Mongabay.co.id

Bagaimana Nasib Kawasan Mangrove Teluk Balikpapan Kala Ada IKN Nusantara?

 

 

 

 

Sore itu, Lamale duduk di bangku kayu penuh ukiran dan busa empuk seraya menyeruput secangkir teh. `“Ini bukan teh biasa, ini dari mangrove,” kata Ketua RT 1 Kelurahan Mentawir, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, ini sambil merapikan peci hitam yang sedikit bergeser.

.Di depannya, ada empat jenis produk di meja kayu: toples kaca bening nan bundar dengan tutup berpinggiran emas yang berisikan bubuk hitam. Lalu, botol plastik berukuran 250 ml dengan cairan kental berwarna merah. “Sonneratia Sirup Mangrove” begitu tertulis pada labelnya. Ada juga empat toples plastik berukuran mini dan bundar berlabel “Pupur Dingin Mangrove” serta bubuk hijau kasar dalam piring melamin kecil berwarna putih dengan pinggiran biru bermotif kembang.

Nama dari label-label di beberapa barang membuat isi dalam toples bening mudah diterka. Lamale menyebut bubuk itu tak lain adalah kopi olahan mangrove. “Ini kami buat dari mangrove di sekitar kami,” katanya.

Barang yang Lamale perlihatkan itu merupakan olahan buah mangrove dari hamparan hutan mangrove yang merubungi Mentawir. Sejak 2015, Lamale bersama dengan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Tiram Tambun sudah memanfaatkan potensi alam di kelurahan yang bisa ditempuh dalam tiga jam dari Kota Balikpapan ini.

Kelurahan Mentawir merupakan satu daerah yang memiliki ekosistem mangrove luas. Berdasarkan catatan Universitas Mulawarman, ekosistem lahan basah ini di Mentawir mencapai 2.300 hektar atau 13,5% dari keseluruhan kawasan mangrove di Teluk Balikpapan.

Produk olahan Lamale dan Pokdarwis berasal dari buah pidada atau perepat (Sonneratia caseolaris). Meski masih berskala rumahan, tetapi warga Kaltim sudah mengenal produk-produk asli Mentawir ini.

Sudah banyak yang berkunjung ke Mentawir hingga beragam produk itu sudah cukup dikenal. Daya tarik utama di sini adalah taman wisata mangrove yang didirikan Pokdarwis sejak 2015.

Di sini ada jembatan sepanjang 900 meter dibangun dari sempadan sungai hingga ke tengah muara. Masyarakat bisa melihat matahari tenggelam dari sini. “Selain itu ada bekantan, bangau tongtong, penyu sisik, pesut hingga mangrove emas,” kata Lamale.

Keberadaan hutan mangrove tak hanya memberikan nilai tambah bagi kehidupan Pokdarwis Tiram Tambun, tetapi nelayan pun merasakan hal sama.

 

Baca juga: Akankah Masyarakat Pesisir Disingkirkan Pemindahan Ibu Kota Negara Baru?

Aktivitas nelayan tradisional di sekitar Teluk Balikpapan. Foto: Richaldo Hariandja/ Mongabay Indonesia

 

***

Sekitar 200 meter dari tempat tinggal Lamale, tepatnya di dermaga desa, Rafi Wijaya duduk di bangku merah dengan keempat kaki terpangkas hingga dia seakan sedang jongkok. Tangan sibuk menimbang kepiting yang baru dibawa Riki Rizki Fauzi.

Kepiting dia pisahkan ke keranjang-keranjang berbeda sesuai ukuran. “Ini kepiting bakau di Sepaku,” kata Rafi.

Saat itu, warga lokal menyebut kondisi air sedang nyorong atau surut. Saat itu waktu yang tepat panen kepiting. Tak heran, Rafi banyak menampung kepiting hasil tangkapan para nelayan. Dari Riki saja dia bisa mendapat sekitar 13 gg kepiting.

Kepiting-kepiting ini dia antar ke pembeli di Balikpapan. Biasa, Rafi bisa beberapa kali pengantaran dalam sehari dan mendapat pemasukan Rp1 juta per sekali antar. “Kalau lagi banyak bisa tujuh kali antar,” katanya.

Huta mangrove jadi gantungan hidup warga di darat dan lautan. Dadan Mulyana. Peneliti Senior Ekosistem Mangrove IPB University, mengatakan, ekosistem mangrove bermanfaat bagi kehidupan masyarakat di pesisir. Kalau hutan mangrove terjaga, katanya, kepiting bakau hanya salah satu yang bisa dinikmati.

Contoh lain, katanya, di Sumatera Selatan, ekosistem mangrove di pesisir timur Sumateraprovinsi itu jadi tempat hidup bagi udang. Kala panen raya, nelayan Desa Sungsang bisa memanen hingga 10 ton per hari.

