Mongabay.co.id

Praktik Kerja Paksa Terus Hantui Para Pekerja Migran Perikanan Indonesia

 

Praktik kerja paksa diduga sedang dialami para pekerja migran Indonesia pelaut perikanan (PMI PP) yang bekerja di kapal ikan asing (KIA) berbendera Taiwan. Ancaman tersebut terungkap, karena ada sejumlah PMI PP yang berbicara kepada Greenpeace Asia Timur.

Menurut laporan yang dirilis pada 2022 ini, setidaknya ada 10.925 PMI PP yang bekerja di KIA berbendera Taiwan. Mereka yang mendapatkan perlakuan kerja paksa, jumlahnya diperkirakan sebagian besar di antaranya.

Data tersebut dikutip dari Badan Perikanan Taiwan dan disajikan dalam laporan berjudul “Fake My Catch – The Unreliable Traceability in Our Tuna Cans”. Dalam laporan tersebut, dijelaskan bahwa kapal-kapal ikan berbendera Taiwan yang mempekerjakan PMI PP sebagian besar adalah pemasok produk perikanan ke perusahaan Amerika Serikat dengan merek Bumble Bee.

Pasokan tersebut dikirim melalui perusahaan pengolah tuna bernama Fong Chun Formosa (FCF), dan sayangnya kapal-kapal ikan tersebut diduga sudah melakukan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) dan melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam rantai produksinya.

Greenpeace Indonesia yang melansir laporan Greenpeace Asia Timur itu, merinci bahwa saat melakukan pengumpulan data, tim melakukan wawancara dengan 27 awak kapal perikanan (AKP) yang berasal dari sejumlah negara, termasuk sejumlah orang dari Indonesia.

Dari wawancara tersebut, didapatkan informasi bahwa mayoritas pekerja mengalami setidaknya satu indikator kerja paksa yang ditetapkan oleh Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (ILO). Sebut saja, lembur berlebihan, pemotongan upah, dan penyitaan dokumen.

Keterangan tersebut diungkapkan salah satu pekerja berinisial J yang bekerja di KIA Jubilee. Kata dia, sistem kerja di kapal tersebut menerapkan aturan bekerja sedikitnya 16 jam dalam sehari. Bahkan tidak sekali, dia dan teman-temannya bekerja dari pukul 1 siang sampai 5 pagi esoknya.

Selain menemukan fakta dugaan kerja paksa, laporan juga merilis bukti bahwa sistem yang dianut perusahaan Bumble Bee ternyata tidak dapat diandalkan. Sistem bernama Trace my Catch itu diklaim sebagai platform untuk melacak dari mana ikan tuna dalam suatu kemasan ditangkap.

Temuan tersebut diambil dari kode yang ada pada kaleng Bumble Bee yang dijual di negara bagian AS seperti Arlington, Virginia; Washington DC; Durham, Carolina Utara; Chicago, Illinois; dan Kolombia, Maryland.

baca : Kerja Sampai Mati: Siksaan terhadap ABK Indonesia di Kapal Tuna Tiongkok

 

Penelitian Greenpeace menemukan ikan tuna dalam kaleng merek Bumble Bee dibeli dari Harris Teeter di Arlington, Virginia pada 12 April 2022 bersumber dari kapal ikan Da Wang berbendera Taiwan yang dipastikan memiliki indikator kerja paksa oleh US Customs and Border Protection. Foto : Greenpeace

 

Bagi Greenpeace, itu menegaskan bahwa program tersebut hanya sebuah formalitas dan justru dengan sengaja memalsukan transparansi. Diperlukan penegakan hukum yang jelas dan tegas di seluruh negara yang sudah terlibat dalam rantai industri perikanan global.

Misalnya saja, AS sebagai salah satu importir makanan laut terbesar di dunia, Taiwan sebagai salah satu pedagang tuna terbanyak di dunia, dan Indonesia yang banyak mengirimkan ABK migran untuk bekerja di kapal-kapal penangkap ikan.

Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah menyebut kalau laporan yang dirilis pada 1 September itu menegaskan bahwa ada persoalan pelik dalam tata kelola bisnis perikanan secara global.

Laporan tersebut juga mengonfirmasi bahwa masih banyak pelanggaran, terutama praktik IUUF dan perbudakan terhadap para pekerja di atas kapal. Itu menjadi masalah yang belum dipecahkan solusinya sampai saat ini dalam praktik bisnis perikanan global.

“Ini sangat mengecewakan, karena ternyata traceability atau ketertelusuran ikan dan transparansi kapal-kapal penangkap ikan yang memasok perusahaan sebesar Bumble Bee sampai saat ini masih tidak jelas,” ungkap dia belum lama ini di Jakarta.

Tak hanya itu, rasa kesal juga dirasakan oleh dia karena berdasarkan laporan tersebut, hingga sekarang masih banyak PMI PP yang berprofesi sebagai awak kapal perikanan (AKP) dan bekerja di kapal perikanan asing, masih belum menjalankan aturan sesuai standar kerja yang diatur dalam Konvensi ILO 188 (ILO C-188).

baca juga : Perjanjian Kerja Laut dan Ancaman Eksploitasi Kerja di Kapal Perikanan

 

Awak kapal perikanan (AKP) sedang bekerja di sebuah kapal perikanan berbendera Taiwan. Foto : istimewa/Greenpeace

 

Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang berkampanye bersama Greenpeace Indonesia untuk menghentikan perbudakan modern di laut menyebut, laporan ini harus menjadi perhatian juga bagi pemerintah Indonesia.

Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno mengatakan, Pemerintah Indonesia perlu segera meratifikasi Konvensi ILO 188 yang sudah menjadi instrumen internasional dan bisa memperkuat diplomasi Indonesia. Selain itu, juga menjadi perlindungan hukum bagi semua AKP yang bekerja pada KIA ataupun kapal ikan Indonesia (KII).

Sebut saja, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Pelindungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran.

“Itu dalam rangka memperbaiki tata kelola penempatan ABK ke luar negeri,” tegas dia.

Lebih rinci tentang laporan Greenpeace Asia Timur, ada beberapa temuan utama hasil dari investigasi, di antaranya:

  1. Sebanyak 13 dari 119 KIA berbendera dan/atau milik Taiwan yang biasa memasok produk perikanan ke Bumble Bee yang sudah diperiksa dan ditelusuri oleh Badan Perikanan Taiwan dan Global Fishing Watch, diketahui melanggar peraturan perikanan Taiwan. Ke-13 kapal tersebut juga digolongkan dalam daftar pelaku penangkapan ikan dengan cara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUUF).
  2. Sebanyak enam kapal pemasok Bumble Bee dan FFC teridentifikasi melakukan praktik kerja paksa. Keenamnya adalah De Chan No.116, Eagle, Jubilee, Ren Horng Chun No.168, Ren Horng Way No.368, dan Yi Man.
  3. Tangkapan dari kapal Da Wang, yang awaknya didakwa atas tuduhan terkait kerja paksa dan perdagangan manusia. Selain itu, seorang ABK migran meninggal saat bekerja di kapal tersebut karena kecelakaan kerja.

baca juga : Perjalanan Panjang Awak Kapal Perikanan Indonesia Menuntut Hak yang Hilang

 

Kapal Jin Chang No.17 di pelabuhan di Taiwan terkonfirmasi dari hasil penelusuran Greenpeace terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan ilegal (Illegal, Unreported and Unregulated Fishing). Foto : Greenpeace

 

Pemahaman Sama

Pemerintah Indonesia sendiri sudah menyadari akan bahaya yang terus mengintai para PMI PP yang sedang bekerja di kapal perikanan milik negara lain. Untuk itu, penguatan perlindungan pekerja dan ketahanan sektor pengolahan ikan harus terus dilakukan.

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo belum lama ini mengungkapkan bahwa perlindungan yang tepat dan efektif bisa dimulai dengan membangun pemahaman yang sama.

