Mongabay.co.id

Merawat Perairan Namatota lewat Sasi Nggama

 

 

 

 

 

 

Sekawanan ikan lompa bergerak ke sana kemari di antara perahu nelayan yang bersandar di bibir pantai Pulau Namatota, Kaimana, Papua Barat. Air laut begitu jernih.

Beberapa warga yang beristirahat di para-para dekat pantai membiarkan ikan itu berenang bebas. Begitupun anak-anak yang sedang bermain di tepi pantai.

Saat menjejakkan kaki di pantai dermaga sebelah timur, seorang mama menyambut kami dengan upacara adat kecil. Seperti membaca doa, perempuan itu lalu menempelkan sejumput pasir pantai berwarna putih di dahi para tamu.

Adat itu cara menandai orang baru. Tujuannya, agar roh nenek moyang tak terganggu kehadiran orang asing.

Gapura Selamat Datang atau Obaa Roa dalam bahasa di muka jalan kampung. Di kanan kiri terdapat rumah warga, homestay, mesjid, rumah kepala kampung dan kediaman Raja Namatota. Sebuah makam keramat raja-raja Namatota terletak tak jauh dari sana.

Kadir Rumaderun, warga Lampung Namatota, mengisahkan keistimewaan lompa yang kami temui saat mendekati Pulau Namatota pertama kali. Lompa bukan saja sumber pangan warga, juga menjaga ekosistem perairan Namatota tetap lestari.

“Mereka biasa berputar-putar di sekeliling kami. Kami cukup ambil seperlunya, sudah bisa untuk makan sehari-hari. Kalau ambil terlalu banyak lompa bisa pergi,”katanya, Maret lalu.

Ada fenomena alam menarik di Namatota, saat ribuan ikan terdampar ke pantai. Warga menyebut itu sebagai waktu ikan naik ke pantai. Saat itu, berbagai jenis ikan bersama-sama mengejar lompa sebagai makanan mereka. Karena terlalu dekat ke pantai sebagian ikan terdampar. Warga pun tinggal memungut tanpa harus mengail atau menjala di laut.

“Waktu ada ikan naik itu suara keras, dari rumah pun kami bisa dengar. Mereka berenang ke pantai. Kami tinggal tangkap. Tidak perlu pakai tombak, jala, atau peralatan. Pakai tanganpun bisa.”

Perairan Namatota kaya ikan. Nelayan merupakan pekerjaan sebagian besar warga Namatota yang berjumlah sekitar 160 keluarga. Jenis tangkapan ikan utama adalah cakalang, tuna, kakap, tengiri, dan bawal.

Sebuah perusahaan pengolahan ikan, terdaftar di Kementerian Perindustrian yaitu PT Industri Perikanan Namatota dengan komoditi utama ikan beku. Nelayan Namatota biasa menjual hasil tangkapan mereka ke perusahaan ini.

Luas Namatota menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan sekitar 126 km persegi dengan kontur berbukit dari batuan karst. Pesisir dan perairan Namatota dipenuhi mangrove, terumbu karang, aneka biota laut, dengan air laut nan jernih. Kawasan ini sangat indah dan potensial sebagai tujuan wisata. Namatota dalam bahasa lokal berarti sebuah tempat berair biru. Mayoritas suku yang mendiami Namatota adalah Suku Koiway.

 

Keindahan perairan Pulau Namatota dengan karst yang mengelilingi. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Tradisi

Pemerintah sudah menerapkan aturan penangkapan ikan terukur antara lain untuk mencegah penangkapan ikan berlebih, dan mengatur ekosistem bisnis ikan. Di Namatota, itu sudah dilakukan sejak dulu lewat tradisi sasi.

Raja Namatota, Randi Asnawi Ombaier, mengatakan, di wilayah adat mereka praktik yang mengatur penangkapan hasil laut ini sudah turun temurun. Tujuannya, agar biota laut itu berkembang dan memastikan sumber daya perikanan Namatota terjaga tetap lestari.

“Kami buat sasi laut sudah lama. Akhir-akhir ini masyarakat juga sudah memberitahukan waktu bisa dipanen, nanti kami buat upacara buka sasi dulu. Nanti saya perintahkan semua turun menyelam, untuk ambil lola, teripang, batulaga. Setelah itu, sekitar satu hingga dua minggu selesai menyelam, kami pasang sasinya lagi.”

Randi bilang, sasi di sana disebut sasi nggama. Waktu berlangsungnya sasi dibicarakan dalam pertemuan adat. Raja akan menentukan apa saja yang disasi, dan ukuran hewan yang boleh diambil. Ada sanksi bagi mereka yang melanggar adat sasi.

