- Kawasan lereng hutan Gunung Slamet memiliki keanekaragaman hayati tinggi, itu dibuktikan dengan beberapa penelitian dan pemantauan
- Dalam pemantauan partisipatif masyarakat sekitar hutan Gunung Slamet, mereka juga mendapati sejumlah spesies dengan status terancam punah, salah satunya Elang Jawa
- Dengan pemantauan dan pemetaan partisipatif tersebut, masyarakat didorong untuk mengetahui aset ekologi yang ada
- Perlu adanya pemantik alarm urgensi pelestarian keanekaragaman hayati di hutan pegunungan
Sejumlah warga terlihat berjalan keluar dari kawasan hutan di sekitar Gunung Cendana dan Gunung Bunder di wilayah lereng selatan Gunung Slamet, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng). Beberapa di antaranya membawa binokular atau teropong yang dikalungkan di leher. Kegiatan yang berlangsung pada awal Agustus lalu merupakan bagian dari pemantauan dan pemetaan partisipatif warga di lereng selatan gunung tertinggi di Jateng tersebut.
Salah satu yang terlihat gembira adalah Daryono, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wana Karya Lestari di Desa Kemutug Lor, Kecamatan Baturraden. Dia bersama kelompoknya melihat dengan Elang Jawa (Nisaetus bartelsi).
Elang jawa adalah salah satu spesies elang berukuran sedang dari keluarga Accipitridae dan genus Nisaetus yang endemik di Pulau Jawa. Salah satu habitat Elang Jawa adalah lereng Gunung Slamet. “Kami bahagia sekali, karena sempat bertemu dengan Elang Jawa. Dengan demikian, meski Elang Jawa saat sekarang masuk dalam kategori terancam punah,”jelas Daryono saat berbincang dengan Mongabay Indonesia awal Agustus lalu.
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) memasukkan Elang Jawa sebagai salah satu jenis raptor endemik di Pulau Jawa dalam daftar merah atau termasuk dalam kategori terancam punah (endangered).
Dengan masih adanya Elang Jawa di lereng Gunung Slamet menjadi pemicu bagi warga khususnya LMDH untuk kembali berpikir supaya Elang Jawa tidak punah. Sebab, dalam beberapa dekade terakhir, sudah banyak spesies yang punah, khususnya berbagai jenis burung endemik Gunung Slamet.
Hal itu diungkapkan oleh Ketua LMDH Wana Lestari Desa Karangsalam, Sisworo, bahwa sesungguhnya sudah banyak burung yang dulunya sangat mudah ditemukan di Gunung Slamet, kini sudah hilang. Dia mengakui sejumlah burung endemik sudah mulai tak terlihat alias punah. Misalnya saja Pleci biasanya disebut kaca mata atau Zosterops. “Dulu, masih sangat banyak. Tetapi sekarang sudah sulit ditemui,”kata Sisworo.
Selama ini, lanjutnya, mindset mengenai hutan baru terbatas pada floranya saja. kalau penghuninya seperti satwa, khususnya burung belum terlalu diperhatikan. Sehingga yang terjadi, masih banyak warga yang menjadi pemburu burung. “Apalagi, kalau mereka menggunakan jaring pada saat mencari burung. Bukan hanya satu atau dua yang tertangkap, tetapi belasan bahkan puluhan burung,”ungkapnya.
baca : Elang Jawa, Penguasa Langit yang Menghadapi Risiko Kepunahan
Membangun Kesadaran
Dengan adanya fenomena semacam itu, sebagai salah satu pengelola hutan melalui perhutanan sosial (PS), Sisworo cukup prihatin. Harus ada langkah bersama untuk benar-benar menjaga ekologinya. “Kalau sementara ini mindset menjaga hutan itu hanya melestarikan kayu atau menjaga sumber mata air, maka ke depan juga harus dengan penghuninya. Satwanya harus benar-benar mendapat perhatian seperti halnya yang telah berjalan selama ini yakni menjaga pepohonan,”ungkapnya.
Dia mengatakan fenomena menurunnya populasi burung, perlu segera ada antisipasi. Salah satunya adalah dengan adanya kegiatan bersama Burung Indonesia. “Kami diajari untuk melakukan pemetaan partisipatif. Sehingga nantinya muncul kesadaran mengenai aset apa yang ada di lereng Gunung Slamet bagian selatan. Tentu saja, tidak sebatas pepohonan, melainkan juga satwa yang ada,”kata Sisworo.
Dengan mengerti hasil pemetaan, maka perlu ada kesamaan langkah ke depan terkait dengan bagaimana memulihkan flora dan fauna yang ada. “Sebetulnya, di Desa Karangsalam, misalnya telah ada peraturan desa (Perdes) agar menjaga lingkungan hutan. Ini adalah upaya hukum dengan memberikan sanksi bagi mereka yang melanggar,”tegasnya.
