Mongabay.co.id

Jen Tidore, Pembuat Bubu Ikan Terakhir di Kabau Pantai

 

Hari sudah jelang sore. Jarum jam menunjukan pukul 17.30 WIT. Naim Tidore (60) terlihat sibuk menyiapkan dayung dan perlengkapan lainnya. Sore itu, Naim hendak pergi mengangkat bubu atau igi dalam bahasa lokal Maluku Utara. Igi tersebut telah dipasang tiga hari sebelumnya di laut depan kampungnya.

Naim adalah salah satu nelayan yang masih memanfaatkan Igi sebagai alat tangkap ikan tradisional. Igi masih dipakai sebagian nelayan di Kepulauan Sula secara turun- temurun.

Sedangkan di kampung Kabau Pantai, Kecamatan Sulabesi Barat, Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara, hanya tersisa tiga orang penganyam igi yang tersisa.

Jumat (8/7/2022) sore itu, Naim berangkat mengecek tiga igi miliknya yang telah dipasang di laut dangkal semacam atol atau orang Sula menyebutnya rep, tak jauh dari kampungnya.

Dengan menggunakan sampan agak besar, dia menuju lokasi dipasangnya igi dengan hati was-was karena laut masih bergelombang tertiup angin musim barat. Gelombang dan arus laut, membuat air menjadi agak keruh.

Kali ini Naim kurang beruntung. Dari tiga igi atau bubu yang dipasang, hanya satu yang ditemukan. Bubu lainnya hilang terbawa arus laut. Dia tetap mencari bubu tersisa di perairan itu ditengah keruhnya air yang menyulitkannya.

baca : Bubu, Alat Tangkap Ikan Tradisional Ramah Lingkungan yang Digunakan Kembali di Flores Timur

 

Naim, nelayan Desa Kabau Pantai, Sulabesi Barat mengangkat bubu, alat tangkap ikan ramah lingkungan. Foto : Gunawan

 

Setelah mencari sekitar satu jam, satu bubu akhirnya ditemukan pada jarak 20 meter di kedalaman 15 meter, tersangkut di sebuah perahu.

Saat bubu ditarik perlahan, terlihat gelembung udara, pertanda ada ikan yang tertangkap. “Gelembung itu pertanda ada ikan di dalam bubu. Tidak sia- sia. Satu bubu tersisa di dalamnya ada puluhan ikan karang ikut tertangkap,” kata Naim.

Benar saja, saat bubu naik ke atas perahu ada puluhan ekor ikang karang, ikan kerapu dan ikan jenis lainnya tertangkap.

 

Pembuat Bubu Terakhir

Naim merupakan satu dari 1.164 jiwa warga desa Kabau Pantai yang bekerja sebagai petani. Profesi nelayan hanya sebagai selingan menangkap ikan untuk kebutuhan makan sehari-hari. Jika ada kelebihan ikan, baru mereka jual.

Di Desa Kabau Pantai, hanya tersisa tiga orang saja yang masih mempertahankan tradisi membuat dan menggunakan bubu. Mereka adalah M Jen Tidore, Sarfudin Tidore dan Bu Naipon yang berusia kisaran 60 sampai 70 tahun. Karena sudah sepuh, saat ini hanya Jen Tidore yang masih bertahan membuat bubu sebagai alat tangkap ikan alternatif di tengah serbuan berbagai jenis alat tangkap ikan modern.

Bubu terbilang ramah lingkungan, karena menggunakan bahan dari tumbuhan yang diambil dari hutan. Bahan untuk menganyam bubu yakni bambu untuk konstruksi bubu, tali atau orang Sula menyebutnya fanel, batang kayu atau orang Sula menyebutnya neafoy dari sejenis mangrove untuk pengait, ijuk dari enau dan rotan yang dijadikan sebagai tali .

“Dulu semua bahan ini saya ambil sendiri di hutan. Tapi sekarang harus ditemani,” katanya.

Jen beralasan masih membuat bubu karena bahan-bahannya mudah didapat di hutan sehingga ramah lingkungan dan tidak perlu dibeli.

