Mongabay.co.id

Pati Ea, Ritual Adat Syukur Panen dan Pesan Menjaga Alam

 

Ratusan warga Desa Hikong Kabupaten Sikka dan Desa Boru Kedang di Kabupaten Flores Timur mendatangi kawasan Ili Wengot pada awal Agustus lalu. Kawasan ini berada di perbatasan antara dua kabupaten ini.

Pagi ini diadakan puncak ritual adat Pati Ea yang dilaksanakan komunitas Suku Lewuk. Gelaran ritual adat dilaksanakan di kebun yang dikelilingi pepohonan rindang.

Beberapa tenda didirikan diantara 2 gubuk bambu beratap ilalang. Lazimnya, sebuah kebun, terdapat pondok sebagai tempat berteduh dan menyimpan hasil ladang pemiliknya.

“Pati Ea merupakan pesta tahunan syukur panen yang diadakan oleh sebuah suku atau komunitas adat. Biasanya dipadukan dengan ritual menghantar jiwa orang-orang yang sudah meninggal,” terang Antonius Lado, warga Hikong saat ditemui Mongabay Indonesia di lokasi ritual adat.

Warga Etnis Tana Ai baik di Desa Hikong maupun etnis Lamaholot di Boru Kedang meyakini, setelah meninggal seseorang belum bisa masuk ke alam Nirwana sebelum dibuat ritual adat.

“Ritual Pati Ea diakhiri dengan menyembelih hewan kurban baik kambing maupun babi. Dalam ritual adat yang digelar Suku Lewuk ini, sekaligus menghantar arwah empat anggota suku yang telah meninggal,” ungkapnya.

Antonius mengungkapkan, terdapat beberapa rangkaian ritual adat termasuk menumbuk padi di Lesung.

baca : Kearifan Adat Harus Jadi Panduan Pengembangan HKm di Sikka

 

Ritual adat Pati Ea sebagai ungkapan syukur atas hasil panen warga Desa Hikong, Kabupaten Sikka, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Tempat ritual adat di kebun-kebun warga berjarak sekitar 3 Km sebelah selatan jalan negara Trans Flores Larantuka-Maumere. Hamparan tanaman perkebunan seperti kemiri, kelapa maupun kopi tampak di kiri kanan jalan.

Sebuah jalan tanah selebar 2,5 meter membelah hutan lindung ini tampak baru digusur. Kiri kanan jalan tampak kebun milik warga yang merupakan kawasan Hutan Kemasyarakatan (HKm).

“Jalan ini digusur menggunakan dana desa. Sudah lama kami minta dibuatkan jalan usaha tani namun tidak ada respon dari pemerintah sehingga saya berinisiatif mengerjakannya,” sebut Kepala Desa Boru Kedang, Darius Don Boruk saat ditemui di lokasi ritual.

Don sapaannya menyebutkan, dirinya terpaksa membuka jalan ini agar warga mudah mengangkut hasil panen mereka menggunakan kendaraan.

Don mengaku berinsiatif menganggarkan dana desa untuk membuka akses jalan di kawasan hutan lindung. Ia katakan sedang mengurus surat izin pinjam pakai lahan di kawasan hutan lindung.

“Saya sudah memberitahukan kepada UPT KPH Flores Timur dan diminta membuat surat permohonan pinjam pakai kawasan hutan. Kalau melanggar aturan,saya siap bertanggungjawab karena apa yang diakukan demi kepentingan masyarakat,” ucapnya.

baca juga : Wologai, Kampung Adat Keren yang Telah Berusia 800 Tahun

 

Seorang perempuan petani warga Desa Hikong, Kabupaten Sikka, NTT sedang melintas menuju kebun di lahan HKm. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Jalan Tengah

Terhampar seluas 12.960 hektar di batas wilayah Kabupaten Flores Timur dan Sikka, Wukoh Lewoloroh sejak 1932, telah ditetapkan pemerintah kolonial Belanda sebagai kawasan hutan tutupan. Kawasan Ili Wengot merupakan salah satu hamparan yang berada dalam kawasan hutan tersebut.

“Menurut sejarah yang kami telusuri sudah tiga kali kawasan hutan Ili Wengot ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Dua kali sebelum Indonesia merdeka, dan sekali setelah Indonesia merdeka,” tutur Thomas Uran, Direktur LSM Ayu Tani.

Sejak tahun 1992, lewat SK Menteri Kehutanan RI Nomor 124/KPTS-II/1990, kawasan itu ditetapkan menjadi kawasan Hutan Negara RTK 126 yang diperuntukkan sebagai fungsi lindung.

Thomas menyebut tidak semua wilayah hutan itu adalah daerah bebas kepemilikan. Ada sekian ribu hektar yang sebelumnya tanah kelola masyarakat yang beralih menjadi hutan lindung, tanpa masyarakat mengetahui proses penetapannya.

“Petani ditangkap di lahan garapannya. Warga jadi merasa asing dari tanahnya sendiri, negerinya sendiri,” lanjutnya.

Thomas menyebutkan, ketegangan ini yang kemudian memunculkan kebijakan agar ada jalan tengah untuk menjembatani kebutuhan lahan oleh petani dan kebutuhan konservasi oleh pemerintah.