Ada dua Perdes yang dikeluarkan tahun 2009. Isinya adalah warga yang mengambil tanaman, maka ternaknya dilelang. Dari hasil lelang, 50% untuk desa dan 50% bagi yang memiliki tanaman. Kemudian pada 2018 kembali mengeluarkan Perdes yang intinya menjaga hutan bekerja sama dengan Perhutani.
“Dengan adanya Perdes tersebut, pencurian kayu mengalami penurunan yang drastis. Kalau dihitung prosentase, barangkali penurunannya hingga 90%. Masyarakat sudah cukup sadar kalau untuk tutupan vegetasi. Mereka sudah sangat jarang ada yang menebang,”katanya.
baca juga : Begini Pesan Konservasi dari Lereng Timur Gunung Slamet
Namun, lanjutnya, kalau untuk perburuan masih cukup banyak. Dan yang memprihatinkan adalah parta pemburu tersebut merupakan warga sendiri. “Maka dari itu, sebagai awalan, di dalam pemetaan keanekaragaman hayati yang ada di lereng Gunung Slamet, mereka dilibatkan. Sebab, para pemburu burung itu justru yang tahu lokasinya. Mudah-mudahan dengan cara ini, mereka akan sadar,”ujar dia.
Hanya saja, harus ada peralihan profesi dari yang sebelumnya pemburu burung. “Kita tahu, mereka memburu burung untuk memenuhi kebutuhan keseharian mereka. Kalau tidak memburu bagaimana. Inilah yang ke depan akan dirumuskan. Dan ternyata, ada salah satu contoh di daerah Menoreh, bisa menerapkan. Burung-burung dibiarkan berkembang biak di alam. Tetapi hal itu bisa dijual dengan cara adopsi. Warga mengirimkan foto dan video burung yang tengah bertelur hingga menetas sampai terbang. Dan ternyata itu bisa. Ke depan, kami bakal mencoba untuk mempraktikkannya,”ungkap Sisworo.
Dia juga menambahkan, kalau saat sekarang dirinya bersama masyarakat mengelola 27 ha kawasan perhutanan sosial. “Setelah pelatihan dan pemetaan potensi ekologi di lereng Gunung Slamet, kami juga akan mengembangkan wilayah konservasi. Jadi, tidak seluruh areal 27 ha disulap jadi tempat wisata saja, melainkan ada kawasan yang digunakan sebagai wilayah konservasi,”katanya.
Menurutnya, harus ada keseimbangan antara kepentingan konservasi dengan ekonomi. “Jadi kalau hanya bicara soal konservasi tanpa menguatkan ekonomi jelas akan sulit. Karena itulah, selain digarap sisi ekonominya, konservasi harus tetap dipikirkan dan tidak boleh ditinggalkan,”tandasnya.
baca juga : Jaga Kelestarian Gunung untuk Kesejahteraan
Sementara Ketua LMDH Wana Karya Lestari Desa Kemutug Lor Daryono juga mengakui kalau illegal logging di wilayahnya juga sudah sangat berkurang. Namun demikian, masih ada warga yang menggantungkan ekonominya dengan mencari burung liar. Walaupun memang sudah tidak terlalu banyak, karena sebagian besar telah beralih profesi, bahkan ada yang menjadi mengembangkan penangkaran. Ke depan, pihaknya akan terus berusaha supaya warga tidak lagi memburu burung.
“Ini sudah sesuai dengan konsep LMDH yang mengembangkan tiga pilar. Yakni ekologi, ekonomi dan sosial. Ketika bicara ekonomi tanpa mempertimbangkan ekologi, maka akan terjadi kerusakan. Karena itulah, tiga pilar ini harus ada keseimbangan,”ujar Daryono.
Dengan adanya pemetaan partisipatif inilah, maka warga dan LMDH disadarkan mengenai potensi keanekaragaman hayati yang ada. “Dengan pemetaan partisipatif inilah warga akan mengetahui betapa pentingnya keberadaan satwa yang ada di sebuah wilayah. Kita jadi tahu bagaimana sebarannya, apa saja yang ditemui sampai statusnya, apakah terancam punah atau dilindungi dan lainnya,”katanya.
Kesadaran bersama inilah akan semakin menguatkan niat bersama menjadi hutan agar tidak menjadi sunyi. “Jangan sampai menjadi silent forest. Masih ada pepohonan, tetapi sunyi tidak ada suara satwa, khususnya burung,”tandasnya.
Nilai Penting Fauna
Head of Conservation and Development Burung Indonesia Adi Widyanto mengatakan pihaknya sengaja mengajak masyarakat di sekitar hutan lereng Gunung Slamet untuk mengikuti pelatihan dan melaksanakan pemetaan partisipatif.
