Mongabay.co.id

Jejak Migrasi Manusia Purba di Nusantara

 

 

 

 

Eugène Dubois, seorang dokter Belanda berlayar ke Hindia Belanda menumpang The SS Princess Amalia pada Oktober 1887. Dia terinspirasi teori evolusi Darwin yang menjadi perdebatan di Eropa pada pertengahan abad ke 19. Daerah tropis yang tak tersentuh dinginnya es, menjadi tempat ideal secara ekologis untuk berevolusi.

Dia meneliti dan mencari bukti evolusi manusia purba atau primitif menjadi manusia modern dengan mengeksplorasi gua di Sumatera Barat. Namun, setelah penemuan Homo wajakensis, salah satu jenis Homo sapiens pada 1889 di Tulungaung, dia mengalihkan penelitian di Jawa dengan menyusuri Bengawan Solo. Dia menemukan banyak fosil binatang, yang ada dalam endapan vulkanik.

Pada 1890, dia temukan fragmen rahang bawah di Kedungbrubus, Pilangkenceng, Ngawi yang disebut pithecanthropus-A. Saat itu, tamuan belum dia publikasikan. Sampai 1891, di sebuah desa kecil di Trinil, Kedunggalar, Ngawi, dia temukan atap tengkorak denganvolume otak 900 cc.

“Penonjolan di kening. Sebagai dokter, dia menyebut sebagai atap tengkorak manusia yang sangat primitif usia 500.000 tahun,” kata Harry Widianto, Paleoantropolog, juga peneliti utama Pusat Riset Arkeometri, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam webinar belum lama ini.

Kala itu, juga ditemukan tulang paha yang sama dengan manusia modern. Di dunia, katanya, baru ditemukan satu dan dikenal dengan sebutan Javaman. Penemuan Dubois menjadi landasan kelahiran antropologi di Indonesia. Belakangan, fosil serupa banyak ditemukan.

Di Ngandong Blora pada 1931, ditemukan atap tengkorak sudah bundar dengan volume 1.100 cc. Sedangkan manusia sekarang 1.200-1.400 cc. Atap tengkorak ini berusia 300.000-150.000 tahun lalu. Ia Homo erectus paling akhir di Jawa, kemudian punah, berganti Homo sapiens.

Sedangkan di situs Sangiran, Krikilan, Sragen pada 1934 ditemukan fosil pertama, evolusi Homo erectus Arkaik, tertua berumur 1,5 juta tahun lalu sampai 800 .000 tahun lalu. Volume otak 870 cc, memiliki tulang tengkorak tebal 1,2 centimeter.

Pada 1936 di Mojokerto, ditemukan tengkorak yang diperkirakan berusia 1,7 juta tahun lalu. Juga di Sambungmacan, Sragen pada 1974 Homo erectus Progresif. Di Ngawi pada 1987, ada temuan tengkorak Homo erectus termuda yang utuh.

Homo erectus merupakan spesies sebelum kita (Homo sapiens). Muncul pada 1,8 juta tahun lalu, punah sebelum 150.000 tahun lalu,” katanya.

Di Jawa, memiliki tiga proses evolusi. Mulai dari Homo eretuc Arkaik, Homo eretuc Tipik, dan Homo eretuc Progesif. Setelah itu Homo erectus punah.

 

Baca juga: Jejak Manusia Jawa Purba di Museum Sangiran

Gading gajah purna dan lukisan tiga jenis gajah yang pernah ada di Sangiran. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Teori Out of Africa masih relevan?

Harry menyebut teori Out of Africa bagian pertama, yakni keluarnya Homo erectus pada 1,8 juta tahun lalu dari Afrika, menyebar sampai ke Eropa, Tiongkok, Asia Tengah hingga Nusantara. Sebelumnya, di Afrika ditemukan Australopithecus sejak tujuh juta tahun lalu, kemudian Homohabilis 2,5 juta tahun lalu.

“Keduanya tetap di Afrika,” katanya.

Keturunan Homohabilis 1,8 juta tahun lalu bernama Homo erectus bermigrasi dan mampu beradaptasi dengan iklim di bumi. Sedangkan Homo erectus tetap di Afrika melangsungkan evolusi hingga menghasilkan Homo sapiens, manusia modern pada 150.000 tahun lalu. Homo sapiens ini menyebar ke seluruh dunia di Eropa, Australia, Asia dan Amerika yang disebut Out of Africa jilid 2.

“Mereka sampai di Jawa saat Pulau Jawa merupakan daratan yang menyatu dengan Sumatera Kalimantan dan Asia Tenggara,” katanya.

Daratan terbentuk saat zaman es berlangsung, terjadi pembekuan air laut jadi es hingga menyebabkan penurunan air laut antara 72-120 meter.

“Semua menjadi daratan, orang dari mana-mana berjalan kaki sampai,“ katanya.

