Mongabay.co.id

Jakabaring, Dulunya Koridor Gajah Sumatera

Anak gajah liar telihat kantong Sugihan-Simpang Heran, Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: Dok. PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa]

 

 

Palembang yang luasnya 40.060 hektar, sebagian besar merupakan lowland. Sebagian wilayahnya pernah menjadi koridor gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus]. Kini wilayah tersebut berkembang menjadi perumahan, perkantoran, dan fasilitas olahraga. Salah satunya Jakabaring.

Jakabaring merupakan kawasan yang cukup dikenal di Indonesia dan Asia. Di wilayah ini terdapat fasilitas olahraga bertaraf international, Jakabaring Sport City [JSC].

Jakaring pernah menjadi lokasi penyelenggaraan PON XVI 2004, SEA Games XXVI 2011, dan Asian Games 2018. Serta, Stadion Gelora Sriwijaya merupakan home base Sriwijaya FC, yang pernah menjadi juara Liga Indonesia [2007], serta juara Indonesia Super League [ISL] pada 2009 dan 2010.

“Tahun 1970-an, gajah masih melintas di kebun dan sawah kami di Jakabaring,” kata Muryati [83], warga Jalan Sentosa, Plaju Ulu, Palembang, Sabtu [17/09/2022].

Muryati merupakan warga di Plaju yang keluarganya memiliki kebun dan sawah di rawa gambut Jakabaring.

“Gajah-gajah itu tidak mengganggu. Mereka hanya melintas dan jika menetap juga sebentar. Gajah tidak makan padi. Yang dimakan itu rumput atau tanaman pisang,” jelasnya.

Rudi [58], warga Plaju, membenarkan adanya gajah di Jakabaring. “Tahun 1980-an masih terlihat. Mereka melintas menuju Mariana dan Sebokor,” kata Rudi, yang saat remaja sering mancing ikan di Jakabaring.

“Gajah-gajah itu tidak mengganggu. Setahu saya tidak ada orang [manusia] yang diserang gajah di Jakabaring,” kata Rudi.

Baca: Jakabaring Palembang, Kisah Perubahan Rawa Gambut dan Harapannya

 

Anak gajah liar telihat di kantong Sugihan-Simpang Heran, Air Sugihan, Kabupaten OKI, Sumsel. Foto: Dok. PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa]

 

Dijelaskan Muryati, selain gajah, di Jakabaring juga melintas harimau. Harimau itu diperkirakan dari arah Muaraenim [dataran tinggi] menuju Air Sugihan atau Pampangan. “Rasanya tidak pernah terjadi, ada manusia diserang harimau. Memang dulunya masih ada rusa yang menjadi buruan harimau di Jakabaring,” jelasnya.

Selain gajah dan harimau, di Jakabaring yang merupakan kawasan rawa gambut adalah habitat buaya muara, beruang madu, dan beragam jenis burung.

“Hutan habis, rawa ditimbun dan dijadikan lokasi perumahan, perkantoran, dan fasilitas olahraga, mungkin yang menyebabkan tidak lagi ditemukan gajah, harimau dan buaya,” ujar Rudi.

“Seingat saya, dulunya memang sering ditemukan kawanan gajah di sini [Jakabaring]. Tahun 1980-an masih terlihat,” kata Sukarni, warga Jakabaring Palembang.

Dijelaskan Yudhy Syarofie, seorang peneliti tradisi dan budaya di Palembang, pada masa Kesultanan Palembang, wilayah pinggiran Palembang yang masih berupa hutan rawa gambut merupakan habitat gajah, harimau, buaya, dan satwa lainnya.

“Termasuk wilayah Jakabaring, yang dulunya tidak pernah dijadikan pemukiman,” katanya.

Namun, sejalan dengan perkembangan Kota Palembang, terutama munculnya permukiman dan perkebunan baru, hutan rawa gambut tersebut hilang, dan bersamaan itu sulit ditemukan gajah dan harimau.

“Dari beberapa catatan sejarah yang saya ketahui, tidak ada konflik manusia dengan gajah dan harimau. Termasuk pula, tidak ada tradisi yang menjadikan gajah dan harimau sebagai objek peburuan atau lainnya,” kata Yudhy.

“Pada masa Kesultanan Palembang, manusia di Palembang hidup damai dengan gajah dan harimau, termasuk dengan buaya,” katanya.

Baca: Apa Kabar Bukit Barisan Sebagai Benteng Ekologi dan Budaya?

 

Kawanan gajah di wilayah jelajah Air Sugihan. Foto: Dok. PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan dan Satwa]

 

Reklamasi

Jakabaring dulunya lanskap rawa gambut yang terletak di Palembang Ulu, Palembang, yang diubah atau direklamasi di penghujung pemerintahan Orde Baru. Sebelum direklamasi, Jakabaring dijadikan persawahan pasang surut, perkebunan sayur, dan lokasi pencarian ikan warga.

