Mongabay.co.id

Inisiatif Petani Siasati Keterbatasan Bibit Kentang di Jawa Timur

 

 

 

 

Kentang, salah satu komoditas andalan petani di Pegunungan Bromo, tak terkecuali Pasuruan, selain kubis, wortel atau ragam tanaman sayur lain. Bahkan, Kabupaten Pasuruan, ini merupakan penghasil utama kentang di Jawa Timur, seperti di Kecamatan Tosari, Puspo dan Tutur dengan luas lahan sekitar 3.200 hektar lebih. Masalahnya, minimnya ketersediaan bibit unggul membuat petani kerap kelimpungan.

“Ketersediaan bibit unggul masih jauh dari kebutuhan. Banyak masyarakat yang membutuhkan, tapi setok tidak ada,” kata Suud, petani kentang asal Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari.

Selama , ini keperluan bibit dengan cara konvensional, dari umbi kentang hasil panenan walau metode itu justru merugikan petani. Kualitas umbi kentang makin turun bahkan lebih rawan terhadap serangan hama dan penyakit hingga memaksa petani melakukan perawatan ekstra.

Untuk menyiasati, beberapa petani berinisiatif membuat bibit unggul dengan metode stek batang (kultur jaringan), seperti dilakukan Priyono, petani Tengger. Produk benih yang dia beri mana G-Nol itu kemudian distribusikan ke para petani.

 

Bibit kentang dengan metode kultur jaringan. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Lebih produktif

Priyono mengatakan, penggunaan benih konvensional (umbi) tak cukup meningkatkan produktivitas tanaman kentang. Secara kualitas umbi secara turun temurun terus mengalami penurunan.

Karena itu, pemanfaatan kultur jaringan merupakan metode mengembalikan kualitas kentang pada generasi awal tanaman (G-Nol).

Ada dua greenhouse yang dibikin alumni Fakultas Pertanian Universitas Merdeka Pasuruan ini sebagai lokasi pembenihan kentang G-Nol. Masing-masing seukuran 10×20 meter. Untuk satu unit dapat menghasilkan 20.000 benih G-Nol.

Priyono bilang, inisiatif membuat benih G-Nol tak lepas dari budidaya kentang yang menjadi mata pencaharian utama petani di Tengger. Dalam waktu sama, benih berkualitas sulit. Walhasil, mereka terpaksa menggunakan benih yang tak maksimal.

Menurut Priyono, pembuatan benih konvensional dengan menyortir kentang hasil panenan. Umbi berukuran besar, biasa dilempar ke pasar. Yang kecil, disimpan sampai muncul mata tunas.

Kan yang besar dijual ke pasar. Yang kecil-kecil dipakai bibit. Begitu seterusnya. Padahal yang seperti ini jelas mempengaruhi kualitas hasil panenan. Produktivitas juga makin menurun. Selain itu, lebih rawan terhadap penyakit.”

Dengan bibit umbi, rerata produktivitas kentang hanya 10-15 ton per hektar. Dengan hasil kultur jaringan, bisa mencapai dua kali lipat, 20-25 ton setiap hektar.

Saat ini, Priyono baru memiliki dua greenhouse masing-masing menghasilkan 20.000 benih kentang G-Nol. Jumlah ini masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan petani kentang di lereng Pegunungan Tengger. Satu green house, hanya cukup untuk memenuhi satu hektar lahan.

 

Bibit kentang lewat kultur jaringan ini hasilkan panen lebih besar karena dikembangkan dari umbi berkualitas. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

***

Metode kultur jaringan untuk mengembalikan jaringan benih pada kondisi semula (G-Nol). Dengan begitu, benih lebih tahan terhadap penyakit dan produktif. “Dari satu tanaman, bisa jadi beribu-ribu tanaman,” kata Priyono.

Proses perbanyakan diawali dengan mengambil meristem pada umbu kentang dengan ukuran 0,1-0,5 milimeter. Karena ukuran sangat kecil, pengambilan dengan alat bantu kaca pembesar (mikroskop).

Selanjutnya, meristem yang didapat diaklimatisasi selama dua bulan sampai muncul tunas. Untuk memastikan benih steril dari penyakit, seluruh proses di ruang tertutup (laboratorium).

Setelah itu, pindah ke green house selama dua bulan guna perbanyakan melalui sambung batang (stek). Sekitar empat bulan kemudian, benih siap disebar ke lahan petani.

Priyono menyebut, seluruh rangkaian pembuatan benih itu memakan waktu 1, 5 sampai dua tahun. Untuk panen, bergantung varietas. Rata-rata 100–120 hari. Juga bergantung pada kondisi lahan.

Pada dataran medium, masa panen biasa lebih cepat ketimbang dataran lebih tinggi. Di Tosari, Pasuruan, misal, rata-rata empat bulan panen. Di Ranupane, Lumajang, lima bulan, jadi lebih lama.

Selain lebih tinggi, kondisi suhu juga lebih dingin. “Makin tinggi lahan, makin lama masa panen, karena makin dingin. Kentang ini kan butuh sinar matahari lebih banyak,” katanya.

