Mongabay.co.id

Petani Sawit Desa Mondi Jaga Hutan Pusaka

 

 

 

 

Mokeng memangkas pelepah sawit helai demi helai. Dodos di tangan petani 42 tahun ini lincah bergerak ke kiri dan kanan menyasar pelepah tua tanaman sawit. Hanya perlu dua tiga kali sodokan, pelepah sawit terpisah dari batangnya. Mokeng, petani sawit dari Desa Mondi, Kecamatan Sekadau Hulu, Sekadau, Kalimantan Barat.

Dia rutin membersihkan lahan. “Biasa ke kebun pada Sabtu dan Minggu,” katanya Agustus lalu.

Mokeng punya kebun sawit yang tersebar di tiga lokasi berbeda di desa itu. Salah satu lokasi berbatasan langsung dengan Rimba Mangguk Kaar, atau hutan adat di desa itu.

Warga menjaga ketat rimba di Desa Mondi. “Hutan ini tak boleh diganggu. Itu sudah aturan di sini,” katanya.

Seperti Mokeng, mayoritas penduduk di Desa Mondi merupakan petani sawit. Sebagian petani bermitra dengan perusahaan sawit dengan sistem plasma. Selain sawit, warga juga berladang dan menoreh karet.

Desa Mondi memiliki kontur alam berbukit dan tanah mineral. Desa ini terbagi dalam enam dusun, yakni, Mondi, Gedet, Bandan, Sungai Agung, Sengiang/Gurong, dan Jangka Riam. Ada 1.585 jiwa menetap di desa dengan luas sekitar 95,03 km persegi itu.

Ada empat perusahaan sawit di desa ini, PT Agro Andalan, PT Multi Jaya Perkasa, PT Multi Duta Putra, dan PT Sumatera Makmur Lestari.

 

Petani sawit di Desa Mondi, sedang bersihkan pelepah tua. Foto: Siti Sulbiyah/Pontianak Post-Mongabay Indonesia

 

Lukas Hitto, Kepala Desa Mondi, mengatakan, perkebunan sawit di desa ini membantu ekonomi  masyarakat. Sisi lain, perluasan areal perkebunan sawit khawatir merambah hutan. Untuk itu, mereka berupaya menjaga rimba-rimba yang ada agar tak beralih jadi kebun sawit. Petani desa ini berkomitmen menanam sawit dengan tak merusak hutan.

Di desa ini ada delapan rimba, yakni Mangguk Kaar, Batu Nunggul, Roga Babi, Rompin, Bandong, Sempiawang, Sawak, dan Cindiaram. Rimba bagi masyarakat Mondi merupakan sumber penghidupan. Beberapa Rimba di desa ini merupakan hutan adat yang dianggap keramat.

Sebagian rimba masih boleh ditebang dan dimanfaatkan kayunya untuk kepentingan warga. Ada beberapa rimba yang sama sekali dilarang ditebang karena berada di dataran tinggi hingga memegang fungsi penting sebagai pelindung. Para leluhur berpesan, kata Hitto, agar area itu dijaga.

Stefanus Ramli, Ketua Adat Mondi, menyebut, hutan bagi masyarakat Mondi merupakan tempat bergantung hidup. Aneka hasil hutan mereka manfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti, buah-buahan sampai obat-obatan.

Masyarakat Mondi, katanya, punya kesepakatan bersama untuk tak merusak rimba, itu sudah jadi aturan adat. Isi rimba, katanya, masih boleh digunakan selama untuk pemakaian sendiri tak boleh untuk dagang.

“Misal, ambil kayu. Boleh diambil tapi hanya bangun rumah saja. Juga perlu ada izin. (Kayu) dijual tidak boleh,” kata Hendrikus Acang, Ketua BPD Desa Mondi.

Kalau ada yang melanggar, katanya, akan kena sanksi adat. “Kalau tidak salah sudah ada tiga kali yang kena (sanksi adat) karena melanggar aturan ini.”

Bagi warga yang menebang kayu untuk jual akan kena denda. Pelaku harus menyerahkan 30 poku, enam tempayan berisi tuak, ayam, beras, dan babi. Poku adalah istilah untuk menyebutkan tiga buah mangkok adat. Berarti, pelaku wajib menyediakan 90 mangkok adat.

 

Pintu gerbang memasuki Desa Mondi, Kabupaten Sekadau. Foto: Siti Salbiyah/ Pontianak Post-Mongabay Indonesia

 

Menjaga Roga Babi

Roga Babi, adalah satu rimba di Desa Mondi yang harus dilestarikan. Ia terluas di antara tujuh rimba yang lain, sekitar 314,76 hektar. Tutupan hutan Roga Babi masih bagus, hingga punya nilai konservasi tinggi (NKT) dan setok karbon tinggi (SKT).

