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, mengatakan pertemuan membahas harvest strategy untuk kakap-kerapu ini adalah untuk kepentingan masa depan perikanan, apalagi nilai kedua jenis ikan ini semakin tinggi dan dicari. Selama ini kakap-kerapu ditangkap sebanyak-banyaknya tanpa melihat dari segi kualitas.

Ia mengkhawatirkan penangkapan yang berlebihan maka akan berdampak pada keberlanjutan, sehingga perlu dilakukan pembatasan penangkapan. Bahkan pengelolaan secara berkelanjutan justru akan membuat nilai jual komoditi ini menjadi semakin tinggi.

“Hanya dengan strategi pengelolaan seperti ini, keberlanjutan komoditi ini bisa dilakukan dan kesejahteraan nelayan juga mendapat perhatian. Selama ini kita sangat mengeksploitasi sumber daya ikan saat ini, dan jika tidak diatur, maka kita tidak dapat melihat lagi keberlanjutannya,” katanya.

Menurut Ilyas, sebagai solusi maka harus didorong agar harga bagus dan nelayan juga harus jaga kualitas pasca penangkapan di laut. Nelayan juga menjual ikan dengan kualitas ekspor agar mendapatkan harga yang bagus.

“Selain itu, kita juga harus memikirkan pekerjaan alternatif yang lain, kalau suatu wilayah akan kita kurangi penangkapannya maka perlu ada alternatif pekerjaan untuk menggantikan mata pencaharian mereka untuk sementara sampai kakap-kerapu bisa pulih kembali.”

Solusi lain adalah perlu upaya adanya riset untuk melakukan re-stocking kepada wilayah-wilayah di mana kakap kerapu itu mulai berkurang serta mendorong konservasi di wilayah di mana pemijahan kakap-kerapu itu berada.

“Jadi tetap kita commit bahwa nelayan itu harus hidup (eksis), tetapi di satu sisi kita harus tetap menjaga sumber daya tetap berkelanjutan, karena tugas kita adalah menjaga keberlanjutan untuk masa depan. Sebagai pemerintah kita memfasilitasi.”

 

Nelayan menyatakan sulit dilakukan pengurangan armada dan pembatasan alat pancing dan justru mengharap pemerintah fokus pada masih maraknya destructive fishing seperti bom, bius dan trawl, yang paling berkontribusi pada berkurangnya kakap-kerapu. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Tanggapan Nelayan

Erwin, nelayan dari Pulau Langkai, Makassar, menyatakan pengurangan armada dan pembatasan jenis dan ukuran alat pancing sulit dilakukan, justru yang perlu dilakukan pemerintah adalah fokus pada penanganan maraknya destructive fishing, seperti bom, bius dan trawl, yang paling berkontribusi pada berkurangnya kakap-kerapu.

Hal yang sama diakui Jabal, nelayan dari Galesong, Kabupaten Takalar, yang menilai pengurangan nelayan sebagai hal yang tidak mungkin dilakukan.

“Di pulau, anak-anak kebanyakan putus sekolah, otomatis anak yang baru putus sekolah pasti ke laut. Perahu katinting juga tidak mungkin 1 orang yang menggunakannya, sehingga memang perlu jumlah nelayan yang tidak sedikit dalam proses penangkapan ikan di laut,” katanya.

Makkawaru, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Selayar menyatakan kebijakan ini sulit dilakukan di wilayah kerjanya di mana sebagian besar berprofesi sebagai nelayan yang diwariskan secara turun temurun.

“Kami ada pulau yang tidak ada alternatif pencaharian selain hanya sebagai nelayan kecil. Dengan pertumbuhan populasi, pasti akan menambah armada penangkapan. Kalau ini dilanjutkan, maka tidak bisa diimplementasikan. Kami paham bahwa aturan ini dalam rangka perikanan berkelanjutan, namun persoalannya adalah nelayan tidak memiliki alternatif.”

 

Exit mobile version