Mongabay.co.id

Pemetaan Wilayah Adat Lebih 20 Juta Hektar tetapi Pengakuan Minim, Mengapa?

 

 

 

 

Perlindungan wilayah adat di nusantara masih minim. Salah satu bisa terlihat dengan membandingkan luasan wilayah adat yang sudah pemetaan dengan besaran pengakuan negara. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) sudah merilis peta partisipatif wilayah adat seluas 20,7 juta hektar, tetapi pengakuan negara baru sekitar 14,98%, belum sampai 15%!

Peta partisipatif yang rilis Agustus lalu seluas 20,7 juta itu, naik sekitar 3.1 juta hektar dari data Maret lalu. Ariya Dwi Cahya dari Divisi Data dan Informasi BRWA mengatakan, kenaikan terbesar dari Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, seluas 2,1 juta hektar dan Kabupaten Jayapura, Papua, mencapai 0,9 juta hektar.

“Pada Agustus ini BRWA meregistrasi 1.119 peta wilayah adat dengan luas 20,7 juta hektar,” katanya.

Sebaran titik-titik wilayah adat itu di 29 provinsi dan 142 kabupaten/kota. Dari sana, katanya, ada 189 wilayah adat sudah diakui dalam bentuk peraturan daerah atau surat keputusan, seluas 3,1 juta hektar.

“Sedangkan yang belum memperoleh penetapan pengakuan wilayah adat sangat besar, 17,7 juta hektar.”

BRWA menyebut, tak semua kepala daerah memiliki kemauan tinggi mengakui wilayah adat. Catatan BRWA: baru 15% dari wilayah adat teregistrasi diakui pemerintah daerah.

Padahal, kepala daerah yang kooperatif menjadi kunci penting pengakuan wilayah adat. Di beberapa tempat, BRWA bahkan memanfaatkan peluang politik ini untuk mempercepat pengakuan itu.

Salah satu yang mendapat apresiasi adalah Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Berdasarkan catatan BRWA, ada 11 komunitas adat di wilayah ini.

“Perda (peraturan daerah) sudah ada dari bupati yang sebelumnya. Bupati yang baru pun bersemangat. Jadi kami push di situ,” kata Kasmita Widodo, Kepala BRWA.

 

 

 

Sikap kooperatif kepala daerah itu, katanya, memudahkan BRWA bekerja efektif. Mereka, katanya, masih bekerja dengan tenaga yang terbatas.

Selain itu, ada kemauan politik ini juga jadi alat perlawanan bagi masyarakat adat yang tersisih karena ada proyek atau izin perusahaan masuk ke wilayah mereka. Seperti terjadi di Danau Toba, yang dikeroyok berbagai proyek stategis nasional (PSN).

“Ada tekanan dari kasus TPL (PT Toba Pulp Lestari) yang kuat, maka presiden langsung tugaskan Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan) dan Agraria. Kalau tidak ada tekanan politik seperti itu, masyarakat bisa lewat,” katanya.

Sayangnya, tak semua daerah yang jadi sasaran PSN seberuntung kawasan Danau Toba. Di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang juga memiliki segudang PSN mulai dari dari sektor pariwisata hingga energi disebut Widodo tak dilindungi kepala daerah baik provinsi atau kabupaten.

 

Dokumen: Peta partisipatif wilayah adat per Agustus 2022

 

BRWA sudah diskusi beberapa kali hingga ke sekretaris daerah di NTT tetapi hasil masih nihil. “Mereka masih ragu, baru ada Perda sudah dua tahun ini belum ada panitia yang bekerja.”

Maka dari itu, tidak heran ada kasus Taman Nasional Komodo yang belakangan mencuat.

Keberadaan masyarakat adat, katanya, sudah terang benderang. Cara berpakaian dan deklarasi swadaya masyarakat adat setempat pun, katanya, seharusnya jadi modal kuat pemerintah daerag bergerak.

Dia khawatir aksi-aksi pengakuan hak dan wilayah masyarakat adat tak berkelanjutan dampak pergantian beberapa kepala daerah dalam tahun politik mendatang. Sedang PSN, yang mengancam masyarakat adat di berbagai wilayah terus berjalan.

“Proyek-proyek akan berjalan terus karena urusannya kontraktual, sementara di daerah masalah kepemimpinan dan anggaran masih belum selesao.”

 

Hutan adat Kinipan, yang tumpang tindih dengan perusahaan sawit. Foto: Save Kinipan

 

Peran provinsi

Dari pengalaman BRWA, bekerjasama dengan kepala daerah lebih efektif di level kabupaten. Meskipun demikian, kerja di kabupaten akan lebih mudah kalau sudah peraturan daerah di tingkat provinsi untuk pengakuan wilayah adat.

Hal seperti ini, katanya, bisa dilihat di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat, yang sudah banyak pengakuan wilayah adat. “Di Kalimantan Barat, delapan dari 12 kabupaten sudah memiliki perda.”

