Mongabay.co.id

Konflik Harimau dan Manusia Berulang di Konsesi, Solusinya?

 

 

 

 

Selang dua minggu, harimau Sumatera kembali menerkam pekerja panen perusahaan kayu di konsesi perkebunan kayu, PT Peranap Timber. Korbannya, Nihar, di bawah tanggungjawab rekanan PT Rimba Prima Mas (RPM). Peristiwa itu terjadi di Desa Serapung, Kecamatan Kuala Kampar, Pelalawan, Riau, 3 September lalu. Sebelumnya, 19 Agustus lalu dalam konsesi perusahaan sama, di Semenanjung Kampar, Sehat Sopiana Damanik, juga tewas kena terkam harimau.

Malam itu, Nihar hendak buang air kecil. Baru membuka pintu belakang dan melangkah keluar barak, dia sudah berhadapan dengan harimau. Kaget. Harimau menerkam. Pria 41 tahun itu teriak minta tolong. Penghuni barak keluar dan berupaya mengusir si belang. Syukur, satwa dilindungi itu akhirnya meninggalkan lokasi.

Nihar luka robek di kepala bagian belakang dan cakaran di leher, pundak serta kaki kiri. Dia langsung di bawa ke klinik perusahaan, Estate Serapung, untuk dapatkan pertolongan pertama. Kemudian dirujuk ke RSUD Selasih Pangkalan Kerinci, pusat pemerintahan Pelalawan.

Seorang dari perusahaan mengatakan, belum memiliki informasi banyak alias terbatas mengenai insiden di lapangan. Penanganan masalah ini, katanya, di bawah kewenangan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau. Saat ini, kajian atau observasi di lokasi terus dilakukan. Mereka masih menunggu instruksi lanjutan.

Perusahaan, katanya, sudah menghentikan aktivitas dan memindahkan pekerja pada lokasi cukup jauh dan lebih aman. Peranap , katanya, Timber sejak awal memiliki prosedur mitigasi mencegah konflik pekerja dengan satwa. Namun, kejadian ini disebut yang pertama dan tak pernah ada laporan sebelumnya.

“Kita tidak fokus lagi pada tempat yang rawan itu. Bergeser dan tidak bekerja lagi dari sana. Semua sudah ditarik. Rawan begitu siapa yang mau bekerja? Kita juga menjaga keselamatan pekerja,” katanya, sekaligus menunggu perintah untuk langkah-langkah ke depan.

BBKSDA Riau menginformasikan terus memantau keberadaan harimau dengan memasang kamera pengintai. Sepuluh kamera disebar di beberapa titik sejak kejadian pertama, tetapi belum berhasil merekam pergerakan harimau.

Adapun upaya mitigasi di lapangan, berupa sosialisasi pada para pekerja maupun karyawan, mengingatkan, supaya berhati-hati beraktivitas di luar tempat tinggal sementara atau barak. Juga tak keluar seorang diri, pada malam hari dan memasukkan hewan peliharaan dalam kandang tertutup.

Mereka juga diimbau membersihkan areal sekitar barak dan memasang terpal hitam di sekeliling untuk menghalangi pandangan harimau.

Menurut Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari, langkah itu masih bersifat solusi jangka pendek, belum menjawab masalah lebih konkret.

 

 

Baca juga: Buruh Perempuan Tewas Kena Terkam Harimau di Konsesi HTI di Riau

Harimau banyak jadi korban karena habitat mereka terus tergerus. Beginilah kondisi harimau sumatera yang mati akibat jerat di Aceh Timur, Minggu [24/04/2022]. Foto: Dok. Polres Aceh Timur

 

Dalam siaran pers yang diterima Mongabay, baru-baru ini, BBKSDA Riau menyatakan, segera koordinasi dengan manajemen perusahaan untuk upaya komprehensif konservasi harimau di konsesinya.

Dalam diskusi mitigasi konflik harimau-manusia yang ditaja Perkumpulan Elang, 6 September lalu, Kepala BBKSDA Riau Genman Suhefti Hasibuan, menyebut, pekerjaan konservasi tak bisa sendiri. Ada batasan kewenangan hingga perlu keterlibatan seluruh pihak, termasuk masyarakat.

Wilayah kerja BBKSDA Riau, katanya, hanya meliputi cagar alam, suaka margasatwa, taman wisata alam dan taman buru. Di luar kawasan itu, perlu keterlibatan instansi lain terutama dalam mengambil kebijakan atau keputusan merespon konflik satwa dan manusia itu.

Menurut catatan BBKSDA Riau, satwa dilindungi, terutama gajah dan harimau, justru lebih banyak di luar kawasan konservasi. Konflik satwa dan manusia mayoritas terjadi di luar kawasan pelestarian alam.

Tak hanya soal ruang lingkup kerja. Genman juga curhat, mengenai sumber daya petugas tak sebanding mengurusi wilayah kerja yang mencakup Riau dan Kepulauan Riau. Kantor-kantor penghubung BBKSDA Riau di tingkat paling bawah pun hanya tersedia 11 resort. Tiap resort mengurusi lebih dari satu kabupaten dengan jumlah personil 5-6 orang.

“Strateginya koordinasi pada semua pihak. Kerjasama menutupi yang bolong. BBKSDA Riau bertanggungjawab atas 432.000 hektar kawasan konservasi. Tidak logis bila dilihat dari sisi ketersediaan jumlah sumber daya personil,” keluh Genman.

