Mongabay.co.id

Menikmati Dampak Ganda Durian: Iya Buah, Iya juga Fungsi Ekologisnya

 

 

Syamsul [52] sibuk melayani pengumpul buah durian di kebunnya, Rabu [07/09/2022] pagi. Sambil tawar-menawar, jemarinya cekatan membersihkan buah berduri itu dari dedaunan yang menempel.

“Lebih 2 juta Rupiah,” ujarnya.

Uang itu diperolehnya dari hasil penjualan hampir 100 buah durian, yang ditunggu jatuh dari pohon sejak sore hingga pagi.

“Ini hasil begadang,” kata Syamsul, masyarakat Nagari Koto Alam, Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat. Nagari adalah unit pemerintahan terendah di Provinsi Sumatera Barat, sama tingkatannya dengan desa dan kelurahan.

Syamsul memiliki 15 pohon durian [Durio zhibetinus]. Saat berbuah, setiap batang menghasilkan 10 buah per hari. Batang-batang itu tumbuh menjulang di antara tanaman lain, termasuk gambir -komoditas tani yang dulu menjadi andalan petani di Kabupaten Limapuluh Kota.

Edi [51], pemilik batang durian di nagari yang sama, mengaku durian sangat membantu perekonomiannya. Setiap musim, ia mendapat uang Rp30 juta. Edi mengatakan, batang durian itu warisan orangtua yang sudah menjadi haknya.

“Kalau tidak ada durian, entahlah,” katanya. Ia menyebut anaknya yang kuliah di universitas di Mesir, membutuhkan biaya besar. Belum lagi, dua anaknya yang mondok di pesantren. “Untuk semua urusan itu banyak dibantu buah durian,” katanya.

Siswati [38], pemilik batang durian lainnya, mengaku tidak merasa capek menunggui 10 batang durian ketika sedang berbuah. Bisa dimengerti, setiap musim durian jatuh, setiap pagi dia  mengantongi uang antara Rp700.000 sampai Rp1 juta. Uang itu diantarkan langsung pengumpul yang membeli di kebunnya.

Roimah [61], yang hanya memiliki tiga batang durian di pekarangan rumahnya, juga mengaku sangat terbantu tanaman itu. “Bisa saja mendapatkan empat buah sehari, sudah menutupi kebutuhan pokok,” katanya.

Baca: Durian Juga Terdampak Perubahan Iklim

 

Durian yang sering disebut rajanya buah. Foto: Pixabay/Public Domain/najibzamri

 

Di nagari, boleh dikatakan tidak ada sebutan “kebun durian,” karena ditumpangsarikan dengan tanaman lain. Ada petani yang menanam batang durian di areal perkebunan gambir, kebun karet, kebun kopi, kebun kakao, kebun kulit manis, dan lainnya. Ada juga yang menanamnya di pekarangan rumah, untuk jumlah tidak banyak.

Menurut Syamsul, bibit durian di kebunnya bukan jenis unggul. Namun, ia punya cara mendapatkan bibit bagus, yaitu batang durian yang menghasilkan buah lezat, biji buahnya dijadikan sebagai bibit. Setelah cukup umur, bibit dipindahkan ke kebun.

“Tidak memerlukan perawatan intensif, hanya perlu dijaga kalau bibit roboh terinjak binatang,” kata Syamsul,. Tanaman durian di nagari tidak disentuh pupuk, organik maupun non, serta  pestisida pembasmi hama. “Setelah sekian tahun, biasanya di atas 15 tahun, sudah berbuah buah,” tambahnya.

Baca juga: Berbagi Durian dengan Gajah Sumatera

 

Buah durian yang dijual di di sisi ruas jalan negara Provinsi Riau dengan Sumatera Barat. Foto: Evi Endri

 

Harga menjanjikan

Sekitar lima tahun lalu, buah durian belum memiliki nilai ekonomi tinggi. Harganya, berkisar Rp3.000 sampai Rp5.000, paling besar dihargai Rp1.0000/buah. Saking murahnya, durian bisa saja diminta langsung ke pemiliknya di kebun.

Belakangan, nilai jualnya melonjak. Ukuran kecil, minimal Rp10.000/buah. Ukuran menengah sampai besar, kisaran Rp20.000 sampai Rp25.000/buah.

Oleh para pedagang pengumpul –yang sebagian besar masyarakat setempat- durian diletakkan di sisi ruas jalan negara Provinsi Riau dengan Sumatera Barat yang melintasi nagari. Dengan membangun pondok sederhana di pinggir jalan, calon pembeli yang dibidik adalah penumpang kendaraan, terutama milik pribadi.