Dasar tersebut bisa menjadi landasan untuk membangun koordinasi dan kerja sama lintas kementerian dan lembaga nasional (K/L) maupun internasional. Itu diyakini bisa menjadi aspek penting untuk mewujudkan perlindungan pekerja di sektor maritim secara optimal.

Dengan menggandeng ILO, Pemerintah juga mengajak semua negara di ASEAN, khususnya Thailand, Filipina, Kamboja, Laos, Myanmar, Vietnam, dan Malaysia untuk ikut melaksanakan perlindungan hukum kepada para pekerja AKP di negara masing-masing.

Kepada perwakilan negara ASEAN yang hadir dalam pertemuan yang digelar di Bali itu, dia mengajak kepada setiap negara untuk bisa melaksanakan ratifikasi empat pilar konvensi utama yang menjadi penyokong sektor perikanan.

Keempatnya adalah Port State Measurement Agreement (PSMA) mengenai pengelolaan ikan untuk mencegah IUUF; Cape Town Agreement (CTA) 2012 mengenai stabilitas dan konstruksi kapal perikanan yang layak, ILO C-188 mengenai pemenuhan hak awak kapal perikanan, dan STCW-F mengenai kualifikasi dan sertifikasi dari awak kapal perikanan.

baca juga : Menanti Ratifikasi Norma Perlindungan bagi Awak Kapal Perikanan

 

Kapal-kapal penangkap ikan yang bersandar di pelabuhan Kaohsiung, Taiwan. Foto : Greenpeace

 

Detailnya, ILO C-188 adalah norma tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan dan disahkan pada 14 Juni 2007 di Jenewa, Swiss. Kemudian, CTA adalah peraturan yang disepakati secara internasional di Cape Town, Afrika Selatan pada 2012 dengan Organisasi Maritim Internasional (IMO) sebagai inisiatornya.

Sementara, Indonesia sendiri sudah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Standar Pelatihan, Sertifikasi, dan Dinas Jaga bagi Awak Kapal Penangkap Ikan (STCW-F) pada 1995. Pengesahan hasil konvensi tersebut diterbitkan melalui Peraturan Presiden RI Nomor 18 Tahun 2019.

Kemudian, ada juga ratifikasi yang dilaksanakan pada 2016 tentang konvensi perjanjian negara-negara pelabuhan untuk tindakan kepelabuhan (PSMA). Dengan ratifikasi tersebut, Indonesia semakin kuat untuk bisa mengawasi pelabuhan dalam mencegah berbagai aktivitas negatif.

Secara resmi, ratifikasi tersebut disahkan Perpres RI 43/2016 tentang Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (Persetujuan tentang Ketentuan Negara Pelabuhan untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur).

Basilio Dias Araujo menambahkan, kemitraan antarnegara bisa menjadi modal yang kuat untuk mengurangi ketidaksetaraan dan mendorong inklusi ekonomi melalui penciptaan lapangan pekerjaan yang layak di sektor perikanan dan industri pengolahan makanan laut.

Dia meyakini, forum regional antarnegara menjadi wadah yang efektif mengatasi kesenjangan di sektor perikanan dan pengolahan ikan. Selain itu, juga untuk membarui komitmen dalam pelindungan yang lebih efektif dan peningkatan ketahanan bagi semua pekerja.

“Utamanya, bagi pekerja paruh waktu, upah rendah, pekerja perempuan, dan pekerja informal di sektor perikanan dan pengolahan ikan. Saya berterima kasih kepada ILO atas dedikasi dan kerja sama yang berkelanjutan dan tetap konsisten,” pungkas dia.

baca juga : Akankah Nasib Awak Kapal Perikanan Mengalami Perbaikan?

