- Wilayah perairan laut zona ekonomi eksklusif adalah wilayah istimewa bagi Indonesia, karena menjadi batas dengan negara lain. Wilayah tersebut sudah ditetapkan melalui Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS)
- Ketetapan itu menjadikan Indonesia sebagai pemilik hak berdaulat di wilayah perairan ZEE, termasuk di Laut Natuna Utara (LNU) yang bernama Laut Cina Selatan dan berbatasan langsung dengan Vietnam.
- Konflik yang terjadi di LNU, hampir pasti selalu berkaitan dengan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal yang dilakukan oleh kapal ikan asing (KIA) berbendera Vietnam. Aksi tersebut bahkan didukung oleh negara tersebut, karena selalu ada kapal pengamanan Vietnam
- Namun, konflik juga melibatkan kapal ikan Indonesia (KII), karena ada pelanggaran yang mereka lakukan di wilayah jalur penangkapan ikan. Juga, penangkapan ikan ilegal cumi dan sotong oleh KII di wilayah ZEE Papua Nugini
Ancaman keamanan Negara terus muncul di wilayah perairan Laut Nusantara hingga sekarang ini. Bukan saja disebabkan oleh kapal ikan asing (KIA), namun ancaman juga muncul karena disebabkan aktivitas yang dilakukan oleh kapal ikan Indonesia (KII).
Khusus di Laut Natuna Utara (LNU) yang berbatasan langsung dengan Vietnam, konflik terjadi karena didominasi oleh kegiatan menangkap ikan secara ilegal (illegal fishing) yang dilakukan KIA dari negara tersebut.
Kegiatan tersebut jika terus dibiarkan bisa mengancam kedaulatan Negara yang ada di wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia tersebut. Sebelum berganti nama menjadi Laut Natuna Utara pada 2017, perairan ZEEI tersebut dulu bernama Laut Cina Selatan.
Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) yang merilis informasi tersebut, mengungkapkan KII yang melakukan kegiatan melanggar hukum itu terjadi di wilayah jalur penangkapan ikan yang ada dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 711.
Berdasarkan pengamatan Sistem Identifikasi Otomatis (AIS) yang berjalan sepanjang Maret hingga Juni 2022, IOJI menyebut KII yang beroperasi menggunakan alat penangkapan ikan (API) jenis Jaring Tarik Berkantong (JTB) dari Pati, Jawa Tengah.
Kapal-kapal tersebut diduga melakukan penangkapan ikan di jalur kurang dari 12 mil laut dari Pulau Subi yang secara administrasi masuk ke dalam wilayah Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Semua kapal yang beroperasi ukurannya rerata di atas 30 gros ton (GT) dengan izin operasional diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
CEO IOJI Mas Achmad Santosa menjelaskan, sebagai kapal yang ukurannya di atas 30 GT dan menggunakan API jenis JTB, mereka dinilai sudah melakukan pelanggaran jika beroperasi dengan cakupan jalur di dalam 12 mil laut.
“Mereka diduga kuat melanggar jalur penangkapan,” sebut dia belum lama ini di Jakarta.
baca : Nelayan Lokal Meradang: Tangkap Kapal Cantrang yang Menjamur di Natuna
Berdasarkan Pasal 25 (3) huruf c Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No.18/2021 tentang penempatan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia (WPPNRI) dan laut lepas, serta penataan andon penangkapan ikan, kapal di atas 30 GT dengan JTB juga dilarang beroperasi di atas 30 mil laut.
Oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Laut Natuna Utara dikelompokkan masuk ke dalam WPPNRI 711 yang di dalamnya mencakup juga perairan Laut Natuna dan Selat Karimata. Cakupan luas WPPNRI tersebut berdasarkan data yang dirilis KKP mencapai 66.195.416,22 hektare.
Seluruh KII yang melakukan pelanggaran, khususnya di Laut Natuna Utara bisa dipidana dengan pidana denda paling banyak mencapai Rp250 juta. Hal itu merujuk pada Pasal 7 dan 100 Undang-Undang Perikanan jo. UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja.
