Mongabay.co.id

Menepis Ancaman Kepunahan Ikan Air Tawar di Sumatera

 

Pengelolaan kawasan konservasi perairan darat menjadi salah satu fokus yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia saat ini. Upaya tersebut berjalan, karena ada banyak sumber daya ikan (SDI) asli ekosistem tersebut yang harus diselamatkan segera.

Salah satu yang menjadi target penyelamatan, adalah ikan Belida yang habitatnya ada di sungai Musi di pulau Sumatera. Ikan Bernama latin Chitala lopis itu, dikenal menjadi santapan favorit bagi warga yang tinggal di sekitar sungai tersebut sejak lama.

Kelezatan ikan tersebut sudah tersohor di kalangan warga lokal yang tinggal di Palembang, umumnya di Sumatera Selatan. Saat diolah menjadi santapan, Belida menjadi bahan populer untuk pembuatan hidangan lokal Pempek.

Popularitas Pempek yang terus meroket dan bahkan menyebar ke seluruh Indonesia, membuat hidangan tersebut semakin laris dari waktu ke waktu. Sebagai bagian dari hukum alam, tentu saja permintaan terhadap Belida juga meningkat cepat.

Masalahnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendeteksi adanya ancaman kepunahan terhadap ikan tersebut karena eksploitasi yang terus meningkat di sungai Musi. Diperlukan banyak upaya agar tantangan melestarikan Belida dan ikan endemik lainnya di sungai tersebut bisa berjalan baik.

Selain Belida, sungai Musi juga menjadi habitat untuk ikan endemik lainnya yang juga populer. Sebut saja, Nilem (Osteochilus vittatus), dan Baung (Mystus nemurus). Keberadaan ikan-ikan endemik di sungai Musi, membuat warga lokal banyak memanfaatkannya untuk dijadikan olahan kuliner.

baca : Sudah Lima Tahun, Ikan Belida Tak Kunjung Dapat

 

Kepala BRSDM KP KKP I Nyoman Radiarta mengapresiasi praktik konservasi oleh masyarakat adat di Kampar, Riau yaitu Lubuk Larangan, untuk melindungi ikan endemik seperti ikan Belida. Foto : KKP

 

Selain Sumatera Selatan, Belida juga sangat populer di kalangan warga yang ada di Provinsi Riau, khususnya di sekitar sungai Kampar yang berlokasi di Kabupaten Kampar. Seperti di provinsi tetangganya, Belida juga diolah menjadi kuliner di Kampar.

Untuk itu, KKP merasa perlu juga melakukan pengelolaan kawasan konservasi perairan darat. Namun, tidak hanya dilakukan sendiri, KKP juga melibatkan pihak lain, seperti masyarakat adat lokal dan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).

Tetua adat di Kabupaten Kampar atau biasa disebut Ninik Mamak, juga sudah menyatakan komitmennya untuk ikut bersama dalam upaya meningkatkan pengelolaan kawasan konservasi perairan darat di sungai Kampar. Tujuannya, agar kelestarian Belida bisa terjaga dengan baik.

Salah satu bentuk praktik konservasi yang dilaksanakan oleh masyarakat adat di Kampar, adalah Lubuk Larangan. Praktik tersebut menggunakan pendekatan kearifan lokal yang telah ada sejak lama dan bertahan hingga saat ini.

Kepala Badan Riset dan Sumber daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) KKP I Nyoman Radiarta mengatakan, upaya yang dilakukan masyarakat di Kampar, patut diapresiasi karena sejalan dengan upaya KKP melaksanakan pengelolaan kawasan konservasi perairan darat berkelanjutan.

“Itu merupakan salah satu implementasi kerja sama antara KKP dengan FAO melalui Proyek iFish,” ucap dia belum lama ini di Jakarta.

Apa yang sudah dilaksanakan oleh masyarakat Kampar, semakin memperkuat kerangka pengelolaan keanekaragaman hayati perairan darat melalui kolaborasi dengan para pihak. Cara tersebut diyakini akan bisa membantu upaya pelestarian alam di sepanjang sungai Kampar.

Praktik Lubuk Larangan sendiri tidak lain adalah kegiatan menutup bagian dari sungai dan danau selama jangka waktu tertentu dari aktivitas perikanan dan itu merupakan salah satu konsep konservasi yang tumbuh dari kearifan masyarakat setempat.

baca juga : Ikan Belida Makin Langka, Mengapa?

 

Ikan Belida hasil budi daya setelah dilakukan selama 15 tahun oleh Balai Perikanan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Mandiangin. Foto : KKP

 

Kepala Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste Rajendra Aryal mengatakan kalau keberadaan Belida di sungai Kampar, dan umumnya di pulau Sumatera harus bisa menjadi salah satu kekayaan SDI yang bisa dikenal oleh dunia.

Ikan tersebut menjadi gambaran penegas bahwa Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman hayati tinggi dan Belida adalah SDI langka di dunia saat ini. Jika dikelola dan dilakukan konservasi dengan cara yang tepat, ikan tersebut diyakini akan bisa mencuri perhatian publik dunia.