 

Ilustrasi. Sebanyak 157 awak kapal perikanan (AKP) asal Indonesia, termasuk dua jenazah yang berhasil dipulangkan oleh Pemerintah Indonesia dari Republik Rakyat Tiongkok pada November 2020. Foto : Dirjen Hubla Kemenhub

 

Direktur ILO untuk Indonesia dan Timor Leste Michiko Miyamoto pada momen yang sama juga berkampanye untuk mendorong negara di dunia mempromosikan migrasi tenaga kerja yang aman dan lingkungan kerja yang layak bagi pekerja di sektor perikanan dan pengolahan ikan.

Dia menyebut kalau negara di dunia selama ini menjadi tujuan penghasil sekaligus pengekspor produk perikanan. Untuk itu, diperlukan kerja sama agar bisa menetapkan visi untuk meningkatkan pelindungan tenaga kerja, terutama di sektor perikanan.

 

22 Orang AKP Indonesia Meninggal

Beberapa waktu lalu, peneliti Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Muh Arifuddin mengatakan bahwa banyaknya kasus dan korban yang menimpa PMI PP, menegaskan bahwa Negara harus segera melakukan perbaikan.

“Ego sektoral masih jadi masalah, tumpang tindih aturan dan minimnya pengawasan. Dalam kondisi ini Presiden Joko Widodo mesti turun tangan ikut menyelesaikan,” jelas dia.

Akibat ketiadaan tindak lanjut dari Pemerintah, setiap tahunnya Negara harus mengurusi ribuan PMI PP yang mengalami masalah di luar negeri. Seharusnya, dengan kejadian yang berulang, Pemerintah bisa melaksanakan mitigasi dengan sangat baik dan detail.

Menurut Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan, perlindungan terhadap PMI PP di luar negeri memang masih harus terus ditingkatkan oleh Pemerintah Indonesia. Upaya tersebut, akan memberikan perlindungan penuh kepada mereka yang sedang mencari nafkah.

Akibat ketiadaan perlindungan yang baik, banyak PMI PP yang akhirnya menjadi korban kerja paksa, HAM, dan perdagangan orang selama bekerja di atas kapal perikanan asing. Tak sedikit, di antara mereka ada yang harus berakhir dengan meregang nyawa.

Dia menyebutkan, sepanjang 2020 saja, ada sebanyak 22 orang AKP asal Indonesia yang meninggal dunia saat bekerja pada kapal perikanan berbendera Cina. Selain itu, ada juga tiga orang yang dinyatakan hilang saat bekerja di kapal ikan Negeri Tirai Bambu.

“Ironisnya, proses hukum kepada pelaku dan ganti rugi berupa pemenuhan hak-hak korban tidak pernah maksimal dilakukan,” ucap dia.

baca juga : Kapan Perlindungan Penuh Awak Kapal Perikanan Indonesia Akan Terwujud?

 

Ilustrasi. Prosesi pelarungan di laut ABK asal Indonesia yang meninggal di salah satu kapal perikanan milik Dalian Ocean Fishing pada Mei 2020. Foto : screenshoot Youtube MBC News

 

Mereka yang meninggal, rata-rata karena sakit, mengalami penyiksaan, kondisi kerja yang tidak layak, dan keterlambatan penanganan. Sementara, fasilitas kesehatan di kapal Ikan Tiongkok diketahui sangat buruk dan mengakibatkan PMI PP yang sakit tidak mendapat perawatan.

Adapun, korban PMI PP tersebut mayoritas bekerja di kapal ikan Tiongkok yang melakukan operasi penangkapan ikan di perairan internasional atau penangkap ikan jarak jauh (distant water fishing).

“Lokus kejadian atau meninggalnya korban terjadi ketika kapal mereka sedang mencari ikan di laut Oman, Samudera Pasifik, Kepulauan Fiji, Laut Afrika, Samudera Hindia, Laut Pakistan dan Australia,” terang dia.

Selain itu, Abdi juga menyebut adanya praktik penyelundupan manusia yang dialami oleh PMI PP. Mereka yang sakit dan meninggal, biasanya dipindahkan ke kapal lain karena kapal tersebut tetap melanjutkan operasi penangkapan ikan.

 

Exit mobile version