Selain denda, merujuk pada Pasal 130 (2) Permen KP Nomor 58 Tahun 2020 tentang Usaha Perikanan Tangkap, pelanggaran ini juga dapat dikenai sanksi administratif berupa teguran (pelanggaran pertama), pembekuan izin (pelanggaran kedua), dan pencabutan izin (pelanggaran ketiga).
Tak hanya secara pidana, IOJI merekomendasikan KKP untuk mengeluarkan moratorium terhadap perizinan baru dan perpanjangan izin kapal-kapal dengan API jenis JTB. Cara tersebut diharapkan bisa mencegah munculnya potensi konflik horisontal.
Pada saat yang sama, KKP juga perlu melaksanakan kajian mengenai dampak kapal-kapal JTB, terutama pada (1) kesehatan laut, (2) pola kepemilikan, (3) potensi konflik horisontal. Hasil kajian ini akan berperan sebagai dasar evaluasi kebijakan kapal-kapal jaring tarik berkantong.
Selain itu, instansi-instansi penegak hukum di laut juga perlu untuk bersiaga untuk menyiapkan kapal patroli di perairan Pulau Subi dan sekitarnya, untuk mencegah terjadinya pelanggaran jalur penangkapan ikan oleh kapal-kapal jaring tarik berkantong.
baca juga : Nelayan Natuna Protes Jaring Tarik Berkantong mirip Cantrang
Kapal Ikan Vietnam
Selain KII, konflik horisontal juga berpotensi muncul akibat pelanggaran yang dilakukan oleh KIA dari Vietnam. Ancaman itu bisa terjadi, karena KIA berbendera Vietnam jumlahnya banyak dan beroperasi menangkap ikan secara intensif di LNU.
Ada sekitar 60 unit KIA berbendera Vietnam tersebut masuk ke LNU. Jumlah itu melebihi KIA berbendera negara lain yang ada di perairan tersebut.
Paling sering, mereka beroperasi di Laut Natuna Utara ZEE Indonesia non sengketa 1 pada koordinat 106.2 BT hingga 109.1 BT dan 5.3 LU hingga 6.2 LU. Terdeteksi juga, sebanyak delapan KIA Vietnam yang sudah melakukan penangkapan ikan secara ilegal sebelum periode Maret-Juni 2022.
“Mereka beroperasi di ZEE Indonesia non-sengketa atau repeated offenders,” terang Santosa menjelaskan tentang wilayah ZEE Indonesia di Laut Natuna Utara yang berada di sebelah selatan garis batas Landas Kontinen Indonesia-Vietnam.
Dari hasil pengamatan Citra Satelit, IOJI mengidentifikasi pola operasi KIA Vietnam di ZEE Indonesia non-sengketa, yaitu dua kapal berlayar ke arah yang sama secara beriringan dengan jarak antar kapal antara radius 300 hingga 400 meter.
Pola ini merupakan ciri khas kapal ikan dengan alat tangkap pair trawl. Tren operasi KIA Vietnam di ZEE Indonesia non sengketa diketahui sudah mulai muncul sejak 2021 hingga sekarang, terutama hasil analisis pada Juni 20222.
baca juga : IOJI: Ada Dugaan Kapal Patroli Vietnam Lindungi Illegal Fishing di Natuna
Berdasarkan Pasal 56 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki hak berdaulat atas pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hayati maupun non-hayati di ZEE Indonesia.
Aturan tersebut menegaskan bahwa negara lain tidak dapat ikut menikmati sumber daya tanpa izin Pemerintah Indonesia. Dengan demikian, Pemerintah berwenang dan memiliki kewajiban utama (primary responsibility) untuk mengambil tindakan yang diperlukan seperti menindak pelanggaran pemanfaatan sumber daya ikan di ZEEI, termasuk penangkapan kapal dan penuntutan pidana.
Tambahan lagi, kapal-kapal dari Vietnam dinilai melakukan pelanggaran, karena API yang digunakan adalah pair trawl. Alat tangkap tersebut bisa menimbulkan kerusakan karang sebagai habitat ikan. API pair trawl sendiri dikategorikan sebagai alat tangkap yang merusak sumber daya ikan dan dilarang penggunaannya di seluruh WPP NRI.