“Hutan mangrove harus dijaga karena penting untuk masyarakat pesisir.”

 

Baca juga: Masyarakat Adat di Tengah Proyek IKN Nusantara

Hutan mangrove rapat penyimpan karbon ini sudah dalam kuasa kelola perusahaan. Foto: Richaldo H/ Mongabay Indonesia

 

Terancama pembangunan IKN

Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara memasukkan kawasan mangrove di Teluk Balikpapan dalam poligon mereka. Hutan mangrove dan kehidupan masyarakat pesisir pun terancam.

Salah satu, dalam Lampiran II UU Nomor 3 /2022 tentang Ibu Kota Negara (UU-IKN) menyebut, ada dua pelabuhan utama di Teluk Balikpapan.

Pertama, Pelabuhan Semayang yang akan jadi pelabuhan umum dengan jalur pelayaran internasional. Ada juga Terminal Kariangan terletak jauh di pedalaman Teluk Balikpapan dan berfungsi sebagai pelabuhan kargo internasional.

Kedua, pelabuhan untuk mengakomodir kebutuhan pelabuhan utama dan mengangkut logistik IKN, seperti dikatakan Petrus Sumarsono, Perencana Ahli Utama Direktorat Transportasi Kementerian PPN/Bappenas awal April lalu.

Dari enam lokasi yang disiapkan, beberapa harus ditingkatkan, yakni, dermaga eks pembangunan jembatan Pulau Balang, 40 km dari pusat IKN yang memerlukan peningkatan kapasitas dermaga dan fasilitas bongkar muat. Lalu, Dermaga Pantai Lango, berjarak 40 km dari IKN yang memerlukan pembebasan lahan atau relokasi pemukiman yang ada.

 

Sumber: Yayasan Auriga

 

Tanpa ada rencana pembukaan dermaga saja, kawasan mangrove di Teluk Balikpapan, sudah terkaveling untuk berbagai kepentingan.

Mongabay menemukan plang tanda ‘kepemilikan’ beberapa kawasan hutan mangrove. Seperti di salah satu pulau dengan hutan mangrove padat sudah ada plang perusahaan, bertuliskan ‘Tanah ini dikuasai PT Putra Demang Mentawir.’ Plang tinggal sebagian.

Spanduk ini berdiri di utara pulau yang terletak tiga kilometer ke arah utara dermaga PT ITCIKU. Analisis spasial Yayasan Auriga Nusantara menunjukkan seluruh pulau itu sudah berstatus area penggunaan lain (APL).

Penguasaan kawasan mangrove lain juga terdapat di 1,25 km seberang timur Dermaga Batu Dulang PT ITCIKU. Di kawasan yang juga APL ini ada plang putih dengan huruf berkelir hitam menandakan lahan seluas 25.36 hektar dalam kelola PT Cahaya Energi Hutani.

Di beberapa titik bahkan ada pembukaan lahan mangrove, seperti oleh PT Mitra Murni Perkasa (MMP) di Kawasan Industri Kariangau (KIK) untuk pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) nikel.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur menyebut praktik itu bermasalah karena itu masih kawasan hutan dan belum ada izin lingkungan. Pradana Rupang, dinamisator Jatam Kaltim menyebut smelter ini akan dibangun untuk mengakomodir kebutuhan kendaraan listrik di IKN.

“Praktik mereka ilegal. Sudah buka sampai 30 hektar,” katanya.

Pokja Pesisir, lembaga yang bekerja untuk isu pelestarian dan penegakan hukum lingkungan di pesisir laut Balikpapan mencatat, pembukaan kawasan mangrove oleh MMP sejak Desember 2021-Maret 2022. Aktivitas MMP belum memiliki analisis mengenal dampak lingkungan (amdal) dan izin lingkungan.

 

Pembukaan hutan mangrove di Teluk Balikpapan oleh PT MMP. Foto: Pokja Pesisir

 

MMP dilarang beroperasi seraya diminta mengurus dua dokumen lingkungan itu. Mappaselle, Direktur Eksekutif Pokja Pesisir, mengatakan, tindakan pemerintah ini hanya seperti memadamkan api yang terlihat.

“Kalau tidak ketahuan barangkali mereka buka lahan terus tapi izin lingkungan tidak diurus.”

Dadan Mulyana menyebut, pembangunan IKN pasti mengganggu ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan. Dia khawatir, akan ada kelalaian seperti pada 2018 saat minyak mentah PT Pertamina tumpah dan mencemari Teluk Balikpapan.