Rajendra menyebut, sebagai Presiden kelompok negara dua puluh (G20) yang akan melaksanakan konferensi tingkat tinggi pada akhir 2022 mendatang, Indonesia mendapatkan keuntungan dengan posisi yang strategis.

“Itu bisa menjadi ajang untuk mengenalkan konservasi perairan darat pada dunia, salah satunya Ninik Mamak yang telah berkomitmen untuk menjaga Lubuk Larangan untuk generasi mendatang,” tutur dia.

Dalam mengelola kawasan konservasi perairan darat di sungai Kampar, KKP bersama FAO menetapkan rekomendasi yang dihasilkan dari diskusi kelompok terpimpin (FGD) sebelumnya. Rinciannya adalah:

  1. Keberadaan Lubuk Larangan memiliki nilai-nilai yang tinggi dari aspek ekologi, sosial, ekonomi, budaya dan adat istiadat;
  2. Hasil penangkapan ikan di Lubuk Larangan memberikan manfaat ekonomi, meningkatkan ketahanan pangan dan kecukupan gizi bagi masyarakat sekitar dengan keunikan masing-masing daerah;
  3. Ancaman yang memberikan dampak terhadap Lubuk Larangan, antara lain alat penangkapan ikan (API) yang tidak ramah lingkungan, penambangan emas tanpa izin (PETI), limbah rumah tangga dan perusahaan, serta penggunaan pestisida yang berlebihan;
  4. Kesepakatan dalam penangkapan ikan di musim panen ikan Lubuk Larangan;
  5. Pembentukan zona inti sebagai bentuk pengelolaan Lubuk Larangan;
  6. Kesepakatan dalam pengelolaan di luar kawasan Lubuk Larangan;
  7. Pengaturan alat tangkap di luar kawasan Lubuk Larangan; serta
  8. Larangan penangkapan jenis ikan yang dilindungi merujuk pada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Jenis Ikan Dilindungi. Ada penjelasan tentang jenis-jenis ikan yang dilindungi seperti Belida, Arwana (Scleropages formosus), Pesut (Scleropages formosus), dan Pari (Batoidea).

perlu dibaca : Belida Lopis, Ikan Asli Indonesia yang Dinyatakan Punah

 

Ikan belida (Chitala), salah satu ikan endemik Indonesia yang dikembangkan KKP menjadi ikan budi daya. Foto : Ditjen Perikanan Budidaya KKP

 

Pentingnya melaksanakan konservasi perairan darat diakui sendiri oleh Penjabat (Pj) Bupati Kampar Kamsol. Dia yakin kalau upaya tersebut bisa ikut mewujudkan ketahanan pangan secara nasional, terutama di Riau.

Selama ini, masyarakat Riau dan sekitarnya sangat bergantung pada hasil produksi perikanan yang ada di Kampar. Tak kurang dari 75 persen cakupan produksi tingkat provinsi dihasilkan dari daerah tersebut, dengan 60 persen jenis ikan yang diproduksi bernilai ekonomi tinggi.

Ikan-ikan tersebut di antaranya adalah Belida, Baung, Emah (Tor), Hara atau Klabau (Osteochilus melanopleuora), Tapah (Wallago), dan Geso (Hemibagrus wyckii). Seluruh ikan tersebut habitatnya ada di air tawar, terutama sungai yang ada di sejumlah daerah di Riau.

Kepala Adat Kampar Datuk Yusril mengungkapkan rasa syukurnya karena menjadi bagian dari upaya menjaga keanekaragaman hayati yang ada di Kampar dengan nilai sangat tinggi. Dia berjanji, masyarakat yang dipimpinnya akan senantiasa menjaga SDI yang ada.

“Dengan menjaga kearifan lokal yang manfaatnya tak hanya untuk saat ini, tapi juga generasi mendatang,” ucap dia.

baca juga : Memetakan Potensi Ikan Asli Indonesia untuk Kegiatan Ekonomi

 

Ikan endemiknya Jelawat (Leptobarbus hoevenii) yang disebar sebagai re-stocking di Danau Sipin dan sungai Batanghari, Jambi oleh Ditjen Perikanan Budi daya KKP. Foto : KKP

 

Endemik Jambi

Selain Belida, upaya melestarikan ikan endemik yang habitatnya ada di air tawar juga dilaksanakan di Provinsi Jambi. Perairan darat yang menjadi habitat tersebut adalah danau Sipin dan sungai Batanghari. Sementara, ikan endemiknya adalah Jelawat (Leptobarbus hoevenii).

Direktorat Jenderal Perikanan Budi daya KKP yang mengemban tugas tersebut, melaksanakan konservasi dengan menebar kembali (restocking) benih Jelawat ke dua ekosistem perairan darat tersebut.

Khusus di Jambi, popularitas Jelawat memang tidak hanya dikenal karena rasa yang lezat, namun juga bernilai gizi yang tinggi. Itu kenapa, ikan tersebut banyak dicari untuk diolah menjadi beragam bentuk kuliner yang lezat dan sehat.

