Mongabay.co.id

Was-was Industri Nikel Hancurkan Alam dan Kehidupan di Sagea

 

 

 

Telaga Legaelol berair jernih dengan tepian bersabuk pepohonan nan hijau. Hutan dan kebun-kebun warga terlihat begitu rimbun. Sungguh menyegarkan mata. Pemandangan surgawi ini ketika alam Sagea dan Kiya, Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara, masih aman tak terganggu. Kini, air jernih itu sudah bercampur dengan berwarna kecoklatan dan keruh. Sudah masuk tambang nikel di sini, yang berencana bikin pabrik smelter.

Warga Desa Sagea dan Kiya, Weda Utara, Halmahera Tengah, mulai resah dan khawatir alam mereka yang indah dan asri perlahan rusak. Para pemuda pun protes perusahaan tambang nikel, PT First Pacific Mining (FPM), pada akhir Agustus lalu. Mereka membangun gerakan Selamatkan Kampung Sagea dan mendesak pertambangan nikel yang juga akan membangun kawasan industri setop operasi.

Warga Sagea dan Kiya was-was, pertambangan berikut pembangunan kawasan industri akan membawa kerusakan makin besar di hutan dan perkebunan yang mereka olah secara tradisional selama ratusan tahun itu.

Warga patut khawatir. Konsesi perusahaan dekat dengan perkampungan. Kalau eksploitasi tidak setop, bukan saja kebun dan lahan warga rusak, Sungai Sageyan, Danau Legaelol dan Gua Boki Maruru di Desa Sagea dan Kiya ikut terancam.

Kawasan ini merupakan bentang karst. Hutan, lahan berada di kawasan karst dengan gua dan mata air yang merupakan sumber kehidupan masyarakat. Ekosistem karst ini juga berfungsi ekologi dan bernilai ekonomi bagi warga. Di danau atau telaga juga gua sekitar merupakan destinasi wisata alam, seperti di Gua Boki Maruru dan sumber air Sungai Sageyen serta Danau Legaylol.

“Ite musti tajaga re tpalihara pnuw re boten e nje. (Kita harus menjaga dan memelihara kampung dan tanah ini),” begitu teriakan mereka kala aksi. Ini merupakan pesan leluhur yang mereka pegang turun menurun.

Perlawanan warga Sagea dan Kiya tak surut. Mereka membentuk Koalisi Selamatkan Kampung (SEKA) Sagea-Kiya, bertahan dan terus berkampanye terkait daya rusak perusahaan asal Tiongkok itu.

“Kami tegas menolak tambang yang akan merusak alam kami,” kata Masri Anwar Santuli, pemuda asal Sagea.

Masri juga dosen Universitas Muhammadiyah, Maluku Utara ini mengatakan, kehadiran tambang di Desa Sagea-Kiya bisa menghancurkan anugerah alam dengan bentang karst yang indah.

“Sungai Boki Maruru dan Danau Talaga Lagae Lol, maupun Gua Boki Maruru. Ini merupakan indentitas masyarakat Desa Sagea Kiya,” katanya.

Danau Talaga Lagae Lol dan Gua Boki Naruru itu, misal, dua andalan orang Sagea Kiya. Hutan dan kebun juga rumah baru berbagai spesies endemik seperti kakatua putih, kakatua hijau, sampai burung taun. Di sana juga perkebunan warga dengan beragam tanaman seperti kelapa, pala, cengkih, dan hutan sagu.

Selain keindahan alam, sungai di sana juga sumber air minum warga. “Sungai Boki Maruru tak hanya indah. Sebagian besar warga di dua desa itu, konsumsi air sungai sebagai air minum, mandi, mencuci pakaian,” katanya.

Dengan kehadiran perusahaan tambang, kata Masri, kemesraan hidup masyaralkat dengan alam itu hilang. “Alam Sagea Kiya hilang. Ruang hidup warga pun makin sempit.”

 

Aksi pemuda Sagea, memprotes perusahaan tambang nikel di kampung mereka. Foto: dokumen Koalisi SEKA

 

Kehadiran tambang nikel bisa menyebabkan warga kehilangan kemadirian pangan seperti bercocok tanam, mengolah sagu, memancing ikan jadi sulit. “Kehadiran pertambangan mala petaka bagi Desa Sagea dan Kiya.”

Dia mengingatkan pemerintah dari level desa, kabupaten, provinsi sampai pusat agar peka terhadap dampak yang bakal masyarakat rasakan kalau sampai alam Sagea Kiya rusak. Kehancuran alam, kerusakan lingkungan hidup, bisa menyebabkan sumber-sumber pencarian warga bakal hilang, termasuk keperluan maha penting yakni pasokan air bersih bisa terancam.

 

 

***

Bagi warga Sagea dan Kiya, hutan, tanah, sungai, mata air, kebun, dan nilai-adat istiadat merupakan jantung kehidupan generasi ke generasi. Segala sumber hidup yang mereka olah ratusan tahun ini seperti keramat: haram hukumnya bila dirusak.

Kearifan Kampung Sagea dan Kiya harus dipertahankan agar tetap lestari untuk diwariskan kepada anak cucu kelak, bukan dikeruk pertambangan.

“Dalam jangka panjang, semua sumber penghidupan kami ini akan lenyap dan risiko pencemaran air dan udara akan terjadi,” kata Adlun Fikri, Juru Bicara Koalisi Selamatkan Kampung Sagea-Kiyadalam rilis kepada media, Agustus lalu.

Dari peta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), operasi produksi FPM berada di belakang perkampungan warga seluas 2.080 hektar.