“Biasanya pencuri dari luar. Kalau ketemu di laut kami tarik ke kampung. Lalu kami tanya. Kalau terbukti, ada denda adat. Kami minta piring besar dari 10-20 buah. Bisa juga guci. Lalu dari anting sampai gelang. Kalau di sini kami bilang itu emas Papua.“

Selama ini, katanya, denda tidak terlalu besar. Selain yang melanggar nelayan tradisional dari kampung sekitar, alasan mencuri biasa karena faktor ekonomi.

Meski begitu, ada saja yang sengaja melanggar karena ingin meraup keuntungan dari mahalnya biota laut yang disasi. Mereka bahkan menggunakan peralatan penyelaman modern dan memakai perahu bertenaga mesin. Biasa praktik pencurian itu pada malam hari.

Dia mengatakan, akan mengaktifkan ronda atau patroli untuk menjaga perairan mereka dari aksi pencurian.

Menurut Randi, sejak tete moyang hingga almarhum ayahnya, buka sasi selalu ditunggu seluruh warga. Hebatnya, warga yang menyelam atau molo hanya menggunakan peralatan tradisional.

“Mereka punya hasil kemudian dikumpulkan di sepu (rumah) tete. Setelah dikumpulkan lalu dijual, uangnya dibagikan ke masyarakat.”

Dalam masyarakat Koiway, tanda tutup sasi terbuat dari daun kelapa. Tanda ini akan dipasang di tempat atau benda tertentu seperti pantai, gua, laguna, karang, atau pohon.

 

Lompa yang berenang di tepian pantai. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Masyarakat akan menghindari area yang ada tanda sasi dan tak mengambil kekayaan alam yang disasi.

Daun kelapa dipakai sebagai tanda karena bentuk yang berbeda dengan daun lain, dan bisa dilihat dari jarak jauh sampai sekitar 50 meter.

Kerajaan Namatota dikenal sebagai kerajaan Islam. Belum ada angka pasti kapan kerajaan Namatota berdiri diperkirakan ada sejak abad 16. Raja Namatota saat ini adalah raja ke-13 yang diangkat pada 2013.

Randi adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Meski biasa yang menerima mahkota adalah anak laki-laki tertua, namun tahta kerajaan tetap diberikan kepadanya sebagaimana wasiat ayahnya.

Randi bilang, semua raja Namatota dari 1-12 dimakamkan di Namatota. Dulu, kekuasaan kerajaan Namatota meliputi Timika hingga Bintuni.

“Meski sekarang sudah terbatas kekuasaannya, tapi kalau ke tempat lain seperti Fakfak mereka masih menghormati kami. Belum lama ini, ketika mereka dengar saya mau ke Fakfak, mereka jemput dan antar saya keliling.”

Kampung Namatota masuk dalam Distrik Kaimana, Kabupaten Kaimana. Kampung ini berbatasan dengan Teluk Triton di sebelah timur, laut Banda sebelah barat, Arafuru di sebelah selatan serta pulau besar Papua di sebelah utara.

Kerajaan Namatota cukup berpengaruh di Papau Barat pada masanya. Saat era kolonial, kerajaan yang masih punya hubungan dengan Kerajaan Ternate Tidore ini punya peran penting dalam perniagaan rempah di wilayah timur Nusantara.

Belanda dan Portugis datang ke Namatota, mencari pala dan kayu masohi, yang ditukar dengan piring, guci, dan parang.

 

Keindahan alam Namatota. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Legenda lompa

Khusus lompa, raja Namatota memberi titah hanya boleh diambil untuk kebutuhan lauk pauk saja, atau ditangkap sebagai umpan memancing. Ada mitos, siapapun yang makan lompa di Namatota bakal terkenang dengan tempat ini dan selalu ingin kembali.

Sasi lompa di Namatota belum banyak dipublikasikan sebagaimana kearifan lokal di Negeri (desa) Haruku, Maluku Tengah. Sebuah sungai payau bernama Learisa Kayeli yang bermuara di laut menjadi tempat ikan ini. Mirip salmon, lompa juga berenang ke laut. Di sana warga dilarang menangkap lompa di wilayah sasi.

Warga juga dilarang mengganggu habitat lompa, misal, dengan tidak mencuci atau membuang sampah ke sungai itu.

Menyitir penelitian Nita Handayani Hasan pada 2017, legenda lompa di Negeri Haruku mengisahkan ada seekor buaya betina di Sungai Learisa Kayeli yang suka menolong warga melintasi sungai. Suatu ketika dalam keadaan hamil buaya harus membantu sesama buaya melawan ular naga di sebuah tempat.

Ular naga berhasil dikalahkan, namun buaya betina ini terluka. Sebagai hadiah untuk anaknya yang bakal lahir, kawanan buaya memberi hadiah lompa, make, dan parang-parang untuk makanan anaknya kelak.

