Mongabay.co.id

Menyoal Sumber Pangan Lokal dan Kehidupan Petani

 

 

 

 

 

Setiap 24 September, merupakan peringatan Hari Tani Nasional. Bicara petani yang sudah jadi tradisi, dan pekerjaan bergenerasi di negeri ini tak lepas dari masalah. Soal kesejahteraan petani sampai benih, bibit maupun pangan lokal yang seyogyanya begitu kaya tetapi terus tersingkir. Tantangan besar bagi perlindungan keberlanjutan pangan lokal dan praktik agroekologi juga perlu peran serius pemerintah.

Hayu Dyah Patria, peneliti dan ahli teknologi pangan dan pendamping masyarakat dari lembaga Mantasa mengatakan, Indonesia sudah diakui sebagai salah satu negara kaya keanekaragaman hayati. Sayangnya, sampai saat ini, masih bergelut melawan banyak persoalan seperti malnutrisi, obesitas, stunting, gizi buruk dan lain-lain.

Ironis sekali, katanya, ketika mendengar ada kasus kelaparan atau kekurangan pangan di tengah—sesungguhnya—banyak sumber pangan tersedia.

Untuk sumber karbohidrat saja, misal, negeri ini begitu berlimpah dengan banyak umbi-umbian maupun buah seperti pisang atau sukun.

Belum lagi, kata Hayu, kalau bicara pangan tak melulu soal yang ditanam atau budidaya tetapi banyak tumbuhan liar bisa jadi sumber pangan.

Studinya berkolaborasi dengan Food Agriculture Organization (FAO/organisasi pangan dunia), tentang sistem pangan masyarakat adat.

“Komunitas adat, masih mempertahankan atau memanfaatkan tumbuhan liar dalam memenuhi pangan dan gizi mereka,” katanya dalam diskusi virtual bertajuk “Pangan Lokal, Agroekologi, dan Tantangan Keberlanjutan untuk Kesejahteraan Petani,” 9 September lalu.

Dalam diskusi yang diadakan Koalisi Terasi Pangan ini, Hayu cerita tentang persoalan masyarakat adat yang menghadapi masalah ekologis.

Dia contohkan, Masyarakat Adat Tengger, Desa Ngadas, di Malang. Ada beberapa tumbuhan liar dulu bahan pangan, sekarang tak lagi jadi pangan. Salah satu penyebab, pengetahuan tradisional banyak terlupakan di masyarakat.

Desa Ngadas mulai ada sejak 1774. Sepanjang 1774-1982, cara hidup mereka masih berburu dan meramban. Sedikit demi sedikit mulai bertani di alam. Membuka sedikit lahan di hutan, katanya, kemudian menanam jagung putih, ganyong dan beberapa umbi-umbian lain termasuk kentang.

“Menurut mereka, waktu mereka datang itu, kentang hitam dan kentang putih, ukuran kecil-kecil. Kemudian dibudidayakan. Lama kelamaan desa ini berkembang, makin banyak orang   tinggal di desa itu dan berketurunan.”

 

Pisang, merupakan salah satu sumber pangan. Indonesia punya kekayaan beragam jenis pisang. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Pada 1982, kawasan berubah status jadi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Sebelumnya, di sana adalah hutan biasa. Bagi mereka, Gunung Semeru adalah tempat sakral. “Mereka beranggapan dewa-dwi tinggal di Semeru,” katanya.

Ketika jadi TNBTS, berbagai konflik muncul. Masyarakat yang dulu mengandalkan alam untuk pangan, obat-obatan dan bangunan rumah mereka, dilarang masuk hutan. Kemudian mereka mencari alternatif pendapatan untuk pangan dengan bertani kentang. Masa itu mulai 1990-an-sekarang. Kentang dan kubis jadi komoditas andalan.