Dengan pelanggaran yang dilakukan seperti di atas, maka KIA berbendera Vietnam bisa dipidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp30 miliar. Semua aturan tersebut dinilai sudah cukup kuat bagi Pemerintah untuk menindak sesuai peraturan yang berlaku.
Pengawalan Kapal Patroli Vietnam
Selama Maret-Juni 2022, IOJI juga mendeteksi empat kapal patroli pengawas perikanan Vietnam yang berpatroli di sekitar garis batas Landas Kontinen RI-Vietnam, yaitu Kiem Ngu 216 (KN216), Kiem Ngu 220 (KN220), Kiem Ngu 268 (KN268), Kiem Ngu 204 (KN204).
Keempat kapal ini beberapa kali keluar masuk zona non-sengketa sejauh 7 hingga 10 mil laut dari garis batas Landas Kontinen, atau tidak jauh dari pusat intrusi KIA Vietnam di ZEE Indonesia non-sengketa.
Pola operasi ini tidak hanya terjadi sepanjang Maret-Juni 2022 saja, tetapi juga sepanjang tahun 2021. Pada 19 Juni 2022, Kapal KN268 terdeteksi melakukan pengintaian (shadowing) terhadap KRI STS-376 ketika melakukan upaya pelarangan (interdiksi) kepada KIA Vietnam BV5119TS.
Operasi kapal KN268 yang tidak lain adalah Vietnam Fisheries Resources Surveillance (VRFS) dinilai IOJI sebagai tindakan pengawalan (escorting) dan perlindungan terhadap aktivitas penangkapan ikan secara ilegal KIA Vietnam di wilayah ZEE Indonesia non sengketa.
baca juga : Ironis, Nelayan Natuna Terusir di Laut Sendiri karena Kapal Asing
Mas Achmad Santosa memaparkan, berdasarkan pertimbangan hukum dalam South China Sea Tribunal Award (2016), kegiatan illegal fishing KIA Vietnam BV5119TS dianggap sebagai tindakan resmi Pemerintah Vietnam dikarenakan tindakan pengawalan kapal KN268.
“Dengan demikian, Pemerintah Vietnam dinilai telah melanggar kewajiban saling menghormati (due regard obligation) terhadap hak berdaulat Indonesia di ZEE Indonesia,” tegas dia.
Ilegal Fishing di ZEE Papua Nugini
Selain di LNU, aktivitas serupa juga terjadi di wilayah perairan laut yang masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif Papua Nugini yang berbatasan langsung dengan Laut Arafuru yang menjadi bagian dari WPPNRI 718 bersama Laut Aru dan Laut Timor Bagian Timur.
Aktivitas penangkapan ikan secara ilegal tersebut melibatkan puluhan kapal ikan Indonesia (KII) dengan ukuran kapal di atas 30 GT dan menggunakan API pancing cumi. Mereka semua terdeteksi melakukan illegal fishing di ZEE Papua Nugini.
Intrusi kapal-kapal yang terdaftar di WPPNRI 718 itu terdeteksi oleh IOJI sudah berlangsung sejak Februari 2022. Mereka melakukannya karena ada tren penurunan produksi tangkapan cumi/sotong di wilayah perairan tersebut.
Penurunan tersebut bisa terjadi, karena ada kenaikan permintaan terhadap ekspor produk perikanan cumi dalam beberapa tahun terakhir ini. Fakta tersebut diafirmasi oleh temuan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) dan data dari Badan Pusat Statistik.
IOJI merinci, sebanyak 21 KII yang beroperasi di ZEE Papua Nugini telah melaksanakan illegal fishing sepanjang Juni dan Juli 2022. Menariknya, kapal-kapal tersebut diketahui milik perusahaan dari Jakarta atau Bali.
baca juga : Banyak Kapal Asing di Natuna, Sayangnya Patroli Laut Terbatas
Atas semua permasalahan yang dipaparkan di atas, IOJI mengeluarkan sejumlah rekomendasi atas tiga masalah inti di atas, yaitu illegal fishing di Laut Natuna Utara dan Laut Arafuru; jalur penangkapan ikan di perairan pulau Subi, Natuna; dan pelanggaran KII di ZEE Papua Nugini.