Pemilik lahan atau yang menggarap lahan, umumnya warga yang menetap di Plaju dan Kertapati Palembang.

Luas rawa gambut Jakabaring yang direklamasi sekitar 2.400 hektar, yang terbentuk karena genangan atau aliran dari anak Sungai Musi di sebelah utaranya atau Sungai Ogan dari sebelah selatan. Beberapa anak Sungai Musi yang berada di Palembang Ulu, seperti Sungai Aur, dulunya bermuara ke Jakabaring.

Lanskap Jakabaring ini juga terhubung dengan kawasan rawa gambut di Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, yang kini kondisinya juga mulai berubah menjadi pertanian dan perkebunan, sehingga hampir setiap tahun terbakar.

Baca: Menjaga Gajah Sumatera Tersisa di Padang Sugihan

 

Salah satu kanal di dekat kompleks olahraga Jakabaring, Palembang. Kanal ini kering saat kemarau. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Berbagai persoalan muncul ketika proyek ini dijalankan awal 1990-an. Mulai dari permasalahan ganti rugi lahan, pelanggaran HAM, hingga terkait hilangnya kawasan resapan air sehingga Palembang Ulu mengalami banjir dan kekeringan hampir setiap tahun.

Organisasi masyarakat sipil yang mengadvokasi reklamasi Jakabaring di antaranya Walhi Sumsel hingga Serikat Petani Indonesia [SPI] bergerak beberapa bulan setelah jatuhnya Soeharto pada 1998.

Protes itu tidak menghentikan proyek. Tumbangnya Soeharto sebagai Presiden Indonesia pun tidak mampu menghentikan reklamasi Jakabaring. Kawasan itu setelah menjadi perumahan, pasar, sarana olahraga, pusat kesenian dan pariwisata, berikutnya dibangun jalan layang dan stasiun LRT, serta sejumlah mall dan hotel.

Saat ini, sejumlah rumah panggung berdiri di sepanjang Jalan Gubernur Ahmad Bastari di atas lahan yang belum ditimbun dan didirikan bangunan permanen. Lahan rawa ini akan tergenang air saat penghujan.

Di sisi lain, Jakabaring memiliki sejumlah taman, dan banyak pohon di sepanjang jalan, sekitar venue, sehingga menjadi lokasi favorit warga Palembang untuk berwisata dan berolahraga pagi dan sore hari.

Baca juga: Ribuan Tahun Peran Gajah Membangun Peradaban Sumatera

 

Warga Palembang memanfaatkan Jakabaring yang lebih asri dibandingkan wilayah lain di Palembang untuk olahraga. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tersisa

Saat ini tidak ada kawasan di sekitar Palembang yang masih menjadi habitat maupun koridor gajah dan harimau.

Wilayah lowland di Sumatera Selatan yang masih ditemukan gajah dan harimau adalah Sembilang, Air Sugihan, Sebokor, Cengal, dan Tulung Selapan.

Hanya, di Sembilang ditemukan harimau, tapi tidak ditemukan lagi gajah. Sementara di Padang Sugihan, Sebokor, Tulung Selapan, dan Cengla, masih ada gajah. Tapi, sudah lama tidak ditemukan harimau.

Berdasarkan Identifikasi dan Pemetaan Kantong-Kantong Habitat Gajah dan Harimau di Sumatera Selatan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Sumatera Selatan, bekerjasama dengan Fakultas Matematika dan Ilmi Pengetahuan [MIPA] Universitas Sriwijaya dan BIOCLIME pada 2016, Padang Sugihan merupakan kantong gajah di Sumatera Selatan.

Lanskap Padang Sugihan luasnya sekitar 600-an ribu hektar, merupakan habitat gajah sumatera  terbesar di Sumatera Selatan. Populasinya mencapai 127 individu. Lanskap ini terdiri HTI [Hutan Tanaman Industri] berupa kebun akasia, hutan rawa gambut, perkebunan sawit, dan pertanian masyarakat.

Terdapat empat kantong gajah di lanskap Padang Sugihan, yakni kantong Cengal, Penyambungan, Sebokor, dan Sugihan-Simpang Heran.

Sugihan-Simpang Heran merupakan kantong terbesar di Padang Sugihan. Populasi gajahnya kisaran 48 individu.

“Berdasarkan kesepakatan pelaku usaha, masyarakat, organisasi konservasi, dan pemerintah, koridor gajah di lanskap Padang Sugihan luasnya mencapai 232.338,71 hektar,” jelas Syamsuardi dari PJHS [Perkumpulan Jejaring Hutan Satwa] beberapa waktu lalu.

 

Exit mobile version