Ketika menjadi lahan tani kentang, banyak perubahan. Dari segi tanah;, lahan makin lama memburuk karena banyak gunakan pestisida, herbisida, dan pupuk kimia buatan.

Dari segi sistem pangan, mulai berubah drastis. Kalau sebelumnya mereka makan dari hutan dengan kebun hortikultura. Sekarang, mulai makan konsumsi ultra proses seperti mi instan, sosis, ikan kaleng, bakso dan lain-lain.

“Waktu kami ke sana, kami tanya makan yang dari hutan yang dulu suka dimakan hanya bisa sebutkan empat, kemlandingan, ranti, ada dua jamur. Itu terjadi di Masyarakat Tengger di Ngadas,” katanya.

Mulailah kembali mengingatkan kekayaan pangan di sekitar mereka. “Pengetahuan tradisional mereka mulai menurun.”

Saat penelitian, hanya ada satu orang punya pertanian hortikultura yang dipertahankan untuk keperluan upacara. Di lahan itu, ada pohon jarak, jagung putih dan lain-lain. Mayoritas tanaman kentang secara monokultur.

“Sungguh ironi. Mereka sebenarnya sadar, lahan makin rusak. namun sisi lain, mereka meyakini, Bromo dan leluhur mereka tidak akan mengecewakan. Suatu saat, gunung akan meletus dan memberikan limpahan abu vulkanik menyuburkan tanah.”

Dalam masa itu, kata Hayu, sebenarnya banyak bencana ekologis, seperti longsor, gagal panen karena serangga, ketidakseimbangan ekologi dan segala macam.

Keanekaragaman hayati di lahan pertanian pun, katanya, berkurang drastis tergantikan kentang.

Contoh lain terjadi pada Masyarakat Dayak Kanayatin, Kampung Paanyo, Kalimantan Barat. Sampai saat ini mereka masih berburu, dan meramban dan petani ladang. Pda 1980-an,    padi hibrida mulai masuk dan terbentuk sawah basah. Kondisi ini, katanya, menimbulkan masalah, karena sawah basah memerlukan banyak air.

 

Sorgum jenis kwali yang belum dipanen dan bulirnya berwarna kehitaman saat disaksikan di sentra produksi sorgum di Dusun Likotuden, Desa Kawalelo, Kabupaten Flores Timur, NTT. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Sekarang, mereka menghadapi masalah air. Tidak ada irigasi hingga untuk pengairan, secara manual. Masalah tak kalah pelik ada pertambangan dan alih fungsi lahan. Kalau dulu untuk shift cultivation: penebangan dan pembakaran lahan biasa 10 sekali, kini tiga tahun sekali. Mereka, katanya, tak punya pilihan karena lahan makin menyempit.

“Menariknya, benih hanya boleh dipegang perempuan. Artinya, perempuan aktor utama manajemen benih dari hulu sampai hilir. Mereka tahu benih bagus untuk disemai dan ditanam. Mereka juga tahu berapa persen konsumsi, dan berapa persen panen untuk tanam musim selanjutnya,” katanya, seraya bilang, pengetahuan tradisional sangat luar biasa.

Contoh lain, masyarakat di Desa Tasi dan Talwai, Alor. “Waktu kami kesana Maret- musim peralihan hujan ke kemarau. Kami bertepatan dengan tak banyak tumbuhan tumbuh. Mereka bilang, andai saja ada banyak waktu untuk mengumpulkan pangan dari hutan, satu halaman atau satu rumah tidak cukup untuk menampungnya,” kata Hayu.

Menurut dia, sistem pangan masyarakat adat bisa jadi refleksi masyarakat non adat, yang sebagian besar di kota, pertama, mengenai makanan bisa melalui strategi berburu, menangkap ikan, mengumpulkan dari alam liar. Kedua, sistem pangan nomadik dan berpindah. Ketiga, area mendapatkan makanan milik bersama (hutan). Keempat, tidak dikapitalisasi.