 

Proses pencarian Sehat, buruh perusahaan HTI yang kena terkam harimau. Foto: BBKSDA Riau

 

Solusinya?

Menyadari keterbatasan itu, Genman mengusulkan pendekatan bentang alam guna menyelamatkan satwa terancam punah seperti harimau. Pasalnya, penyebab konflik satwa dan manusia karena tekanan habitat yang terpotong-potong (fragmentasi), perburuan, perubahan perilaku satwa dan juga karena masalah ruang.

Pendekatan inilah memerlukan keterlibatan institusi terkait dalam mengambil peran dan kewenangan masing-masing. “Konflik terjadi karena pemanfaatan ruang yang sama, dalam waktu bersamaan, untuk tujuan berbeda.”

Saat ini, ada enam kantong harimau di Riau, yakni, Senepis, Bukit Tiga Puluh, Rimbang Baling, Semenanjung Kampar, Tesso Nilo dan Kerumutan. Genman yakin, kalau habitat satwa itu diatur dan dikelola dengan baik secara bersama, konflik pasti bisa teratasi. Kalau tidak, akan lebih banyak kejadian ke depan.

“Tidak ada diantara kita ingin dituduh oleh generasi ke depan, tidak bertanggungjawab karena tidak bisa meneruskan titipan dari pendahulu, untuk anak cucu akan datang,” kata Genman.

 

Evaluasi perizinan

Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif Walhi Riau, mendukung Genman. Upaya ini harus didahului dengan mengevaluasi perizinan. Guna meninjau ulang kesesuaian eksisting di lapangan dengan fungsi atau ciri khas ekosistem suatu bentang alam. Kalau tidak, konsep itu bohong belaka.

Sejak 2018, terjadi 11 konflik harimau dan manusia di Riau. Sembilan di konsesi perusahaan.

“Fakta ini tak mengherankan. Karena lokasi kejadian memang satu kesatuan dengan home range harimau yang makin menyempit oleh kegiatan ekstraktif. Hutan alam tersisa di sekitar konsesi harus diselamatkan,” kata Okto.

Konflik satwa dan manusia terus terjadi, kata Okto karena ada beberapa penyebab, seperti nihil tindakan serius pasca kejadian, tak ada pernyataan maaf dan pertanggungjawaban serta tak ada pihak yang dihukum atas kasus itu.

Okto usulkan, kejahatan lingkungan yang salah satu menimbulkan konflik harimau dengan manusia, harus masuk kategori kejahatan luar biasa. Sebab, dampak lain juga merenggut kenyamanan dan perasaan damai warga yang tinggal di sekitar wilayah kejadian.

Fakta ini, katanya, berkaitan dengan surat Kepala Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran kepada Bupati Indragiri Hilir, pada 2019. Tahun itu, ada tiga orang meninggal diterkam harimau dalam waktu yang tidak begitu lama. Masyarakat resah dan ketakutan keluar rumah apalagi mencari nafkah, hingga meminta pemerintah ambil tindakan.

“Menjadikan kasus lingkungan hidup sebagai kejahatan luar biasa, supaya ada penanganan yang luar biasa juga. Penegakan hukum terpadu harus dikuatkan kembali,” kata Okto.

Solusi jangka panjang, katanya, harus ada penyelidikan terkait pertanggungjawaban perusahaan dan mendorong pemerintah evaluasi izin lingkungan pemegang konsesi.

Senada diutarakan Boy. Pemerintah, katanya, harus cabut atau ciutkan izin perusahaan. “Review itu harus tegas. Kalau tidak, tahun depan kita akan terus mendiskusikan hal sama.”

Sejak terbit UU Cipta Kerja, katanya, penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan pakai pendekatan ultimum remedium. Hukum pidana jadi upaya terakhir. Hal ini, katanya, sulit mendorong kejahatan lingkungan jadi extra ordinary crime.

 

Ketika habitat harimau jadi perizinan, evaluasi terhadap perizinan pun perlu dilakukan guna menjaga kehidupan satwa langka dilindungi tak punah. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Meski begitu, dia optimis, karena pemerintah berkewajiban menyediakan lingkungan hidup sehat, dan aman bagi warga. Pasalnya, korban konflik harimau dan manusia selalu pekerja, keluarga maupun masyarakat sekitar yang sehari-hari mencari nafkah. Sedangkan pemilik perusahaan, tak mengalami risiko karena hidup jauh dari lokasi.

Okto juga mengaitkan FoLU Net Sink untuk pengendalian perubahan iklim dengan aksi mitigasi guna mendorong penguatan habitat satwa. Salah satunya, melalui konservasi keanekaragaman hayati meliputi konservasi tumbuhan dan satwa liar; pelestarian dan perlindungan habitat; hingga pelibatan masyarakat lokal dan mengarusutamakan kearifan lokal.

Jasmi, Deputi Perkumpulan Elang, menyambut solusi terakhir dari Okto. Katanya, bentang alam Semenanjung Kampar dan Kerumutan, dua dari enam habitat satwa endemik di Riau, termasuk harimau Sumatera, merupakan peluang dan kontribusi Riau dalam menurunkan emisi gas rumah kaca. Hal ini, katanya, sejalan dengan target pemerintah 2030.

“Ini sekaligus menjawab masalah fragmentasi habitat satwa. Solusinya, perlu perluasan kawasan konservasi dengan cara merehabilitiasi hutan yang rusak.”

Exit mobile version