Mongabay.co.id

Berharap G20 jadi Momentum Kuatkan Aksi Iklim

 

 

 

“Recover together. Strong together.” Begitu tagline G20 yang tertera di spanduk-spanduk di berbagai tempat. Tahun ini, Indonesia sebagai presidensi G20, yang akan berlangsung di Bali, pada November nanti. Berbagai kalangan berharap, pertemuan negara-negara maju ini bisa jadi momentum menguatkan aksi serius buat iklim. Begitu juga Indonesia, diharapkan tak hanya bikin komitmen iklim tetapi kebijakan maupun implementasi di lapangan sejalan.

Teguh Surya, pendiri Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, penting bagi Indonesia menyampaikan perkembangan komitmen iklim pada pertemuan G20 nanti. Indonesia, menargetkan berkontribusi kurangi emisi karbon sebesar 29% pada 2030. Indonesia juga punya komitmen net zero emission pada 2060.

Meskipun sudah ada komitmen, katanya, namun dari analisis Yayasan Madani Berkelanjutan, masih banyak ketidaksinkronan antara komitmen dan yang terjadi di lapangan. Sejauh ini, katanya, perekonomian Indonesia masih bergantung pada ekstraksi sumber daya alam.

Indonesia masih punya waktu untuk berbenah, kata Teguh, antara lain, dengan cara mencegah deforestasi terjadi sekecil apapun. Hutan-hutan yang terlanjur beralihfungsi harus diselamatkan dengan aturan hukum yang kuat mengatur juga transisi dari energi kotor ke energi bersih.

Meskipun begitu, dia ingatkan, regulasi dan pengawasan di Indonesia masih lemah, ditambah lagi birokrasi ribet, plus tarik menarik kepentingan hingga celah korupsi masih besar.

 

 

Baca juga: Presidensi G20, Bagaimana Keseriusan Indonesia Lakukan Transisi Energi?

Hutan di Kabupaten Jayapura, Papua yang terbabat perusahaan untuk bikin kebun sawit. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Tak hanya dari sisi pemerintah, kata Teguh, dalam menuju pembangunan berkelanjutan, perusahaan punya peran penting, seperti upaya menuju nol deforestasi dengan mengedepankan prinsip-prinsip berkelanjutan dan penghormatan hak asasi manusia (HAM).

“Persaingan di pasar global ini sangat ketat hingga bisnis tidak punya pilihan selain bertransformasi agar bisa menyesuaikan dengan tuntutan pasar.”

Sekarang, katanya, tinggal melihat sejauh mana komitmen pemerintah dalam mengedepankan keberlanjutan terutama di tengah Presidensi G20 Indonesia.

“Seharusnya, pemerintah bisa membuktikan kontribusi dalam prinsip berkelanjutan dengan mendorong implementasi nyata menuju nol deforestasi,” katanya, dalam rilis Walhi dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Uslaini Chaus, Kepala Divisi Perlindungan dan Pengembangan Wilayah Kelola Rakyat Walhi Nasional, menyoroti soal izin-izin bisnis ekstraktif yang terus keluar. Dia menuntut, pemerintah tak lagi mengeluarkan izin baru di kawasan hutan seperti jadi tambang, pekerbunan sawit atau hutan tanaman industri (HTI) dan lain-lain.

Dia juga mempertanyakan proyek pengembangan pangan skala besar (food estate) pemerintah. “Membangun kedaulatan pangan tidak bisa dengan cara mengorbankan kawasan hutan yang jadi sumber penghidupan masyarakat lokal dan adat serta ekosistem satwa dan fauna,” katanya, seraya menekankan, perlu intensifikasi lahan pertanian.

Walhi mendukung pembuatan kebijakan untuk mencapai nol deforestasi dan mendorong penegakan hukum terhadap perusahaan yang mengeksploitasi alam.

Perusahaan, katanya, wajib mencari area pengganti kawasan hutan yang mereka eksploitasi. Bila bekas tambang, katanya, perusahaan tambang wajib mereklamasi setelah penambangan.

Sebuah penelitian terbaru dari Accountability Framework Initiative (AFI) dan CDP berjudul “Dari Komitmen Hingga Tindakan Nyata: Langkah-Langkah Penting untuk Mewujudkan Rantai Pasok Bebas Deforestasi” mengungkapkan, perusahaan diprediksi bisa rugi hingga US$80 miliar jika tidak mengatasi risiko deforestasi pada rantai pasoknya.

 

Spanduk G20 ada di berbagai penjuru kota-kota besar. Apakah pertemuan ini bisa diharapkan membahas aksi-aksi demi kebaikan iklim? Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Edvin Aldrian, Profesor Meteorologi dan Klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), bilang, Indonesia bisa memanfaatkan momentum Presidensi G20 dengan baik.

“Dengan posisi sebagai Presidensi G20, saya berharap Indonesia bisa mendorong pergerakan bilateral untuk nol deforestasi, pemanfaatan energi berkelanjutan, dan hal-hal lain yang menjadi permasalahan global,” katanya yang juga sebagai Intergovernmental Panel on Climate Change WG 1 Vice Chair ini.