Selain itu, tiga pilar sistem pangan masyarakat adat: kesehatan dan nutrisi, bahasa dan budaya, sumber daya alam dan keanekaragaman hayati bisa jadi referensi.

“Sistem pangan masyarakat adat bersifat holistik. Konservasi keragaman hayati. Pengetahuan tradisional. Dekat dengan budaya dan tradisi. Berhubungan dengan spiritualitas, seperti mama-mama di Flores yang merasa mati jika kehilangan benih. Sebagai identitas sosial. Berprinsip mekanisme solidaritas.”

 

Singkong, salah satu sumber pangan yang banyak ditanam di Indonesia. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Dia nilai, masyarakat adat di manapun, sebenarnya tidak akan kelaparan karena mereka saling memberi. “Contoh ini, kami temukan di Tasi Talwai. Mereka saling memberikan hadiah berupa hasil kebun antar sesama. Masih hidup berburu, menangkap ikan, meramban, dan beradaptasi terhadap perubahan iklim.”

Tanaman pun bisa multifungsi sebagai pangan, obat-obatan, sandang, dan papan. “Keragaman pangan. Ketahanan ekosistem dan efisiensi energi.”

Pramasti Ayu Kusdinar, peneliti Akar Foundation mengatakan, penelitian pada 2018 tentang foodways system rumah tangga petani hutan kemasyarakatan Desa Air Lanang dan Desa Tebat Pulau, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.

Penelitian ini, katanya, selain untuk mengetahui cara masyarakat mendapatkan makanan, juga otokritik terhadap program perhutanan sosial khusus skema lahan hutan kemasyarakatan (HKM).

Hasil penelitian ditemukan dua masalah menimpa masyrakat. Pertama, kelaparan tersembunyi. “Fenomena yang kami temui ini tragedi dimana masyarakat petani yang mengelola lahan tidak mampu memproduksi pangan sendiri di lahan yang digarap.”

Fenomena ini, katanya, menunjukkan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi harian, masyarakat harus ‘bersiasat’ mengelola sumber pangan. Misal, dengan membeli makanan instan dan penyedap rasa untuk mengelabui cita rasa dan gizi pada makanan.

Penyebabnya, kata Dinar, lahan yang mereka kelola mayoritas tanaman pasar yang ada permintaan pasarnya. Jadi, uang hasil penjualan inilah dikelola untuk mendapatkan dan mengelola sumber pangan.

Kelaparan tersembunyi yang terjadi di kalangan petani HKM tidak terbaca dalam perspektif kesehatan medis, melainkan dari perspektif produksi.

Kedua, perubahan cita rasa. Terjadi pergeseran cita rasa yang dialami perempuan di Desa Air Lanang dan Desa Tebat Pulau. Cita rasa perempuan di dua desa itu awalnya asam dan pedas, kini, berubah menjadi gurih.

Taste asam dan pedas ini diidentifikasi dari berbagai jenis makanan lokal yang dulu tersedia sebagai menu makan sehari-hari rumah tangga yang sumbernya tersedia di hutan dan di sekitar desa.”

Sementara rasa gurih, setelah industri pangan masuk ke desa dan perubahan corak produksi dialami masyarakat. Perubahan cita rasa ini, katanya, menggambarkan perubahan pola tanam, perubahan kultur konsumen dan perubahan sistem pula pangan.

Kemudian ada riset lanjutan, dengan hasil menunjukkan, meskipun produktivitas lahan meningkat -diukur dari peningkatan hasil panen dan produktivitas tanaman melalui teknik budidaya–tetapi utang masyarakat tak berkurang, bahkan meningkat.

Kondisi ini, katanya, disebabkan kultur konsumsi berubah, hingga makin tinggi pendapatan, makin besar pula pengeluaran belanja harian rumah tangga.

Selain itu, katanya, temuan lain berkaitan dengan masalah kesehatan. Ditemukan beberapa masalah kesehatan pada anak di Desa Tebat Pulau yang mengalami kurang gizi dengan indikasi umum sakit tulang.