Bagi warga Mondi, Roga Babi merupakan tempat keramat. Ritual-ritual adat dilakukan di sana. Menurut Ramli, Roga Babi merupakan hutan pusaka. “

Roga Babi itu hutan pusaka. (Di sana) tempat orang berkunjung dan berdoa. Ada patung, tempat berdoa bagi masyarakat sekitar,” katanya.

Patung terbuat dari kayu. Masyarakat Mondi menyebut pantak atau empaguk. Di lokasi inilah ritual-ritual kerap dilakukan.

Lokasi Roga Babi cukup jauh dari pusat Desa Mondi. Perlu perjalanan sekitar satu jam dengan sepeda motor untuk mencapai rimba itu. Untuk mencapai lokasi yang ada patungnya, perlu sekitar 45 menit lagi dengan berjalan kaki.

Roga Babi menyimpan kekayaan alam beragam, mulai dari pepohonan seperti bentirai, Aneka rotan juga tumbuh subur, sebut saja gotak, marau, uwak, cintai, tapah, dan lain-lain. “Warga buat anyaman dari rotan.”

Ada pula buah-buahan seperti mentawa, petai, cempedak maupun durian. Beragam satwa juga tak kalah banyak. Ada kera, kijang, landak, trenggiling, babi hutan hingga kelempiau.

Hutan ini juga sumber beragam tumbuhan obat tradisional, mulai dari ginseng, pasak bumi, akar entomu dan lain-lain. Di rimba ini juga ada madu hutan.

Mirisnya, Roga Babi di kelilingi perkebunan sawit. Sebagian rimba bahkan masuk dalam hak guna usaha (HGU) perusahaan.

 

Rimba Roga Babi, di Desa Mondi, masih rapat dengan beragam keragaman hayati, antara lahir beragam jenis rotan. Foto: Siti Sulbiyah/Pontanak Post-Mongabay Indonesia

 

Hitto bilang, perusahaan akui kalau Roga Babi memiliki NKT dan SKT. Dia pun meminta batas antara rimba adat dengan kebun perusahaan diperjelas.

“Batasnya harus jelas. Kita minta nanti dibuatkan parit oleh perusahaan biar batas jelas. Selain itu, parit juga bisa mencegah pengambilan kayu di hutan.”

Dia juga berharap ada pos-pos sebagai tempat penjagaan. Dengan ada pos penjagaan, katanya, bisa mencegah pencurian atau eksploitasi hutan.

“Kita berharap perusahaan membantu. Mereka juga punya tanggung jawab terhadap ini.”

Immanuel Tibian, pimpinan PT Agro Andalan, mengatakan, ada sebagian kawasan rimba masuk dalam HGU perusahaan. Perusahaan, katanya, berkomitmen tidak membuka lahan di daerah itu.

“Jelas bagian itu merupakan wilayah yang kami konservasi,” katanya.

Terpenting bagi perusahaan, katanya, komitmen bersama masyarakat desa untuk menjaga rimba ini. “(Nanti) kita buat patok batasnya.”

 

Petani mandiri Desa Mondi, panen sawit. Foto: Siti Sulbiyah/ Pontianak Post-Mongabay Indonesia

 

Sekitar 2010, kata Hitto, Pemerintah Desa Mondi bersama warga pernah membuat Tim Pengawasan Rimba Roga Babi. “Karena dulu sering ada penebangan liar. (Yang melakukan) mereka yang punya modal, kadang kala ada orang luar memanfaatkan orang lokal,” katanya.

Tugas dari tim ini adalah mengawasi Roga Babi agar tak ada warga, baik lokal maupun dari luar desa merusak hutan. Seiring waktu, aktivitas tim mulai tak tampak. Keterbatasan orang dan biaya menjadi kendala.

Hitto mengatakan, tahun ini Desa Mondi akan kembali memulai ikhtiar menjaga hutan lebih efektif. Dalam merancang ini, mereka dibantu Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS).

Salah satu tujuan dari upaya ini mengarah kepada lahirnya peraturan desa (perdes) tentang perlindungan kawasan hutan.

“Arahnya ada ke perdes, tapi sebelum buat perdes perlu ada kajian dan kesepakatan ini ada di masyarakat.”

 

Patung kayu di Roga Babi, sebagai penanda tempat ritual adat biasa dilakukan. Foto: Siti Sulbiyah/ Pontianak Post-Mongabay Indonesia

 

******

 

 

*Tulisan Siti Sulbiyah ini merupakan kolaborasi antara Mongabay Indonesia dan Pontianak Post.

 

Exit mobile version