Hasil kajian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan waktu itu memperkirakan, luas pantai terkontaminasi limbah B3 minyak bumi mencapai 29.733,8 meter persegi dan volume tanah yang terkontaminasi mencapai 12.000 meter kubik.

Kajian Universitas Mulawarman yang terbit dalam EnviroScienteae bahkan menyebut tumpahan minyak di kawasan mangrove membuat hasil tangkapan nelayan berkurang karena banyak biota mati dan wilayah tangkapan hilang. Diduga nilai ekonomi yang hilang akibat insiden itu Rp41, 080 miliar per tahun.

Menurut Dadan, dampak tumpahan minyak masih dirasakan sampai tiga tahun dan ada sebagian mangrove yang mengalami mutasi di Teluk Balikpapan. Pertumbuhan tanaman lambat dan daun-daun berkurang. “Dengan ada aktivitas pembangunan IKN, gangguan terhadap mangrove pasti ada.

 

Mangrove yang tercemar tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, Kaltim. Foto : Maulana Malik/Mongabay Indonesia

 

Tetapkan status lindung mangrove

Analisis Yayasan Auriga Nusantara menemukan kawasan mangrove di dalam dan sekitar IKN mencapai 20.000-an hektar lebih. Kalau tidak ada perlindungan jelas, mangrove ini bisa dibuka bebas, terlebih 15.000 hektar sudah berstatus APL.

Apalagi, kata Mappaselle, kawasan ini tak masuk terintegrasi dalam rencana pembangunan IKN. Dengan tak terintegrasinya teluk ini dengan IKN akan memberi masalah besar di kawasan yang punya biodiversitas tinggi ini.

Sayangnya, kata Selle, sapaan akrabnya, beberapa wilayah bernilai konservasi tinggi di Teluk Balikpapan belum memiliki status perlindungan jelas. Ada izin di satu pulau mangrove di Mentawir menunjukkan hal itu.

Kajian Forum Peduli Teluk Balikpapan (FPTB) menyatakan, mangrove di Teluk Balikpapan salah satu terbaik di Indonesia. Beberapa jenis diklasifikasikan sebagai tegakan utama dengan tinggi pohon lebih 20 meter dan ada 36 jenis tanaman.

Hasil monitoring FPTB pun menemukan masih banyak tanaman mangrove teridentifikasi dalam kondisi baik dibandingkan yang rusak karena ditebang atau ditimbun.

Kajian mereka menyebut, areal yang masih bagus tersisa 170 km persegi dan tersebar hampir di semua Daerah Aliran Sungai Teluk Balikpapan.

Pokja Pesisir juga menjadi salah satu bagian dari forum kajian itu. “Kami minta dan berharap ada percepatan status kawasan lindung mangrove,” kata Selle.

Forest Watch Indonesia (FWI) pun menyuarakan hal yang sama. Pada dasarnya, niat untuk melindungi kawasan Teluk Balikpapan sudah terlihat dalam Surat Keputusan Gubernur Kaltim Nomor 522.5/K.672/2020 tentang Penetapan Peta Indikatif Ekosistem Esensial.

Dalam SK itu disebutkan kalau luas Kawasan Ekosistem Esensial Teluk Balikpapan mencapai 65.000 hektar. “Hanya ini masih indikatif, instrumen hukum masih lemah,” kata Amalya Reza, pengkampanye FWI.

Berdasarkan analisis FWI, rencana pembangunan IKN akan memakai sebagian dari KEE. Hal ini bisa membuat pengelolaan kawasan itu jadi tidak jelas, karena di dalam IKN pengelolaan berada di tangan Badan Otorita, sedangkan di luar itu harus ditangani pemerintah daerah.

Rencana IKN terhadap kawasan ekosistem mangrove pun dia sebut masih belum terang. “Kawasan ini bisa jadi super hub antara Balikpapan, Samarinda dan IKN. Padahal, nilai keanekaragaman hayati tinggi.”

FWI menilai, pencaplokan sebagian KEE dalam IKN akan membuat keseimbangan ekosistem terganggu. KEEm seharusnya dikelola dalam satu kesatuan ekosistem.

Cara pemerintah dalam memperlakukan Teluk Balikpapan dan kawasan mangrove di dalamnya ini kontradiktif dengan upaya Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) yang baru-baru ini memperkenalkan konsep kesatuan lanskap mangrove (KLM).

Dalam konsep ini, BRGM tak melihat pengelolaan mangrove berdasarkan batas administratif, lebih kepada pengelolaan spasial. Ia ditentukan substrat, sistem lahan dan kondisi yang sesuai untuk habitat mangrove beserta sistem sosial ekonomi yang berinteraksi erat dengan ekosistem mangrove dan batas yurisdiksi.

