Mongabay.co.id

Untung Ganda Kopi, untuk Ekonomi dan Konservasi

 

Senyum mengembang di raut wajah Hari Jatmiko, 45 tahun. Berkat perawatan yang baik, kopi robusta yang sudah ditanam lima tahun lalu hasilnya memuaskan. Dibandingkan dengan sebelumnya, buah tanaman bernama latin Coffea canephora itu meningkat dua kali lipat.

Sebagai ukuran, di halaman rumahnya seluas 100 meter persegi yang digunakan untuk menjemur itu penuh dengan biji kopi. Padahal sebelumnya hanya setengah.

“Itu baru sekali panen. Dalam semusim, bisa bisa empat kali panen,” ujar pria pecinta kopi tulen itu disela-sela menjemur biji kopi yang sudah setengah kering, akhir Agustus 2022 lalu.

Dalam kesehariannya, bapak dua anak ini menekuni usaha konveksi. Tapi dia juga menanam tanaman kopi yang berbuah lebat di kebunnya. Hal ini karena bibitnya berasal dari sambung pucuk tanaman kopi unggulan. Dengan menggunakan teknik okulasi ini, Miko, sapaan akrabnya merasa terbantu.

Tahun sebelumnya, di lahan dengan keluasan setengah hektare yang digarapnya itu mampu menghasilkan 500 kilogram kopi basah. Setelah disambung pucuk ia memprediksikan hasilnya bisa menanjak menjadi 1 ton.

baca : Bukan Hanya Wisata Religi, Kopi Muria Bisa Jadi Andalan

 

Hari Jatmiko (45), berpose di halaman rumahnya di Gebog, Kudus, Jateng, yang digunakan untuk menjemur kopi. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Laki-laki asal Dukuh Gingsir, Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, mengaku mendapat banyak keuntungan dari usaha tanaman kopi. Misalnya, perawatannya tidak harus setiap hari. Sehingga tidak memerlukan waktu yang intens.

Selain itu, tanaman kopi bisa berumur panjang. Sedangkan buahnya bisa disimpan dengan jangka waktu yang lama. Dengan begitu, seumpama harganya anjlok saat panen raya. Ia bisa menimbun terlebih dulu. Jika harganya sudah mahal baru kopi dijual.

“Tanam kopi ini bisa diharapkan. Ibarat emas, asalkan penyimpanannya bagus bisa juga untuk tabungan,” jelas Miko. Menurutnya, dengan menanam kopi ada dua keuntungan ganda yang didapatkan. Selain untung secara ekonomi, lahan garapannya yang ada di lereng Gunung Muria juga lebih aman dari longsor.

Bagi laki-laki, peran tanaman penaung yang melindunginya dari terpaan angin kencang dan hujan menjadi alasan lain buah dan tanaman kopi bisa meningkat.

baca juga : Petani Kopi Itu Penjaga Lingkungan dan Intelektualitas

 

Sebagian petani beranggapan tanaman kopi lebih menguntungkan secara ekonomi dibandingkan dengan tanaman semusim. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Naik Daun

Di Kabupaten Kudus, kopi tampak sedang naik daun. Kedai-kedai kopi bermunculan di kabupaten berjuluk “kota kretek” ini. Kondisi itu bisa jadi momen bagi warga menanam kopi di antara tanaman jangka panjang atau jangka pendek lain.

Begitu juga sebaliknya, di lahan yang sudah ada tanaman kopinya perlu ditanami pohon keras. Karena selain menghasilkan secara ekonomi, kopi juga bisa jadi tanaman konservasi. Mochamad Widjanarko, Direktur Muria Research Centre saat dihubungi Rabu, (14/09/2022) mengatakan, sejak zaman penjajahan Belanda tanaman kopi sudah ada di lereng Gunung Muria.

Karena dirasa kurang menguntungkan dan banyak penyakit, tanaman yang berasal dari hutan dataran tinggi di Ethiopia tersebut akhirnya ditinggalkan. Para petani kemudian beralih ke pola tanam tanaman musiman seperti jagung, ketela, padi dan sayur-sayuran.

Tetapi dalam lima tahun terakhir, para petani kembali melirik kopi. “Kalau musim kemarau perbukitan itu seperti hutan jagung. Tapi sekarang sudah agak hijau-hijau, pola tanamnya sudah mulai banyak yang berubah,” jelas Widjanarko.