“Penggunaan bubu di laut juga tidak merusak karang atau meracuni ikan. Ikan yang ditangkap juga terpilih yang bisa masuk ke dalam bubu saja. Itu kelebihannya,” katanya.

baca juga : Inilah Bubu Apung, Perangkap Ikan Tanpa Merusak Karang

 

Ilustrasi. Seorang nelayan mengangkat bubu dari dasar laut di perairan Laut Sawu di Desa Pamakayo Kecamatan Solor Barat Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Warga setempat juga meyakini ada bahan tertentu, seperti tulang ikan maupun tumbuhan, jika diletakkan di bubu tersebut, akan mendatangkan rezeki ikan dan menangkal sial. Ada tumbuhan yang dipercaya jadi penangkal sial, misalnya daun kapasip, sahat darat dan daun kafia sejenis daun keladi. Ada juga kahea atau tulang ikan yang sudah dikeringkan.

Jen biasanya butuh waktu seminggu untuk merangkai semua bahan itu menjadi sebuah bubu.

Di Kabupaten Kepulauan Sula, hanya ada beberapa desa saja yang masih mempertahankan alat tangkap ini. Selain di Desa Kabau Pantai, Kecamatan Sulabesi Barat, ada juga di desa Fukweu Sanana, Wainin dan Pohea di Kecamatan Sulabesi Selatan.

Meski begitu model anyaman dan bentuknya berbeda. Di Desa Fukweu Sanana, ukuran bubu sedikit kecil dibanding bubu yang dibuat di Kabau Pantai. Sedangkan di Pohea, bubu dibikin lebih kecil lagi karena hanya digunakan untuk menangkap kepiting bakau di kawasan hutan mangrove.

Saat ini animo masyarakat membuat dan memanfaatkan bubu ini semakin sedikit, sehingga penggunaan bubu dikhawatirkan punah. Apalagi ketiga orang pembuat bubu di Desa Kabau Pantai itu sudah sepuh dan anak cucu mereka tidak tertarik meneruskannya. Bila ketiganya sudah tiada dipastikan alat tangkap ini juga akan ikut punah.

“Dua tahun terakhir, saya tak lagi buat bubu sementara anak cucu kami juga tidak ada yang mewarisinya. Bisa saja suatu saat akan hilang warisan budaya nelayan ini,” kata Sarfudin Tidore.

baca juga : Nelayan Gunakan Alat Tangkap Bubu, yang Lebih Mudah dan Ramah Lingkungan

 

Panorama Desa Kabau Pantai, Sulabesi Barat, Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara. Foto : Mahmud Ichi/Mongabay Indonesia

 

Keterancaman bubu sebagai alat tangkap ikan ramah lingkungan dan tradisi bahari di beberapa daerah di Maluku Utara ini diakui oleh dosen dan peneliti pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Universitas Khairun Ternate Maluku Utara Irwan Abdul Kadir, MSi.

Dia bilang di Maluku Utara untuk penggunaan alat tangkap ini makin langka. Selain karena nelayan beralih menggunakan alat tangkap ikan yang lebih modern, juga karena pembuat bubu sedikit dan bahan pembuatannya makin sulit.

Dia contohkan di Pulau Ternate dan Tidore misalnya meski masih ada satu dua nelayan menggunakan bubu tetapi semakin hari semakin ditinggalkan. Sama halnya dengan di kabupaten kota lainnya seperti Halmahera Selatan dan Morotai. Sedangkan di Ternate nyaris sudah tidak ada.

“Di Tidore Utara ada satu desa masih membuat satu jenis bubu yang mirip dengan kalase. Alat ini juga tersisa satu orang yang membuatnya,” jelas Irwan.

Dia mengakui kondisi laut di berbagai wilayah di Maluku Utara yang mayoritas laut dalam menyulitkan nelayan menggunakan bubu untuk menangkap ikan komersial. Sedangkan bubu hanya untuk menangkap ikan di wilayah laut yang dangkal terutama yang punya terumbu karang.

Karena pembuat dan bahan bubu yang semakin jarang, Irwan menyarankan perlu dipikirkan mungkin pembuatan igi secara artifisial. Mungkin dengan bahan plastik. Hanya saja perlu ujicoba memastikan kelayakannya.

 

Exit mobile version