Tahun 2008, Bupati Flores Timur memberikan lahan seluas 50 Ha untuk digarap petani. Syaratnya, petani tidak boleh membuka lahan baru dan merusak kawasan hutan lindung.

“Setiap Kepala Keluarga (KK) petani, mendapat lahan seluas 0,5 Ha. Skemanya Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM),” ucapnya.

baca juga : Rumah Alami Adat Sumba Semakin Sulit Dibangun, Kenapa?

 

Pondok dari bahan alam di tengah kebun warga Desa Hikong, Kabupaten Sikka, NTT yang berada di lahan Hkm hutan lindung Wukoh Lewoloroh. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Thomas tegaskan, petani diwajibkan selama tiga tahun, masyarakat dapat melaksanakan syarat-syarat yang sudah disepakati, pemerintah akan memperluasan kawaan PHBM untuk digarap masyarakat.

Pada tahun 2011, pemerintah pusat melalui Departemen Kehutanan RI, akhirnya memberikan SK Pencadangan areal kelola kepada masyarakat seluas 214 Ha melalui SK Nomor : 215/2011, tertanggal 10 Oktober 2011.

Atas SK Penetapan Areal Kerja ini maka Bupati Flores Timur mengeluarkan SK Penetapan Ijin Usaha Pengelolaan (IUP) dengan Nomor 215 Tahun 2011 seluas 214 Ha.

Lahan tersebut diperuntukan bagi 422 keluarga petani yang terdiri atas 14 kelompok tani dari tiga desa yakni Hikong di Kabupaten Sikka serta Boru Kedang dan Boru di Kabupaten Flores Timur.

“Skema HKm ini merupakan jalan tengah dan menguntungkan masyarakat dan pemerintah. Disepakati satu petani paling kurang menanam 5 jenis tanaman bernilai ekonomis,” paparnya.

 

Alam Harus Dijaga

Kepala Desa Boru Kedang pun tegas menyampaikan kepada warga Desa Boru Kedang dan Desa Hikong agar menjaga alam dan jangan merusaknya.

Don meminta agar lahan HKm yang sudah dibagi pemerintah kepada setiap Kepala Keluarga (KK) harus digarap dan ditanam dengan tanaman produksi.

“Kalau sudah dibagikan lahan HKm maka harus ditanam, jangan sampai tidak ditanam. Saya kasih waktu sampai tahun 2023 nanti dan bila tidak ditanam maka akan diberikan kepada orang lain,” tegasnya.

Don juga meminta agar segenap warga di 2 desa ini tetap menjaga kearifan lokal dalam bertani, menjaga warisan adat dan budaya warisan leluhur. Orang-orang tua diminta mendidik anak-anak mereka soal warisan adat budaya ini.

Ia harapkan agar jangan ada keributan soal tanah atau apapun. Komunitas adat kata dia, harus bersatu terlebih dalam bercocok tanam dan menjaga lahan di kawasan hutan lindung.

“Jalan tani sudah dibuka dan masyarakat harus merawat jalan ini. Rumput harus dibersihkan. Jaga kelestarian alam dan lingkungan demi anak cucu kita ke depan,” pesannya.

 

Tanaman kopi yang sudah berbuah milik warga Desa Hikong, Kabupaten Sikka, NTT di dalam lahan Hkm hutan lindung Wukoh Lewoloroh. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Tokoh agama asal Desa Boru Kedang, Romo Agustinus Siswadi Iri,Pr menjelaskan, gereja menghargai adat budaya termasuk ritual adat Pati Ea.

Romo Gusti sapaannya katakan, dalam ritual ini selain mensyukuri hasil panen, juga menghantar arwah anggota suku ke tempat peristirahatan abadi.

Menurutnya, adat budaya yang terjadi ini mengantar arwah orang yang telah meninggal masuk ke tempat keabadian sejalan dengan liturgi gereja yang mana kita berdoa agar arwah orang yang meninggal bisa ke tempat keabadian.

Lanjutnya, selain untuk arwah juga persekutuan hidup bersama antar sesama anggota komunitas suku maupun di tengah masyarakat.

“Dalam perjalanan, gereja melihat alam ciptaan mesti dijaga, dirawat dengan baik dan benar. Ritus ini juga merupakan syukur panen, syukur atas berkah dari alam,” ucapnya.

Romo Gusti menegaskan, ketika manusia bersaudara dengan alam maka alam akan bersahabat dengan manusia.

Ia berpesan, kita mesti menjaga ekologi dalam kehidupan bersama agar alam bisa diwariskan kepada anak cucu kita ke depan.

Keberlanjutan konservasi menjadi hal utama. Petani penggarap di lahan HKm pun diperkenalkan dengan kekayaan hayati yang ada di kawasan hutan lindung Ili Wengot.

Hutan ini merupakan habitat burung punai flores (Treron floris) dan serindit flores (Loriculus flosculus) yang teridentifikasi sebagai spesies yang terancam punah. Kedua burung ini hanya dikenal hidup di daratan Flores saja.

Serindit flores diperkirakan hanya berjumlah 2.500-10.000 individu jumlahnya dan terus menurun. Oleh lembaga internasional IUCN, burung ini dikategorikan sebagai spesies terancam punah. Sedangkan punai flores dikategorikan dengan status rentan kepunahan.

 

Exit mobile version