Selain kopi, beberapa petani juga membudidayakan buah-buahan tanaman keras. Dengan adanya perubahan pola tanam tersebut, menurut Widjanarko, kondisi hutan di Gunung Muria juga ikut terjaga.

Hanya ia menyayangkan adanya tanaman kopi di kawasan hutan lindung Gunung Muria. Padahal, seharunya itu tidak boleh. Karena berdasarkan pengertiannya hutan lindung merupakan kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, seperti mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan juga memelihara kesuburan tanah.

Selain itu, hutan lindung di Gunung yang bertipe stratovolcano itu merupakan habitat bagi macan tutul (Panthera pardus). Sehingga jika ditanami kopi, hutan lindung sudah tidak alami lagi. Beda halnya dengan di hutan rakyat maupun hutan produksi.

“Petani juga harus bisa melihat masa depan kopi dalam 5-10 tahun mendatang. Jangan sampai hanya mengikuti tren. Perlu paham keberlanjutannya. Khawatirnya kalau sudah tidak tren nanti ganti tanaman musiman lagi,” pesan pria pengajar Psikologi Lingkungan di Universitas Muria Kudus tersebut.

baca juga : Sabun Kopi, Cara Eka Besse Wulandari Bangkitkan Ekonomi Petani

 

Petani memanen kopi jenis robusta di kawasan hutan Perhutani di kawasan hutan Gunung Muria, Kudus, Jateng. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Perlu Naungan

data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Pemali Jawa Tengah tahun 2007 menunjukkan, kawasan Muria mengalami degradasi dari tahun ke tahun. Total luas kawasan Muria adalah 69.812 hektare.

Terbagi dari hutan di Jepara 21.516 hektare, tetapi 17.954 atau 83 persen diantaranya gundul, termasuk 3.962 hektare hutan lindung. Di Kabupaten Pati 47.338 hektare, tetapi 38.344 hektare atau 81 persen rusak, termasuk .,425 hektare hutan lindung.

Sedangkan di Kabupaten Kudus, 83 persen atau 1.940 hektare hutan rusak, termasuk 54 hektare hutan lindung.

Nur Hamid (48) Kepala Resort Pemangkuan Hutan Ternadi, Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan Muria Patiayam, KPH Pati, mengakui jika ada tanaman kopi di hutan lindung Gunung Muria. Namun, hal itu terjadi di awal era reformasi.

Ketika itu, kerusakan hutan akibat penebangan liar banyak terjadi di berbagai tempat, termasuk hutan di Gunung Muria. Akibatnya kondisi lahan banyak yang kritis. Sebagian warga kemudian memperluas tanaman kopi di lahan tersebut.

Ada juga yang menanam di bawah tegakan pohon kehutanan seperti kaliandra (Caliandra), petai (Parkia speciosa), mahoni (Swietenia mahagoni), dll.

“Kita sering sampaikan ke petani kalau tanaman kopi itu perlu naungan. Sehingga kalau menanam kopi itu jangan sampai menebang pohon tegakan yang masih ada,” ujarnya.

Kopi yang ada di bawah naungan pohon, lanjut Nur Hamid, hasilnya bisa lebih maksimal. Karena udaranya lebih sejuk. Selain itu, juga bisa menyimpan air.

menarik dibaca : Kopi Indonesia, Bukan Hanya untuk Dunia tapi juga Benteng Konservasi

 

Hamparan tanaman kopi yang ada di bawah tegakan pohon keras di lereng hutan pegunungan Muria, Kudus, Jateng. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanaman kopi juga mempunyai fungsi konservasi hampir sama dengan tanaman hutan. Tajuk yang berlapis-lapis bisa melindungi tanah dari tetesan air hujan langsung, sehingga mencegah adanya erosi.

Selain itu, kopi juga mempunyai akar tunggang yang kuat sampai kedalaman 3 meter dan akar lateral hingga meter, dengan ketebalan sekitar 0,5 meter dari permukaan tanah dan membentuk anyaman segala arah.

Bapak empat anak ini juga mengatakan, pihaknya memberi akses kepada masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan dengan pola tanam agroforestry. Itu berlaku untuk di kawasan hutan produksi. Sedangkan di hutan lindung itu dilarang, karena untuk menghindari konflik dengan macan tutul. (**)

 

Exit mobile version