Menurut teori Out of Africa, Sangiran menjadi pendaratan pertama hingga ditemukan fosil berusia 1,5 juta tahun lalu. Hal itu relevan, katanya, jika dihubungkan dengan teori Out of Afrika yang memerlukan waktu 300.000 tahun untuk bermigrasi.

Ada juga temuan fosil Caput Femoralis, berupa dua bonggol tulang paha dan femor di Bumiayu, Brebes, pada 2019. Ia teridentifikasi sebagai fosil manusia yang sangat tua yang ditemukan dalam material geologis endapan 1,8 juta tahun lalu.

 

Diorama Homo erectus dan lingkungannya. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Harry melakukan penelitian di Sangiran 2019, khusus menggali kali pertama manusia datang ke Sangiran. Penelitian di Lempung Hitam Pucangan, di atas endapan vulkanik Gunung Lawu 1,8 juta tahun lalu.

Dalam endapan setebal 2-3 meter di atas lahar formasi Pucangan, lapisan tanah didominasi lempung hitam 1,7 juta tahun lalu dan rawa yang terbentuk selama 1 juta tahun. Pada 2019, di antara lapisan tanah itu, ditemukan fragmen tulang rusa, dan buaya. Juga, tulang selangkangan dengan identitas tulang manusia itu berusia 1,7 juta tahun lalu.

“Mereka hidup di tahun yang sama, 1,7 juta tahun lalu. Bukan 1,5 juta tahun lalu seperti teori Out of Africa.”

Dia juga penelitian pada lokasi sama pada 2022. Saat menggali lapisan Pucangan yang berusia 1,5 juta sampai 1,7 juta tahun lalu, ditemukan fosil gajah, kerbau, rusa, buaya, kura-kura, lele, dan harimau.

Mereka hadir lebih dini dari yang ditafsirkan peneliti selama ini. “Apakah teori Out of Africa harus dipertahankan” kata Harry. Lantaran dari Afrika 1,8 juta tahun lalu, ternyata di Bumiayu 1,8 juta, dan di Sangiran 1,7 juta tahun lalu. “Gak mungkin dari Afrika 1,8 juta tahun lalu, sampai Sangiran 1,8 juta juta lalu,” katanya.

Bisa juga, katanya, berpaling ke teori Multiregional Evolution Model (MRE), lantaran di berbagai penjuru dunia ditemukan fosil Homo erectus di Rusia, Tiongkok dan Bumiayu berusia 1,8 juta tahun lalu. Fosil itu, sama tua dengan fosil di Afrika. Terjadi evolusi lokal multi regional, evolusi manusia modern sendiri-sendiri. “Kedua teori masih menjadi perdebatan, kita tunggu temuan lain,” katanya.

 

Kala temuan fosil gajah di Grobogan pada 2017  ternyata juga menemukan satwa-satwa purba lain. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Manusia purba berdampingan dengan fauna

Mirza Ansyori Paleontolog Fakultas Interdisiplin Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga mengatakan, penelitian di lapisan Pucangan, ditemukan banyak fosil. Karakter lingkungan hutan hujan tropis mendukung kehidupan fauna termasuk manusia. Sedangkan di lapisan Pucangan atas, ditemukan kerangka utuh kuda air purba (Hexatoprodon).

Selama ini, katanya, harimau Jawa tak ditemukan dalam lapisan tertua di formasi Pucangan.

Dengan temuan itu, katanya, Biostratigrafi Sangiran harus direvisi sesuai temukan fosil gigi, tulang paha atau femur harimau Jawa (Panthera tigris) di lapisan bawah Pucangan pada 2019.

Pada lapisan Kabuh yang berusia 0,9 juta-0,2 juta tahun lalu ditemukan beragam fosil, seperti gajah Asia (Elephas sp), kerbau purba (Bos palaesondaicus), babi (Sus macrognathus), gajah purba (Stegodon trigonocephalus). Di lapisan Kabuh atas ditemukan fosil monyet ekor panjang (Macaca sp), heyna (Pachycrocuta brevirostris), rusa (Axis lydekkeri), dan musang (Vivera zibetha).

Agus Tri Hascaryo, Geolog Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta mengatakan, situs manusia purba di Sangiran berupa struktur sedimen rawa, dengan air tenang. Penelitian pada 2019 dan 2021 dengan metode electron spin resonance (ESR) menunjukkan umur 1,7 juta tahun lalu sampai 1,8 juta tahun lalu.

“ESR bisa mengecek sampai usia 3 juta tahun lalu,” katanya.

Lingkungan di Sangiran, katanya, memungkinkan fauna dan manusia hidup berdampingan. Secara regional global, katanya, Homo erectus memunginkan hidup di semua tempat.

Sangiran merupakan situs manusia purba yang diakui UNESCO sebagai warisan dunia pada 1996. Sebanyak 50% Homo erectus berada di Indonesia.

********

Exit mobile version