Menurut Priyono, pengetahuan itu didapat setelah mengikuti pelatihan Dinas Ketahanan Jawa Timur.

 

Priyono, kembangkan bibit kentang dengan setek, guna membantu penyediaaan bibit berkualitas bagi petani. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Perubahan iklim

Tak hanya kesulitan bibit, petani juga hadapi persoalan cuaca tak menentu dan kualitas tanah menurun. kesulitan Kariadi, petani Tosari mengatakan, budidaya kentang saat ini lebih sulit ketimbang satu atau dua dekade lalu. Perubahan iklim dan kualitas tanah makin menurun dia nilai menjadi penyebab.

“Budidaya kentang ini sudah bertahun-tahun. makin lama kualitas tanah makin berkurang,” katanya, juga sesepuh adat Tengger ini. Situasi itu diperparah kondisi iklim yang tak menentu.

Intensitas hujan belakangan ini menyebabkan tanah lapisan atas (top soil) banyak terbawa hujan. Akibatnya, petani dipaksa melakukan perawatan ekstra agar kentang tetap tumbuh baik. Sekalipun produktivitas tidak bisa kembali seperti dulu.

Sulistiyoningsih, pakar budidaya holtikultura Universitas Merdeka Pasuruan, mengatakan, secara umum, ada dua cara mengembangbiakkan tanaman, secara generatif dan vegetatif, yang masing-masing memiliki keunggulan.

“Nah, metode generatif, seperti melalui biji-bijian jelas lebih mudah. Kelemahannya, makin lama, kualitas makin turun (degradasi).”

Sebaliknya, metode vegetastif, seperti pemanfaatkan kultur jaringan, kualitas benih bisa lebih terjamin. “Meski lebih ribet.”

Dia bilang, dari sisi harga, benih hasil pengembangan kultur jaringan lebih mahal ketimbang konvensional. Dari sisi ketahanan terhadap serangan penyakit dan produktivitas, lebih terjamin.

“Satu benih, bisa Rp2.500. Kalau benih lokal, cuma Rp25.000 per kilogram, nanti bisa dipotong-potong untuk ditanam. Tapi kan tidak tahu mana yang berkualitas dan yang tidak,” katanya.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur (BPTP) menyebutkan, sentra produksi kentang di Pasuruan tersebar di tiga kecamatan di lereng Pegunungan Tengger, Bromo. Rinciannya, Kecamatan Toari 3.000 hektar dan Kecamatan Puspo serta Tutur masing-masing sekitar 200 hetkar.

Selama ini, ketersediaan benih unggul menjadi salah satu kendala pengembangan kentang di Indonesia. Karena itu, pada 2005, BPTP menginisiasi peluncuran varietas kentang unggulan, Granola Kembang sebagaimana SK Menteri Pertanian Nomor: 81/Kpts/SR.120/3/2005.

Merujuk surat keputusan itu, varietas ini memiliki beberapa keunggulan, seperti umur panen relatif singkat, 130-135 hari, lebih tahan penyakit, umbi per tanaman 12-20 buah, hingga produktivitas 38-50 ton setiap hektar.

Kentang berperan penting dalam diversifikasi pangan non beras karena kandungan karbohidrat tinggi. Erny Ishartati, dkk (2019) dalam laporan penelitian menyebut, berdasar data Kementerian Pertanian, 2014-2018, rata-rata konsumsi kentang terus mengalami peningkatan 13,95 kilogram per kapita setiap tahun.

Salah satu sentra produksi kentang di Indonesia ada adalah Jawa Timur, terutama Pasuruan. Bahkan, kata Erny, kontribusi kentang Pasuruan mencapai 60% dari total produksi kentang di provinsi paling timur di Pulau Jawa ini.

Masalahnya, di tengah tingginya permintaan, kentang justru masih dihantui persoalan klasik, yakni keterbatasan benih berkualitas. “Ketersediaan benih pemerintah hanya 15% dari kebutuhan,” tulis Erny.

Perbanyakan benih melalui stek batang, seperti yang dilakukan Suud bisa menjadi solusi menyiasati keterbatasan benih.

“Karena produktivitas masih rendah, 10-15 ton per hektar. Jauh dari potensi rata-rata yang mencapai 25 ton per hektar atau 90.000 ton per tahun,” tulis Erny dalam riset yang dipublikasikan 2019 itu.

Menurut dia, ada beberapa permasalahan yang jadikan produksi kentang di lereng Pegunungan Bromo, terutama di Pasuruan kurang maksimal. Pertama, ketersediaan benih berkualitas rendah, kedua, jika pun ada, harga relatif mahal. Ketiga, belum ada kemandirian petani untuk produksi benih berkualitas.

Perbanyakan benih melalui stek batang, seperti Priyono bisa menjadi opsi mengatasi keterbatasan benih berkualitas. Respons para petani, lanjut Erny, juga cukup baik lantaran benih dari hasil stek memiliki masa panen lebih cepat ketimbang dari umbi.

 

 

********

Exit mobile version