Dia mendorong pemanfaatan energi terbarukan dari gelombang laut, angin, dan matahari. Edvin berharap, suatu hari nanti, perusahaan-perusahaan di Indonesia bertransformasi dengan menggunakan energi terbarukan.

“Menurut saya, sudah saatnya perusahaan mengubah model bisnis agar lebih berkelanjutan,” katanya.

Dia juga menekankan soal pola konsumsi menjadi kunci penting dalam industri, berkaitan dengan keberlanjutan alam dan keseimbangan iklim.

Uli Artha Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Walhi Nasional mengatakan, perlu ada batasan konsumsi supaya ada keberlanjutan ruang hidup yang lebih aman. Bila tidak ada batasan konsumsi, katanya, bahaya akan datang ketika alam sudah tak bisa lagi memberikan perlindungan atau jadi ruang hidup bagi manusia.

“Yang jadi pertanyaan adalah, ini untuk memenuhi konsumsi siapa? Kemudian apakah mempertimbangkan daya dukung dan daya tamping lingkungan?” katanya.

Uli mengatakan, tanggung jawab membenahi bumi, menurunkan emisi karbon, menanggulangi perubahan iklim, adalah tanggung jawab semua negara. Terlebih negara maju antara lain yang terlibat dalam G20, katanya, mereka punya tanggung jawab terbesar.

 

Telaga Legaelol berair jernih di Sagea, Halmahera, sebelum terganggu cemaran dari nikel mentah. Apakah pembangunan berkelanjutan kalau ekstraksi kekayaan alam jadi andalan? Foto: SEKA

 

Bentuk pertanggungjawaban itu, katanya, bukan sekadar memberikan bantuan terhadap negara-negara berkembang tetapi harus mengubah pola konsumsi mereka. Karena untuk memenuhi konsumsi mereka itulah, katanya, mengorbankan banyak hal di negara-negara berkembang.

Dia contohkan, masalah energi, selalu ada kampanye beralih dari energi kotor ke bersih, pakai transportasi berbasis listrik hingga konsumsi listrik tinggi.

“Nah, di balik konsumsi listrik tinggi itu ada wilayah-wilayah yang harus dihancurkan untuk diambil nikelnya,” katanya, seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.

Di Eropa, katanya, sedang menyusun proposal tentang beberapa komoditas tertentu yang harus bebas deferostasi dan degradasi hutan. Di Eropa, kata Uli, hal semacam itu bukan sekadar kerja-kerja sukarela tetapi wajib karena diatur Undang-undang.

Negara-negara lain, harusnya seperti itu, diperkuat dengan jaminan bahwa komoditas tak melanggar hak asasi manusia dan tidak merusak lingkungan.

Bicara Indonesia, katanya, sebenarnya punya komitmen menurunkan emisi karbon. Sayangnya, ada kebijakan-kebijakan yang kontradiktif seperti UU Cipta Kerja (omnibus law) kendati masih berstatus inskonstitusional bersyarat.

Roh UU Cipta Kerja adalah investasi, hingga berpotensi mengorbankan banyak hal seperti hutan, lahan gambut, masyarakat dan lain-lain.

“Mana mungkin bisa menurunkan emisi kalau tetap investasi besar-besaran tanpa memandang daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup?”

Data Walhi dalam Indonesia Tanah Air Siapa, dari 53 juta hektar kawasan hutan, 98% dikuasai pemodal. “Saya tidak terlalu yakin emisi itu bisa ditekan kalau tidak ada perubahan serius dan signifikan oleh negara. Bahkan, tak ada kebijakan pro lingkungan dan kepada rakyat belakangan ini.”

Bila harus ada model UU Omnibus Law, katanya, maka basis harus keselamatan rakyat dan lingkungan hidup.

 

Pencemaran yang terjadi menyebabkan penurunan kualitas lingkungan pesisir dan laut. Akibatnya, kelangsungan hidup biota di laut menjadi terganggu. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Kelola laut

Hal yang juga perlu diperhatikan dalam pembahasan di Presidensi G20 adalah masalah laut. Laut juga mempunyai peranan penting dalam menjaga keseimbangan iklim. Indonesia, merupakan wilayah kepulauan.

Kalau melihat pengelolaan laut Indonesia, kata Uli, tak bedanya dengan di darat. Ribuan izin ekstraksi keluar di berbagai daerah.

“Komitmen di dunia internasional tak akan jadi apa-apa kalau tak ada perubahan kebijakan dan kemauan politik kuat dari pemimpin negara untuk mengubah itu.”

Menurut Teguh, laut merupakan persoalan besar tetapi masih minim sorotan. Sebenarnya, Presiden Joko Widodo, sejak awal semacam memberikan arahan cukup kuat, bagaimana laut bisa memanfaatkan laut buat kemakmuran rakyat, dengan menjaga kelestarian. Periode pertama Jokowi, cukup kuat dalam mengawal kelestarian kekayaan laut.

 

Akankah pertemuan G20 bermanfaat dalam mendorong aksi-aksi perbaikan terhadap iklim, atau sebaliknya? Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

*******

Exit mobile version