Perda, katanya memudahkan pemerintah daerah bekerja efektif terutama dari segi anggaran yang biasa memerlukan Rp700 juta-Rp1 Miliar untuk pembuatan perda pengakuan wilayah adat.

Pemerintah kabupaten, katanya, secara teknis tinggal membuat tim atau panitia masyarakat hukum adat untuk melakukan verifikasi di lapangan. “Setelah itu, bupati tinggal membuat SK (surat keputusan).”

Sayangnya, beberapa provinsi cenderung merasa aman dengan cukup perdasus tanpa ada tindak lanjut di tingkat kabupaten seperti terjadi di Papua.

Dia bilang, instrumen pengakuan di tingkat provinsi sudah banyak, seperti Perdasus Nomor 21/2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Papua, Perdasus 22/2008 tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Sumber Daya Alam Masyarakat Hukum Adat Papua. Juga, Perdasus 23/2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dan Hak Perseorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.

Sayangnya, pemerintah kabupaten tidak ada yang menindaklanjuti dengan membentuk tim atau panitia masyarakat adat. “Terkadang pemerintah daerah merasa ini semua adalah tanah ulayat. Tapi, kan, pemerintah butuh sistem adminstrasi pertanahan, butuh peta wilayah adat dan mana peta wilayah marganya,” kata Widodo.

 

 

 

Dukungan pusat minim

Masalah pengakuan dan perlindungan wilayah adat di kabupaten atau provinsi sebenarnya bisa diatasi dengan dukungan pemerintah pusat. Sayangnya, dukungan pusat dalam melindungi masyarakat adat pun terkesan tak serius. Rancangan UU Masyarakat Adat, yang sudah dibahas sejak periode pemerintahan Presiden Susilo Yudhoyono, hingga Joko Widodo, belum juga ada kejelasan. Belum ada RUU Masyarakat Adat, yang menjadi payung hukum bagi masyarakat adat ini jadi sumber masalah.

“Karena kerangka hukum dan kebijakan pengakuan masyarakat adat bertumpu pada UU sektoral dan kebijakan daerah,” kata Widodo.

Sedang capaian hak masyarakat adat atas hutan adat dan tanah ulayat oleh pemerintah pusat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) maupun Kementerian ATR/BPN masih tak menggembirakan.

Dalam catatan BRWA, KLHK belum menerbitkan surat keputusan hutan adat lagi sejak terakhir diserahkan presiden di Danau Toba, Februari lalu.

“Jadi, capaian masih 89 hutan adat seluas 75.783 hektar,” katanya.

 

Para perempuana dat ai di Desa Wale mengambil pelepah daun sagu untuk dianyam menjadi tikar. Wilayah adat mereka terus tergerus industri karena tak ada perlindungan. Foto: M Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Di Kalimantan Barat, KLHK baru-baru ini melakukan verifikasi teknis terhadap hutan adat di Melawi dan Sintang. Hingga kini, belum ada informasi luasan dan penetapan hutan adatnya.

Dia juga menyoroti KLHK memasukkan hutan adat dalam skema perhutanan sosial. “Saya sudah tekankan dari awal kalau hutan adat bukan bagian dari perhutanan sosial.”

Perbedaan dua konsep ini terlihat dari pendekatan perhutanan sosial yang berbentuk izin. Sementara hutan adat merupakan betuk pengembalian atau pengakuan hak dari hutan negara menjadi hutan hak adat.

Memasukkan hutan adat dalam skema perhutanan sosial juga membuat upaya pengakuan masyarakat adat menjadi terbatas. Terutama kalau wilayah adat tumpang tindih dengan kawasan konservasi.

Di kawasan konservasi, Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan yang seharusnya bekerja untuk pengakuan hutan adat, terjegal oleh kewenangan wilayah di Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA).

Dia contohkan, kasus di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Ada usulan pengakuan wilayah adat sekitar 50.000-60.000 hektar, yang diakui hanya 5.000 hektar.

Kepentingan masyarakat aat pun kadat tersisih, kalah ketika berhadapan dengan investasi. Seperti di Danau Tamblingan, Bali. Usulan pengakuan hak adat sudah sejak tahun lalu, tetapi kalah dengan izin Taman Wisata Alam yang masuk ke sana.

“Jadi, kepentingan bisnis selalu didahulukan di kawasan konservasi.”

 

 

Masyarakat penjaga hutan. Pepohonan di hutan adat Marena., yang berada dalam Taman nasional Lore Lindu Kala akses kelola dan hak kelola, mereka bisa menjaga hutan sekaligus memanfaatkannya. Hingga kini, sebagian pengakuan wilayah adat Marena belum mendapatkan penetapan pemeritah karena berada di dalam taman nasional. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

********

Exit mobile version