Mongabay.co.id

Mengapa Konflik Manusia dan Buaya Tinggi di Maluku Utara?

 

 

 

 

Konflik manusia dengan satwa liar di Maluku Utara, terutama buaya, terbilang tinggi terjadi di  berbagai tempat dan pulau. Setidaknya, selama 2022 sampai Agustus ini, ada lima korban konflik buaya dan manusia di Maluku Utara. Korban ada yang meninggal dunia, ada yang mengalami luka serius.

Terbaru, pria bernama Rosadi Umamit (32), warga Desa Capalulu, Kecamatan Mangoli Tengah, Kabupaten Kepulauan Sula, diterkam buaya pada 23 Agustus lalu.

Rosadi sedang di tepi pantai mencari sinyal telepon untuk menelpon kerabatnya. Korban diserang buaya saat duduk menelpon. Buaya tiba-tiba muncul dari laut langsung menyerang korban. Kaki kiri kena gigitan aligator  itu.

“Korban lagi duduk di tepi pantai sambil menelpon. Tiba-tiba buaya muncul dan menerkam,”cerita Sahrul Ipa, warga Desa Capalulu kepada media.

Saat diserang, Rosadi berteriak minta tolong dan didengar warga sekitar hingga langsung dibantu. Akibat gigitan buaya, kaki kanan korban robek dan dua paha terkena gigitan. Korban langsung dilarikan ke Puskesmas Mangoli Tengah, Kepulauan Sula, Maluku Utara.

Dua pekan sebelumnya, buaya terkam manusia menghebohkan warga Kota Ternate. Peristiwa ini terjadi di wisata Danau Tolire, Kecamatan Ternate Barat , Kota Ternate. Danau eksotis yang terbentuk dari aktivitas magma Gunung Gamalama itu jarang diakses karena tepian curam dengan kemiringan mencapai 200 meter dari permukaan tanah.

Kalau turun ke danau ini terbilang sulit. Warga biasa bergelantungan di akar akar pohon untuk bisa mencapai air danau ini.

Seorang remaja diterkam buaya saat dia bersama beberapa rekan turun ke dalam danau memancing ikan pada 2 Agustus lalu. Farjan Idham, remaja 16 tahun warga Takome ini kena terkam saat lempar umpan. Tak berapa lama tiba-tiba korban diterkam buaya dan dibawa masuk ke dalam danau.

 

Warga dan Tim SAR berupaya mencari Yulianus yang hilang saat mencari kerang pada 2021. Foto: Basarnas

 

Teman korban langsung lari ke atas melaporkan ke keluarga dan pihak berwajib. Tim penyelamat datang, ke lokasi. Hari pertama Farjan belum ditemukan. Hari kedua jenazah korban mengapung, tetapi tidak bisa dievakuasi karena buaya tidak melepasnya.

Korban berhasil dievakuasi setelah hari ketiga.

Korban terkaman waega di danau ini sudah kali kedua. Kasus pertama tidak ada korban jiwa.

Kejadian ini sempat membuat ratusan warga dari Takome maupun kelurahan tetangga berduyun-duyun datang ke Danau Tolire. Mereka ingin melihat dari dekat pencarian korban di tempat wisata ini.

Sejak Juni-Agustus 2022 ini, sudah ada lima korban, tiga orang meninggal, dan dua selamat. Selain Rosadi dan Farjan, pada 25 Juli 2022, seorang pria di Jailolo sedang memanah ikan di laut di Desa Tuada. Beruntung pria ini mampu menyelamatkan diri. Pada 26 Juli lalu, Ferdinan Serang juga kena terkam buaya saat mencari kepiting di hutan bakau desa itu.

Pada 17 Juni 2022, anak buah kapal (ABK) KM Cahaya ditemukan tewas di perairan Mangoli Barat. Korban dilaporkan hilang ketika hendak melepaskan jangkar kapal yang tersangkut di dasar laut.

Dalam dua tahun terakhir, warga kena terkam buaya di Malut lumayan banyak, terjadi di Halmahera Barat, Halmahera Utara dan Pulau Obi, Halmahera Selatan, Tidore Kepulauan serta Taliabu. Warga kebanyakan sedang beraktivitas di hutan atau kebun, sungai maupun laut.

