Mongabay.co.id

Konflik dengan Perusahaan Sawit, Warga Dayak Marjun Terjerat Hukum

 

 

 

 

Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin pepatah ini bisa sedikit menggambarkan kondisi Masyarakat Dayak Marbun di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur ini. Sudahlah ruang hidup mereka tergerus jadi kebun sawit malah terjerat hukum atas laporan perusahaan yang menuding mereka mencuri sawit.

Pada 8 September lalu, Pengadilan Negeri Tanjung Redep Berau, Kalimantan Timur memvonis enam warga adat Dayak Marjun. Mereka adalah, Jamaludin, Shabir, Mansur, dan Amin. Dua lainnya, Boni, Ketua DPC Komite Nasional Pembaruan Agraria dan Konfederasi (Kasbi) dan Alex Saka, pekerja sawit. Lima orang kena vonis dua tahun penjara yakni Boni, Jamaludin, Mansur, Sabirudin dan Amin. Alex 1,6 bulan. Mereka terjerat hukum gara-gara laporan perusahaan perkebunan sawit, PT Tanjung Buyuh Perkasa Plantation (TBPP) atas tuduhan pencurian sawit.

Hakim yang menangani perkara ini diketuai Raden Narendra Mohni Iswoyokusumo dengan hakim anggota, I Wayan Edy Kurniawan, dan Arif Setiawan. Panitera muda pidana Dahlia dan Jaksa Penuntut Umum Muhammad Bagas Anggit DP.

Yosep Nurhidayat, kuasa hukum warga saat dihubungi Mongabay melalui sambungan seluler mengatakan, seharusnya, hakim bersikap obyektif.

“Majelis hakim pada pokoknya dalam putusan menyatakan enam orang bersalah sesuai ketentuan Pasal 363 KUHP.” Pasal 363 KUHP itu soal pencurian.

Majelis hakim, katanya, hanya berpedoman pada KUHP, tak merujuk aturan hukum lain seperti UU, peraturan menteri, dan putusan Mahkamah Konstitusi.

“Dari bukti-bukti dan keterangan para saksi yang diajukan oleh JPU saat persidangan, tidak bisa menunjukkan tapal batas antara tanah yang dikuasai Masyarakat Adat Dayak Marjun dengan tanah perusahaan,” katanya.

Mereka tidak bisa menunjukkan apa yang menjadi dasar perusahaan melaporkan masyarakat. “Juga tidak tahu dan tak ada HGU yang menyatakan sebagai legalitas kepemilikan,” kata Yosep.

Setidaknya, ada lima orang saksi dihadirkan JPU. Mereka adalah pimpinan dan karyawan TBPP.

Sedang bukti-bukti dari hasil peninjauan lapangan pemerintah daerah dan hasil investigasi soal tempat kejadian, katanya, tak jadi pertimbangan majelis hakim.

Dia juga singgung saat gelar perkara yang dihadiri kepolisian dan TBPP tetapi tak ada dari warga. Penasihat hukum pun tak tahu.

“Padahal, gelar perkara itu harus ada para pihak. Antara si terdakwa, saksi, terus masyarkat di situ mengetahui kalau ada gelar perkara, terus ada kuasa hukum. Mengapa polisi gelar perkara hanya dia saja perusahaan saja? Kita pun sebagai pengacara tidak diberitahu .”

Terkait banding, Yosep bilang masih berkomunikasi dengan masyarakat. Kalau mau upaya banding, dia siap mendampingi.

“Perkara inin terjadi karena ada konflik agraria struktural. Bukan persoalan pencurian. Tanah yang dikuasai perusahaan itu tanah ulayat, tanah turun temurun dari nenek moyang mereka.”

 

Sidang putusan di Pengadilan Negeri Tanjung Redep Berau, Kalimantan Timur, memvonis enam warga adat Dayak Marjun pada 8 September lalu. Foto: KPA

 

Konflik agraria

Tudingan pencurian buah sawit pada Februari lalu oleh perusahaan ini merupakan buntut dari konflik agraria yang terjadi antara warga Dayak Marjun di Talisayan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur ini dengan perusahaan.

Ifan Ibrahim, Koordinator Advokasi Kasbi, 7 September lalu mengatakan, penangkapan warga imbas dari konflik agraria sejak 2004.

Dia bilang, perkara ini tidak bisa dilihat hanya sebagai kasus pencurian sawit dengan pendekatan hukum pidana. Kalau tilik ke belakang, yang melatarbelakangi aksi pemanenan sawit adalah buah konflik agraria.

“Sawit yang ditebang dan dijual mereka di atas tanah ulayat Masyarakat Dayak Marjun dan berada di luar konsesi HGU TBPP,” katanya.

Sayangnya, tak ada keterbukaan data dan penindakan tegas terhadap TBPP yang menanam sawit di luar HGU, bahkan, wilayah adat Dayak Marjun yang terambil sekitar 1.800 hektar.

Berdasarkan Hasil Peninjauan Lapangan pada 23 September 2021 oleh Pemerintah Kabupaten Berau, BPN Kantor Pertanahan Berau, Polsek Talisayan dan TBPP, perusahaan menanam sawit di luar areal HGU. Lahan adat Dayak Marjun juga terpakai sekitar 1.800 hektar. Hasil tinjauan lapangan TBPP, terdapat galian C yang dibiarkan, lokasi mata air rusak, dan perubahan aliran sungai maupun sepadan sungai.