“Informasi yang kami dapat dari Posyandu, warga dengan gejala sama. Ketika dibawa ke rumah sakit ibu kota kabupaten, kekurangan kalsium,” katanya.

Dia bilang, hal disebabkan tiga jenis perubahan, terutama yang signifikan terjadi karena perubahan sistem pengadaan pangan dan kultur belanja harian.

Sejak beberapa perempuan di dua desa itu menyadari ada masalah dalam pangan harian, katanya, maka mereka membangun inisiatif berkelompok dan membangun demplot pangan. Mulai dari pekarangan rumah, lahan kas desa dan lahan HKm.

Cara ini, katanya, mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap produk pangan industri instan. Juga, memperbaiki kebutuhan gizi keluarga dan tata kelola lahan pertanian di desa dan area HKM. Kemudian, sebagai upaya adaptasi perubahan iklim.

 

 

Sukun, salah satu buah yang bisa jadi sumber karbohitrat. Indonesia kata sumber pangan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Dwi Andreas Santosa, Kepala Pusat Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan, berdasarkan data Global Food Security Index (GFSI) 2013-2021, dari sisi sumber daya alam dan ketahanan, indeks ketahanan pangan Indonesia terus memburuk dalam tiga tahun terakhir. Dari 113 negara, indeks ketahanan pangan di urutan 69. Sekarang justru berada di urutan terbawah, yakni 113.

“Karena itu, yang membuat saya heran mengapa tiba-tiba Institut Penelitian Padi Internasional memberikan penghargaan kepada Pemerintah Indonesia, terkait pangan, khusus padi karena telah memiliki sistem ketahanan pangan yang baik dan berhasil swasembada beras periode 2019-2021?”

Data yang dihimpun Dwi menunjukkan, produksi padi hanya 0,67% dan pertumbuhan penduduk 1,3-4% per tahun. Berarti produksinya kurang. Kemudian, pada 2007 – 2010 mencapai 1.45 % per tahun, itu pun karena terbantu iklim.

Berdasarkan Survei Harga Gabah Kering Panen (GKP) oleh Asosiasi Bank Benih Dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) di 46 kabupaten sentra produksi padi di 12 provinsi dari April 2017-April 2022, harga gabah tak stabil.

Sejak tiga tahun terakhir, dari Agustus 2019 hingga kini, tren harga di tingkat tani terus mengalami penurunan. Baru dua bulan terakhir ini terjadi kenaikan relatif panjang.

 

Impor

Dwi bilang, salah satu masalah pangan Indonesia adalah impor pangan. Dari komoditas beras, jagung, gandum, kedelai, gula tebu, ubi kayu, bawang putih, kacang dan tanah, Indonesia impor 8.000.976 ton pada 2008.

Pada 2018, sekitar 27.616,192 ton berarti kurun 10 tahun naik hampir 20 juta ton. Pads 2019, impor jadi 25.304.298 ton. Dwi menduga, penurunan itu karena mendekati pemilu. Pada 2020, naik lagi jadi 26.320.225 ton, bahkan 2021 mencapai 27.706.070 ton.

Dia juga menyinggung soal proporsi pangan berbasis gandum hampir 0% pada 1970-an melonjak jadi 18,3% pada 2010 dan menjadi 26,6% pada 2020. Saat ini, katanya, sudah 27% dan cenderung terus naik dengan perkiraan pada 2050 lebih 50% pangan tergantikan gandum. “Kalau kondisi terus berlanjut, beras bukan terganti pangan lokal, justru tergantikan gandum, yang 100 % impor.

 

Petani merawat tanaman sayur di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Hampir separuh dari 11.000 kepala keluarga di hulu Sungai Citarum merupakan buruh tani yang tidak memeliki lahan. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

*******

 

Exit mobile version