 

Tim SAR bersiap menyisir lokasi untuk mencari Yulianus, yang kena seret buaya pada 2021. Foto: Basarnas

 

Wilayah hidup buaya rusak?

Konflik antara buaya dan manusia ini, Abas Hurasan, dari Seksi Konservasi Wilayah I Ternate,  Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Malut mengimbau, warga berhati-hati kalau memasuki tempat atau habitat hidup predator ini.

Banyak konflik antara buaya dengan warga ini, katanya, mengindikasikan ada persoalan dengan eksosistem terutama wilayah hidup mereka.

Hanya saja, katanya, perlu pengecekan lagi guna memastikan seperti apa dan bagaimana tempat hidup satwa liar ini terganggu.

“Kami masih mengumpulkan informasi dan data soal banyak konflik  buaya dengan manusia ini,” katanya.

Di Ternate, katanya, memang ada laporan masuk ke BKSDA agar serius tangani konflik buaya dan manusia. BKSDA, katanya, sudah menerima  surat dari Pemerintah Kelurahan Takome di Ternate terkait marak buaya mulai memasuki wilayah atau tempat aktivitas manusia.

BKSDA juga berkoordinasi memantau dan perlu ada upaya pencegahan agar tak mengakses habitat hidup satwa ini.

BKSDA juga meminta kantor pusat di Ambon untuk membuat imbauan misal, papan larangan di daerah-daerah habitat hidup buaya.

“Kami imbau, jangan memasuki habitatnya karena sangat berisiko.”katanya beberapa waktu lalu.

Pemerintah Kota Ternate telah mengeluarkan larangan di kawasan wisata itu menyusul peristiwa buaya terkam  warga.

Ada sejumlah imbauan seperti larangan melintasi pagar beton di lokasi danau, hingga tak boleh mengeluarkan kata-kata keji (memaki) di kawasan ini. Plang ditancap di sejumlah lokasi di Tolire Besar, dan Tolire Kecil.

Rustam P Mahli,  Kepala Dinas Pariwisata Kota Ternate, bilang, larangan ini masukan dari sejumlah tokoh masyarakat, bahkan tokoh adat di Kelurahan Takome, Ternate Barat, yang merupakan warga sekitar danau.

“Sebelum plang dipasang kami sudah bertemu masyarakat adat di sini. Hal penting adalah tidak boleh melakukan pelemparan batu (salah satu atraksi wisata di Danau Tolire) di danau dan melewati batas dan masuk ke area danau,” katanya.

Dispar berencana membentuk tim di Danau Tolire. Tim ini melibatkan warga setempat, pihak adat, pemerintah, serta keamanan guna memantau penertiban kawasan wisata ini.

Menurut Amir Hamidy, peneliti Herpetologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional, salah satu cara mencegah konflik buaya dan manusia adalah memasang rambu-rambu di titik rawan konflik.

“Beberapa negara, seperti Australia, melakukan langkah itu. Jadi, warga yang memasuki daerah itu akan lebih waspada. Lalu, memasang perangkap di lokasi rawan konflik. Tujuannya, agar individu dapat direlokasi ke tempat jauh dari pemukiman yang membahayakan manusia,” katanya dikutip dari Kompas.com.

Selain itu, memberi edukasi kepada warga soal perilaku buaya yang tak lain merupakan predator penting. Harapannya, warga akan mengetahui di mana habitat dan kapan harus waspada saat buaya mulai memburu mangsa.

“Buaya yang berukuran sudah lima meter, mulai mencari mangsa di wilayahnya. Biasanya buaya akan keluar di sore hari untuk berburu.”

Selain cara-cara itu, Amir menilai, pemetaan atau survei populasi buaya juga harus dilakukan. Hasil dari pemetaan itu, katanya, akan memberikan masukan data soal bagaimana perilaku buaya di lokasi rawan konflik. Kemudian, bisa membuat langkah-langkah preventif melindungi warga sekaligus melestarikan buaya.

 

Konflik manusia dengan buaya salah satu penyebabnya adalah rusaknya sungai-sungai yang menjadi tempat hidup mereka. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

*******

 

 

Exit mobile version