“Pemantauan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai keanekaragaman hayati yang ada di lereng Gunung Slamet,”ujar Adi yang didampingi Biodiversity Conservation Officer Achmad Ridha Junaid dan Jawa Program Manager Andriansyah.
baca juga : Awas! Pencurian Plasma Nutfah di Lereng Slamet
Kegiatan ini, lanjutnya, melibatkan masyarakat yang sehari-harinya ada di wilayah hutan di lereng selatan Gunung Slamet. Apalagi, warga tersebut sebagai pengelola perhutanan sosial. “Dengan melibatkan masyarakat, tujuannya adalah meng-capture pengetahuan lokal yang dipadu dengan pengetahuan yang kita miliki, sehingga bisa lebih komprehensif. Ini menguatkan masyarakat dalam melakukan pemantauan keanekaragaman hayati. Mulai dari bagaimana caranya, apa yang dilihat, waktunya dan kemudian dicatat,”katanya.
Dari pemantauan yang dilakukan selama dua hari, ternyata diperoleh gambaran bahwa keanekaragaman hayati di hutan lereng selatan Gunung Slamet sangat kaya. Ada jenis primata dan burung. Bahkan, Elang Jawa masih tetap ada dan terlihat. “Bahkan, informasi dari masyarakat, Elang Jawa ada yang bersarang di sekitar lereng gunung yang tidak terlalu jauh dari batas desa terakhir,” jelasnya.
Masyarakat tepi hutan lebih paham dan pengetahuannya sangat bagus. Sehingga tahu kapan dan di mana burung-burung tersebut ada. “Mereka yang memiliki pengetahuan bagus biasanya yang kerap berburu burung. Kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka mencari burung, karena memang tuntutan ekonomi. Namun ke depan, dengan pengetahuan yang mereka miliki bisa dikembangkan wisata minat khusus seperti bird watching. Mereka nantinya yang bakal menjadi guide,” katanya.
Apalagi, lanjut Adi, keberadaan burung di alam sangat banyak fungsinya. Misalnya saja layanan pendukung. “Keberadaan burung di alam berfungsi sebagai layanan pendukung. Burung berperan meningkatkan kesuburan di sebuah tempat. Selain itu juga layanan ekosistem. Misalnya, burung membantu manusia mengurangi hama. Kalau tidak ada burung sebagai predator serangga, maka populasi serangga meningkat dan akan merugikan petani. Dengan adanya burung yang memakan serangga, produktivitas pertanian meningkat,”jelasnya.
Selain itu, katanya, ada fungsi lain yakni layanan regulasi. Maksudnya, burung dapat ikut membantu memperbaiki lingkungan. “Burung berperan penting dalam penyebaran biji. Bahkan biji yang terbawa burung dapat tumbuh dengan baik. Sehingga akan mampu memulihkan kondisi hutan. Kemudian juga ada layanan budaya, di mana burung menjadi ikon di sebuah daerah. Bahkan lambang negara Indonesia saja terinspirasi dari Elang Jawa,” tambahnya.
Dia mengatakan untuk dapat menggerakkan kesadaran agar mempertahankan lingkungan, flora dan faunanya, maka perlu dikenalkan dengan aset keanekaragaman hayati. “Sebab, belum tentu mereka telah mengetahuinya. Jadi, kita memfasilitasi untuk dapat mengetahui aset yang ada di lereng Gunung Slamet. Setelah mengenal, langkah berikutnya adalah memasukkan pengelolaan dan pemantauan keanekaragaman hayati dalam sebuah rencana kegiatan perhutanan sosial,”kata dia.
Karena sesungguhnya keberadaan satwa sangat penting. Jika fauna hilang, sesungguhnya tidak hanya soal spesies semata, melainkan fungsinya juga hilang. Inilah yang mesti terus-menerus membutuhkan perhatian dan penyadaran untuk masyarakat.
Dalam riset yang dilakukan Burung Indonesia menyimpulkan bahwa Gunung Slamet menjadi salah satu gunung selain Gunung Kencana dan Masigit menjadi daerah yang sangat penting untuk konservasi keanekaragaman hayati di Jawa bagian barat. “Ketiga lokasi tersebut teridentifikasi sebagai gunung penting yang menjadi kantong habitat keanekaragaman hayati terancam punah,”ujarnya.
Dia memaparkan, khusus di Gunung Slamet, ditemukan 28 spesies endemis, 29 spesies burung sebaran terbatas (BST), 23 spesies dilindungi dan 8 spesies terancam punah 2 di antaranya kritis. Kemudian untuk mamalia ditemukan 3 spesies endemik, 8 spesies dilindungi dan 5 spesies terancam punah. Sementara untuk herpetofauna ada 6 spesies endemik, 23 spesies dilindungi dan 1 spesies terancam punah.
“Meski cukup tinggi keanekaragaman hayati, tetapi ancamannya juga tinggi. Perlu pemantik alarm urgensi pelestarian keanekaragaman hayati di hutan pegunungan,”tandasnya.