“Biasanya habis, terutama saat libur,” ujar Agus [43], pedagang pengumpul durian. Agus menunggui dagangannya bergantian dengan isterinya, Eni [38].

Selain di pinggir jalan negara, ada juga pedagang yang menjual durian ke sejumlah titik pemasaran, kebanyakan ke Pekanbaru, Provinsi Riau. Selain diantarkan pedagang lokal, tidak jarang sejumlah toke dari Pekanbaru datang langsung ke kebun.

Dengan nilai jual menjanjikan, tidak heran durian menjadi komoditi andalan baru petani setempat, menggantikan gambir, karet, kopi, kakao, dan lainnya yang harganya hampir tidak pernah membaik di pasaran. Gambir misalnya, yang pernah dihargai hingga Rp125.000/kg, belakangan tidak pernah menyentuh angka Rp20.000/kg.

 

Pasangan suami isteri, Agus dan Eni, menjual durian di sisi ruas jalan negara Sumatera Barat-Riau. Foto: Evi Endri

 

Cita rasa tinggi                                                             

Nagari Koto Alam merupakan sentra penghasil buah durian di Kabupaten Limapuluh Kota. Buah durian di sini memiliki cita rasa tinggi, dikarenakan buah yang dijual langsung jatuh dari pohon.

Hasmi [41], toke durian dari Pekanbaru, mengaku setiap musim durian tiba tidak pernah absen  ke Koto Alam. “Buahnya punya cita rasa tinggi, berbeda dari tempat lainnya,” katanya.

Wali Nagari Koto Alam Syahrial Datuk Majo mengaku perekonomian masyarakatnya sangat terbantu dengan buah durian, terutama lima tahun terakhir.

“Banyak masyarakat yang mampu membeli barang-barang non-primer dari hasil penjualannya,” kata Syahrial di kantornya, Kamis [08/09/2022].

Baru sebulan menjabat wali nagari, Syahrial mengaku belum mengetahui persis berapa banyak  batang durian dan berapa tinggi perputaran uangnya.

“Yang bisa saya pastikan, setiap musim durian, perekonomian masyarakat bergerak dinamis,” katanya.

 

Pohon durian dengan perakaran kuat dapat mencegah terjadinya erosi. Foto: Evi Endri

 

Pencegah erosi

Koto Alam, yang tercatat sebagai nagari tertua di Kecamatan Pangkalan Koto Baru, terletak di perbukitan. Luasnya 42,75 km2 dengan penduduk 4.000 jiwa. Letaknya hanya 15 kilometer dari jalan layang Kelok Sembilan.

Bila hujan dengan intensitas tinggi, tidak jarang terjadi longsoran bukit yang menimpa badan jalan. Bila sudah demikian, kemacetan panjang menjadi sebuah keniscayaan yang sulit dielakkan.

Amri [63], tetua kampung, mengatakan pemilihan batang durian sebagai komoditas perkebunan masyarakat didasarkan sejumlah pertimbangan. Selain nilai ekonomis juga dapat menjaga ketahanan tanah dengan meminimalisir longsor.

“Di sini ‘kan sebagian rumah penduduk dan areal perkebunan terletak di pinggang bukit,” ungkap Amri.

Semacam kearifan lokal, menurut Amri, para tetua nagari selalu mengingatkan generasi penerus untuk membudidayakan tanaman durian. Terbukti, hampir tidak ada anggota masyarakat yang tidak memiliki batang durian.

“Ada semacam perasaan rendah diri,” kata Amri, melukiskan rasa hati anggota masyarakat yang tidak memiliki batang durian.

Mengutip Wikipedia, durian merupakan tumbuhan tropis dari wilayah Asia Tenggara. Sebutan populernya adalah King of Fruit atau raja segala buah.

Di Thailand, durian telah dikembangkan secara agribisnis dengan baik sekali. Sementara di Indonesia pengembangan durian secara agribisnis dalam kebun khusus masih terbatas.

Berdasarkan penjelasan dari pertanianku.com, pohon durian berukuran besar, tingginya dapat mencapai 30 m. Letak daun berhadapan pada tangkai. Pertumbuhan cabang cenderung ke atas [vertikal], namun, cabang primer di bagian bawah pohon cenderung ke samping [horizontal].

“Pohon durian mempunyai akar tunggang dan akar samping yang kuat dan dalam. Perakaran seperti ini sangat baik untuk mencegah erosi lereng,” jelas tulisan tersebut.

 

* Evi Endri, aktif sebagai jurnalis di Koto Alam, Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Tertarik menulis isu lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat.

 

Exit mobile version