“Kegiatan TBPP yang serampangan dan merampas tanah ulayat Masyarakat Dayak Marjun, juga mengakibatkan kerusakan makam leluhur dan pohon menggeris, serta kerusakan hutan mangrove.”

Masyarakat Dayak Marjun protes menyuarakan berbagai persoalan itu. Kriminalisasi ini terjadi, katanya, juga dampak pemerintah lalai dalam menangani persoalan konflik agraria yang menimpa masyarakat.

Padahal, katanya, Pasal 66 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tegas menyebutkan, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut pidana maupun digugat perdata.

Juga Surat Kapolri 4 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui alternative dispute resolution (ADR), tindak pidana yang ditangani diselesaikan polisi atau penyidik dengan mengimplementasikan pendekatan keadilan restoratif. Antara lain, tindak pidana yang berpotensi menimbulkan atau berkaitan dengan konflik sosial, dan tindak pidana yang bersentuhan dengan delik adat.

Bahkan, pada petunjuk teknis pelaksanaan ADR dalam lingkup kepolisian, ADR sebagai mekanisme penyelesaian konflik diterapkan pada Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 34/2007. Keputusan itu soal Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan.

“Namun kepolisian mengabaikan ketentuan penanganan kasus melalui ADR, dan mengesampingkan konflik agraria sejak 2004 sebagai latar belakang dari aksi pemanenan dan penjualan sawit oleh masyarakat.”

Saat penetapan tersangka dan penangkapan warga, katanya, dengan penjemputan paksa. Saat proses pemberkasan pun, polisi sepihak menunjuk pendamping hukum tanpa memberikan peluang bagi warga untuk memilih.

Proses persidangan pertama 30 Juni. “Pada 26 dan 28 Juli 2022, agenda persidangan saksi yang dihadirkan JPU sebagai penguat laporan TBPP. Dari 13 saksi, tidak ada satu pun yang dapat menunjukkan SK HGU dan menjelaskan batas-batas HGU,” katanya.

Pada 2 dan 4 Agustus 2022, agenda persidangan pemeriksaan saksi yang meringankan terdakwa. Namun hakim yang menangani perkara tak memeriksa alat bukti berupa peta yang dibuat Masyarakat Adat Dayak Marjun bersama-sama pendamping tanpa alasan jelas.

“Padahal, peta itu menunjukkan batas-batas HGU yang tidak dapat dijelaskan TBPP dan saksi-saksi yang dihadirkan JPU.”

Pada 9 Agustus 2022, saat sidang pemeriksaan terdakwa, Kasbi meminta majelis hakim untuk pemeriksaan lapangan guna membuktikan letak dari tindak pidana pencurian. Dasar permintaan itu, katanya, selain keterangan saksi yang dihadirkan JPU, tak ada yang mengetahui kalau kejadian perkara itu di luar patok.

“Dalam penyelidikan polisi yang hanya didampingi TBPP,  terdakwa tidak disertakan, hingga patut diduga lokasi kejadian perkara tidak sesuai fakta sebenarnya.”

 

Ilustrasi. Ruang hidup masyarakat adat makin terhimpit kehadiran kebun sawit skala besar, salah satu Masyaraat Adat Dayak Mari Kalimantan Timur. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

“Permintaan kami untuk pemeriksaan tempat kejadian perkara ditolak JPU dengan alasan perkara pidana tidak pernah pemeriksaan lokasi. Majelis hakim juga tidak memenuhi permintaan pemeriksaan lokasi,” katanya.

Pada 16 Agustus 2022, dibacakan tuntutan JPU pada para terdakwa dengan Pasal 363 Ayat (1) ke 4 KUHP Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP, dengan tuntutan hukuman 2 dan 1,6 tahun penjara.

Pada 23 Agustus 2022, agenda persidangan pembacaan pledoi dengan pembelaan bahwa ada ketidakjelasan lokasi pencurian, dan jaksa tak cermat menggunakan pasal-pasal KUHP bukan UU 39/2014 tentang Perkebunan.

Benny Wijaya, dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan, berbagai upaya protes dan penolakan dilakukan masyarakat terhadap operasional perusahaan. Akibat pemerintah abai menyelesaikan konflik agraria dan mengakui wilayah adat, katanya, protes masyarakat tak dapat respon justru berbalas tindakan represif dari aparat dan berujung kriminalisasi.

“Selama proses persidangan dan investigasi kami, terdapat banyak kejanggalan dan pelanggaran yang selama proses persidangan maupun mengenai status konsesi TBPP.”

Sejak ada perusahaan beroperasi,katanya, terjadi kerusakan lingkungan, kerusakan sempadan sungai, mata air, pesisir dengan kerusakan ekosistem mangrove hingga terjadi ancaman abrasi.

Pohon menggeris juga ditebang serampangan. Pohon ini, katanya, merupakan rumah lebah hutan yang disakralkan dan dilindungi masyarakat adat.

“Perusahaan juga mengubah aliran air sungai dan merusak mata air karena menanam sawit di luar areal HGU.”

 

 

 

*******

 

Exit mobile version