Balai Perikanan Budi daya Air Tawar (BPBAT) Sungai Gelam, Jambi bertugas untuk melaksanakan restocking di danau Sipin dan sungai Batanghari. Upaya tersebut, tak hanya bertujuan untuk melestarikan SDI seperti Jelawat, namun juga bisa mewujudkan ketahanan pangan dari ikan.

Kepala BPBAT Sungai Gelam Andy Artha Donny Oktopura menjelaskan bahwa Jambi adalah salah satu daerah yang memiliki keanekaragaman jenis ikan lokal di Indonesia. Namun sangat disayangkan, menurut sejumlah penelitian populasinya kian menurun dari waktu ke waktu.

Dengan fakta tersebut, pilihan untuk melestarikan dengan cara restocking akhirnya dilakukan, karena itu bisa membantu menyelamatkan SDI yang beragam di perairan darat Jambi. Selain Jelawat, ikan yang ditebar juga adalah Nilem, masing-masing sebanyak 77 ribu ekor.

baca juga : Menyelamatkan Ikan Endemik Asli Indonesia dari Ancaman Kepunahan

 

Ikan endemiknya Jelawat (Leptobarbus hoevenii) yang disebar sebagai re-stocking di Danau Sipin dan sungai Batanghari, Jambi oleh Ditjen Perikanan Budi daya KKP. Foto : KKP

 

Beberapa waktu yang lalu, Pengajar Departemen Manajemen Sumber daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Sulistiono mengingatkan bahwa populasi ikan endemik akan terus terancam jika permintaan yang tinggi tidak diikuti dengan kegiatan konservasi.

Menurut dia, dengan melaksanakan konservasi, maka ikan endemik bisa terus bertahan di perairan darat dan populasinya juga akan terus meningkat. Prinsip konservasi sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

“Dalam UU tersebut diatur tentang konservasi sumber daya ikan yang dilakukan melalui konservasi ekosistem, konservasi jenis dan konservasi genetik,” jelasnya.

Selain dalam UU 31/2004, prinsip konservasi sudah dijelaskan dalam peraturan turunan, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan. PP tersebut lebih detail mengatur tentang pengelolaan konservasi atau habitat ikan.

“Dalam melaksanakan konservasi sumber daya ikan, prosesnya tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara keseluruhan,” terang dia.

Itu berarti, pelaksanaan konservasi mencakup juga di dalamnya adalah pengembangan kawasan konservasi perairan sebagai bagian dari konservasi ekosistem. Dengan demikian, upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan SDI bisa berjalan seimbang.

Selain mengatur tentang konservasi, Sulistiono menyebutkan, di dalam PP disebutkan juga aturan tentang pemanfaatan berkelanjutan dari jenis-jenis ikan serta terpeliharanya keanekaragaman genetik ikan.

baca juga : Ikan Air Tawar Endemik Itu Berstatus Terancam Punah

 

Ikan baung, salah satu ikan tawar endemik Sumatera. Foto : agrowindo

 

Alasan kenapa beberapa jenis ikan perlu diberikan tindakan konservasi, karena ikan-ikan endemik tersebut mengandung nilai ekonomi, nilai sosial, nilai ekologi, nilai budaya, nilai religi, nilai estetika, dan adanya ancaman kepunahan.

Dia merinci, tujuan dilaksanakan konservasi jenis ikan tertentu, di antaranya adalah: 1) menjaga atau meningkatkan produksi; 2) keseimbangan alam; 3) perbaikan genetika/spesies; 4) menggali manfaat potensial; 5) turisme; 6) pendidikan dan penelitian; 7) estetika; 8) endemik, dan etnik; 9) kesehatan lingkungan; serta 10) kelestarian keanekaragaman.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Haryono juga pernah mengatakan bahwa penurunan yang terus terjadi pada populasi ikan endemik lokal, bisa terjadi karena hingga saat ini pengawasan terhadap ikan tersebut masih belum seaktif pengawasan ikan yang ada di perairan laut.

Menurut pria yang fokus pada penelitiannya adalah tentang ikan di perairan tawar itu, ikan yang tumbuh di air tawar bisa ditemukan di habitat air yang mengalir (lotik) seperti sungai, dan air yang menggenang (lentik) seperti danau, waduk, dan rawa.

“Perairan umum daratan air tawar ini terutama ada di pulau Kalimantan dan Sumatera,” ucap dia.

Di Indonesia, Haryono menjelaskan, total luas perairan umum daratan mencapai 55 juta hektare. Dengan rincian, luas perairan sungai 11,95 juta ha, perairan danau/waduk 2,1 juta ha, dan perairan rawa 39,4 juta ha.

Saat ini, total ada 4.782 spesies ikan asli Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah perairan. Dari jumlah tersebut, ikan air tawar sebanyak 1.248 spesies, ikan laut dengan 3.534 spesies, ikan endemik 130 spesies, introduksi 120 spesies, terancam punah 150 spesies, dan invasif sebanyak 13 spesies.

 

Exit mobile version