Izin tambang ini dapat restu KESDM pada 2018, berlaku sampai 2032. Pertambangan nikel ini akan beroperasi selama satu dekade lebih.

Adlun mempertanyakan tujuan peruntukan lahan di kawasan hutan dan perkebunan warga juga di karst Boki Maruru yang telah ditetapkan sebagai wilayah pengembangan geopark oleh pemerintah daerah.

Konsesi perusahaan itu sebelumnya bekas PT Zong Hai. “Yang izin telah dicabut pemerintah pusat,” kata Adlun.

Masri bilang, secara prosedural, izin tambang FPM cacat hukum karena tak transparan kepada masyarakat. Warga tak pernah tahu menahu akan ada konsesi ini, termasuklah dalam soal pembahasan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Sebelum mulai, kata Masri, seharusnya ada sosialisasi amdal terlebih dahulu, terutama membahas soal dampak, peruntukan smelter sampai pembuangan limbah.

“Itu yang mesti diuraikan. Tapi tidak dilakukan perusahaan.”

Munadi Kilkoda, anggota Komisi III DPRD Halteng, mendesak izin perusahaan ini ditinjau kembali karena konsesi berada di atas kawasan karst. Kalau dipaksakan terbabat tambang, dia khawatir, ekosistem karst hancur dan berdampak buruk pada lingkungan sekitar.

Dia bilang, karst di Sagea ini menciptakan keseimbangan ekologi di wilayah itu. Sumber air yang mengalir di telaga, Gua Boki Maruru dan perkampungan berada di bentang karst.

“Ini kalau jalan itu kecelakaan fatal. Akan menghancurkan kelangsungan hidup masyarakat di Sagea maupun sekitar,” kata Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara itu.

 

Telaga di Sagea, yang mulai berubah warna…dari jernih menjadi kecoklatan…Foto: dokumen SEKA

 

***

Lima hari setelah protes, warga Sagea dan Kiya diundang dalam rapat di Kantor Bupati Halmahera Tengah bertemu perwakilan perusahaan. Waktu itu, Wakil Bupati Halmahera Tengah, Abdurrahman Odeyani, memimpin rapat. Dia didampingi sejumlah pejabat pemerintah daerah dan pemerintah desa maupun kecamatan.

Beberapa pemilik lahan, pemuda dan mahasiswa ikut dalam rapat yang berlangsung sekitar tiga jam. Warga menanti penjelasan mengenai detail amdal perusahaan malah paparkan janji-janji.

“Diuraikan ketika perusahaan itu membangun pabrik atau smelter dari selesai pembebasan lahan, akan membuat rumah ibadah, bikin jalan, pengembangan ekowisata dan segala macam,” kata Masri.

Pada rapat 29 Agustus itu, Firmansyah, mewakili FPM memaparkan perizinan dan rencana pembangunan industri pengolahan nikel.

Di kawasan industri FPM akan dibangun pabrik pengolahan biji nikel sebesar 160.000 ton, beserta sarana pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara berkapasitas 750 MW hingga dermaga dengan kapasitas 50.000 ton.

Peruntukan kawasan industri untuk pabrik memakai lahan seluas 1.000 hektar. Jarak dengan Sungai Sagea dan Danau Legaylol sekitar 500 meter.

Dia mengkalim, perusahaan memiliki amdal sejak 2018 dan memastikan lingkungan aman. Perusahaan, katanya, akan melakukan pengembangan bagi masyarakat dan destinasi wisata.

 

Telaga Legaelol berair jernih, sebelum terganggu cemaran dari nikel mentah. Foto: SEKA

 

Saat itu, pemerintah daerah turut mengafirmasi penjelasan perusahaan. Pemerintah daerah justru menyarankan masyarakat menerima pembangunan kawasan industri, soal pengawasan lingkungan dan perlindungan Gua Boki Maruru dan Danau Legaylol akan diatur belakangan.

“Bukannya mengakomodir tuntutan masyarakat, malah meminta agar warga memanfaatkan kehadiran perusahaan untuk mendorong ekonomi lokal.”

Abdurrahim Odeyani, Wakil Bupati Halteng, dikutip HalmaheraPost, mengatakan, warga menginginkan evaluasi dokumen amdal FPM agar bisa penyesuaian dengan kondisi alam.

Rahim menyimpulkan, tuntutan warga hanya dua yakni amdal perusahaan harus addendum dan menjamin dua destinasi wisata, Talaga Yonelo dan Goa Boki Maruru.

“Itu yang kami minta solusi ke perusahaan agar konsesi mereka harus dibuat semacam tanggul agar pada saat musim hujan tidak ada sedimen jatuh ke sungai dan itu mereka (perusahaan) bersedia.”

Penjelasan Wakil Bupati Halteng ini bertolak belakangan dengan keterangan Koalisi Selamatkan Kampung Sagea-Kiya. Para aktivis lingkungan dan warga ini meneguhkan sikap menolak rencana perusahaan membangun kawasan industri untuk pabrik smelter.

Bagi mereka, banyak bukti kehadiran industri tambang membawa kerusakan ekosistem dan menyusahkan kehidupan warga.

Koalisi juga menegaskan, solusi pemerintah berpotensi mempercepat kerusakan. Setelah rapat ini, warga berkukuh menyatakan tidak ada negosiasi dan kompromi.

“Kami tetap mempertahankan bentang alam karst di Desa Sagea dan Kiya atas jasa layanan alam, yang saat ini dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai solusi pembangunan berkelanjutan,” kata Koalisi SEKA.

 

 

 

 

Exit mobile version