Sayangnya, BRGM hanya dapat tugas mempelajari kemungkinan bangun Taman Mangrove Teluk Balikpapan dalam mega proyek IKN Nusantara.

Saat ini, BRGM masih menginventarisasi mangrove di kawasan Teluk Balikpapan untuk menentukan zona konservasi, produksi, lindung, ekoswisata hinga pusat riset.

“Yang jelas kondisi mangrove Teluk Balikpapan ini sangat baik. Tutupan bagus dan keanekaragaman hayati juga tinggi,” kata Satyawan Pudyatmoko, Deputi Perencanaan dan Evaluasi BRGM kepada Mongabay.

 

Hutan mangrove dengan tutup rapat di Teluk Balikpapan ini terbabat ilegal oleh PT MMP. Foto: Richaldo H/ Mongabay Indonesia

 

Mongabay berupaya menghubungi Badan Otorita IKN untuk konfirmasi, tetapi tak ada respons. Mongabay memberikan 26 pertanyaan termasuk seputar nasib mangrove dan Teluk Balikpapan kepada Ketua Tim Komunikasi IKN Sidik Pramono sebagaimana yang diminta pada 12 Agustus lalu, Hingga berita rilis tak mendapatkan respons.

Adanya beragam kepentingan dan peruntukan di kawasan mangrove Teluk Balikpapan, seperti pembuatan dermaga guna mengakomodir keperluan IKN, hampir pasti mangrove akan terbabat.

“Pembukaan untuk dermaga itu tidak bisa kita hindari ya. Ini untuk Ibu Kota Negara baru,” kata Setyawan.

Namun, katanya, ada beberapa hal perlu jadi perhatian agar pembukaan tak menimbulkan efek lingkungan destruktif pada ekosistem mangrove. Kalau ada efek, katanya, perlu diupayakan tak permanen atau hanya saat konstruksi.

“Misal, setelah itu dibuatkan buffer dari dermaga sampai perairan lepas agar mangrove itu tetap terjaga. Buffer untuk polusi dan untuk kotoran lain dari dermaga yang masuk ke Teluk.”

Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas kepada Mongabay memastikan tidak ada pembukaan mangrove di kawasan IKN. Hal ini, katanya, sudah tercantum dalam master plan IKN yang akan membuat IKN Nusantara sebagai kota ramah lingkungan dan memiliki tutupan hutan hingga 75%.

Terkait rencana pembukaan dermaga yang khawatir mengorbankan ekosistem mangrove, dia meminta semua pihak mengawal ini. “Karena di dalam rancangan tidak ada itu buka mangrove. Mari kawal ini.”

Nyoman Suryadiputra, dari Wetland International Indonesia memandang ironis atas pembukaan kawasan mangrove di Teluk Balikpapan untuk mengakomodir IKN. Satu sisi, Indonesia punya target merestorasi 600.000 hektar, sisi lain malah mau kurangi kawasan mangrove yang sudah ada.

Ironi jelas terlihat karena dana rehabilitasi, katanya kebanyakan berasal dari utang. “Aatu sisi ada mangrove masih baik (di IKN), kita mau buka, Sisi lain kita mau tanam baru tapi dari dana pinjaman?” katanya.

Belum lagi, katanya, penanaman mangrove baru tidak semudah dikira. Pemerintah boleh memiliki target ambisius merestorasi 600.000 hektar mangrove dalam waktu empat tahun.

Selama 24 tahun Nyoman bersama Wetland International Indonesia hanya bisa tanam 4.000 hektar mangrove. “Sekarang kita mau tanam 600.000 dengan dana pinjaman. Sudah berutang, bayar bunga, kemungkinan sukses pun sangat kecil.”

Satu sisi, pemerintah mengiklankan upaya rehabilitasi mangrove sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim kepada dunia, tetapi pembukaan mangrove di Teluk Balikpapan justru bisa memicu pelepasan karbon.

Dia mengacu pada kajian dari Center for International Forestry Research (CIFOR) yang menyebut kandungan karbon di dalam mangrove yang masih utuh bisa mencapai 1.023 ton per hektare. Sekitar 70% karbon berada di dalam lumpur (soil carbon), bukan di vegetasi.

“Di mana mitigasi (perubahan iklim) yang kita gembar-gemborkan?” katanya.

Nyoman berharap, pemerintah benar-benar mengkaji setiap pembangunan di pesisir dan tak mengorbankan hutan mangrove. Dia ingatkan, penting menjaga mangrove agar IKN Nusantara tak bernasib sama seperti Jakarta yang tenggelam karena kenaikan muka air laut.

“Mangrove ini kan penahan alami dari arus laut. Jangan sampai IKN bernasib sama dengan Jakarta.”

 

 

 

*******

 

Exit mobile version