Masalah illegal fishing di Laut Natuna Utara dan Laut Arafuru, rekomendasinya adalah:
- Pemerintah Indonesia (Kemlu) menyampaikan keberatan kepada pemerintah Vietnam mengenai pelanggaran kewajiban due regard pemerintah Vietnam terhadap Indonesia.
- Mempertimbangkan pengajuan gugatan internasional terhadap Pemerintah Vietnam berdasarkan Pasal 94, 192, dan 194 UNCLOS 1982.
- Pemerintah Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah No.13/2022 tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia agar:
- Mempercepat penerbitan rencana patroli nasional yang memfokuskan di wilayah-wilayah rawan keamanan laut seperti LNU dan Laut Arafura.
- Mengevaluasi penyelenggaraan penegakan hukum di laut saat ini, terutama terkait pelanggaran illegal fishing, khususnya di LNU dan Laut Arafura, baik itu yang dilakukan oleh KIA dan KII.
- Melaksanakan siap siaga kapal-kapal patroli termasuk sarana dan prasarana pendukungnya di Laut Natuna Utara.
Untuk masalah penangkapan ikan di perairan pulau Subi, Natuna, rekomendasinya adalah:
- Menjatuhkan sanksi pidana dan/atau administratif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap pelanggaran jalur penangkapan ikan oleh kapal jaring tarik berkantong (JTB);
- Mengeluarkan moratorium terhadap perizinan baru dan perpanjangan izin kapal-kapal JTB;
- Melaksanakan siap siaga kapal patroli di perairan pulau Subi dan sekitarnya untuk mencegah terjadinya pelanggaran jalur penangkapan ikan oleh kapal-kapal JTB;
- Melaksanakan kajian mengenai dampak kapal-kapal jaring tarik berkantong, terutama pada (1) kesehatan laut, (2) pola kepemilikan, (3) potensi konflik horisontal.
- Mengevaluasi kebijakan kapal-kapal JTB;
baca juga : Nelayan Lokal Meradang: Tangkap Kapal Cantrang yang Menjamur di Natuna
Untuk masalah pelanggaran KII di ZEE Papua Nugini, rekomendasinya adalah:
- KKP perlu memutakhirkan data stok cumi dan sotong di WPPNRI 718 untuk memastikan pengelolaan sumber daya cumi dan sotong yang berkelanjutan;
- Pemerintah (Kemlu RI) perlu menyiapkan strategi pendampingan hukum dan pemulangan awak-awak kapal ikan berbendera Indonesia jikalau KII yang melakukan intrusi di ZEE Indonesia ditahan oleh otoritas Papua Nugini.
Sedangkan Direktur Operasi Laut Badan Keamanan Laut (Bakamla) Bambang Irawan mengakui masih banyak permasalahan yang ada wilayah perairan laut Indonesia sampai sekarang. Diperlukan ketegasan semua pihak untuk bisa sama-sama memahami bahwa kedaulatan Negara perlu ditegakkan di sana.
“Khusus di Natuna, mari kita selesaikan (setiap persoalan) dengan baik. Keperluan kita adalah menghadirkan simbol negara di Laut Natuna Utara. Semua stakeholder harus dirumuskan di sana,” ungkap dia menyebut bahwa simbol Negara tidak terbatas pada TNI AL, Bakamla, dan PSDKP saja.
Sementara, Dosen Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Widodo juga berpendapat kalau hak berdaulat di laut adalah sesuatu yang harus terus dipertahankan. Hak tersebut tidak bisa dibagi dengan negara lain di sekitarnya.
Hak tersebut sudah ditetapkan dalam UNCLOS 1982 dan kemudian ditegaskan oleh Pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dia bahkan bilang kalau ketetapan UNCLOS tersebut sebagai bentuk hadiah yang mewah.