Naas, dalam perjalanan pulang ke Haruku buaya betina ini tertangkap manusia yang akan membunuhnya. Sebelum dibunuh buaya meminta manusia untuk menusuk pusarnya hingga lahirlah anaknya. Anak buaya ini pun berenang pulang menuju Haruku ditemani lompa, make, dan parang-parang. Anak buaya tiba di Sungai Learisa Kayeli dalam keadaan selamat ditemani lompa.

Corich Corputty dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kaimana yang menginisiasi desa wisata di Namatota mengisahkan juga legenda seputar lompa ke masyarakat Namatota. Dia ceritakan, lompa yang berjumlah banyak itu berkat kesaktian Raja Namatota.

“Suatu ketika anaknya yang masih kecil asyik bermain-main dengan sekumpulan ikan di pantai. Hari makin sore, namun sang anak belum mau pulang. Ibunya lalu membujuknya dengan mengatakan bahwa ikan-ikan itu esok masih ada.”

Sang ayah yang juga adalah raja tetap bertahan di pantai. Dia membasuh seluruh badan dengan air laut. Dengan kesaktiannya, kulit yang terkelupas dari badan berubah menjadi ribuan ikan lompa kecil. Keesokan harinya lompa terlihat bergerombol di sekitar pantai tempat anak raja bermain.

Menurut World Register on Marine Species, lompa (Thryssa baelama) banyak ditemukan di pantai, laguna, dermaga, kolam mangrove, dan muara sungai. Lompa dikenal mampu beradaptasi di air dengan salinasi rendah. Ikan ini bisa hidup di kedalaman 0,1-50 meter.

Lompa secara taksonomi termasuk keluarga Engraulidae, yaitu ikan yang hidup di perairan hangat dan kadang-kadang dijumpai berenang di air tawar. Ikan dengan warna perut keperakan ini bergerak dan mencari makan secara berkelompok. Makanan utama, adalah plankton. Ikan ini diketahui tersebar di seluruh kepulauan Nusantara.

 

Lukisan kuno di karst Kampung Maimai, Kaimana. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Pesona alam kampung wisata

Corich menginisiasi desa wisata di Namatota setelah melihat kenyataan potensi wisata belum tergarap dan memberikan manfaat bagi masyarakat Namatota. Dia mulai sejak 2019.

Selama ini, Kampung Namatota menjadi pintu gerbang tujuan wisata Teluk Triton. Sayangnya, masyarakat Namatota hanya melihat lalu lalang speedboat bahkan kapal pesiar yang membawa wisatawan di perairan mereka, tanpa singgah di Namatota.

Hingga suatu ketika datang anak muda Namatota bernama Kasim Ombaier, menemuinya. Muncullah gagasan mewujudkan kampung wisata Namatota.

“Kami lalu menginisiasi Namatota menjadi model pengembangan Kampung Wisata berbasis kearifan lokal. Yaitu budaya Nggama atau sasi dalam bahasa Koiway sebagai instrumen pelestarian alam yang saya kenal sejak kecil,” katanya kepada Mongabay via telepon 5 September lalu.

Kala itu, alumni Fakultas Pertanian jurusan Kehutanan Universitas Papua (Unipa) ini terkenang sebuah lagu mars saat kuliah dulu. Penggalan lirik “di pojok desa-desa, di sana banyak karya” itu bergaung hebat di benaknya yang menuntunnya mulai mengembangkan ekowisata di Namatota.

Aloysius Numberi, Kepala Kantor EcoNusa Kaimana mengatakan, bekerja sama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kaimana mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat sejak 2020.

Namatota berada pada kawasan konservasi perairan laut, hingga pengembangan pariwisata harus memperhatikan kelestarian alam baik di darat maupun laut.

Selain berbasis masyarakat, pendekatan juga melalui pengembangan pariwisata berkelanjutan, dan peningkatan ekonomi lokal.

Meski begitu, angka kunjungan wisatawan ke distrik Kaimana dari tahun ke tahun terus meningkat, mereka kebanyakan dari mancanegara, yang meminati wisata selam di Teluk Triton.

Pada 2021, Namatota ditetapkan sebagai kampung wisata di Kabupaten Kaimana oleh Bupati Kaimana Freddy Thie. Dalam keputusan itu disebutkan potensi yang dikembangkan antara lain wisata alam minat khusus diving, memancing, petualangan air, situs kerajaan Namatota, tradisi Nggama, dan kehidupan nelayan pesisir.

Namatota, katanya, punya memiliki beberapa laguna sangat menarik untuk dikunjungi. Namanya Laguna Ambalawa. “Lidden lagoon karena untuk sampai ke sana kita harus naik ke ketinggian tertentu baru turun menuju laguna. Bentuknya seperti kolam, tapi berisi air laut. Sangat jernih. Satunya lagi Laguna Lavavaninda.”

 

 

******

 

Exit mobile version