Mongabay.co.id

Nasib Orang Kenyah di Lung Anai

 

 

 

Saat tiba di depan rumah Amai Patih, pertengahan Agustus lalu, hujan baru saja reda. Dingin menyelimuti Desa Lung Anai. Rumah-rumah warga Suku Kenyah sudah tertutup. Sepi. Amai Patih membuka pintu sambil melempar senyum.

“Masuk ! minum teh hangat dulu,” Amai beserta Pesandi, istrinya menjemput saya di depan pintu.

Amai duduk di ruang tengah. Rambut hitam belah samping dengan baju biru, celana pendek.

Seraung dominan kuning motif khas Kenyah tergantung di dinding. Di ruangan itu tak ada kursi, hanya lemari televisi, meja kecil tempat Pesandi menyulam manik-manik dan sebuah mesin jahit tua.

Rumah Amai sekitar 50 meter dari bibir Sungai Jembayan, berdiri sejak 1996. “Sambil aku kerja di ITCI saya kerjakan rumah ini,” kata Amai. Dia menyebut nama pendek perusahaan kayu log yang menghilangkan hutan di kawasan itu sejak awal 1970-an.

Kelima anaknya sudah punya rumah masing-masing. Pasangan suami istri ini tinggal berdua di rumah kayu mereka. “Bahan kayu saya ambil dari sekitar hutan,” ucap Amai.

Amai Patih, nama panggilan bagi yang sudah punya cucu- adalah tokoh Suku Kenyah generasi awal yang melakukan perpindahan kolosal dari dataran tinggi Apokayan menuju hilir.

Apokayan adalah bentang alam di hulu Sungai Kayan, Kecamatan Long Nawang, Malinau, Kalimantan Utara. Perbatasan Indonesia Malaysia. Jarak ratusan kilometer dari Desa Lung Anai.

Peristiwa migrasi Suku Kenyah ini membentuk perkampungan di hilir di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. “Sudah ada 27 kampung,” kata Amai. Penduduk Lung Anai ada 495 jiwa.

Beberapa pekan sebelum ini, ada tradisi pesta panen masyarakat Kenyah yang berlangsung setiap tahun di Desa Lung Anai, Kecamatan Loa Kulu, Kutai Kartenagara, Kaltim atau sekitar 30 kilometer dari Kota Tenggarong.

Pesta panen meriah. Pesta panen kali ini berlangsung saat lahan ladang warga Kenyah yang makin menyempit.

Pria yang lahir di Apokayan 75 tahun silam ini mengatakan, lahan pertanian warga makin hari makin berkurang. Sebagian warag pun tak bisa berladang lagi. Termasuk, dia dan istrinya sudah dua tahun tak berladang.

“Kebanyakan tidak bikin ladang tahun ini, lahan juga tidak ada,” kata kakek 10 cucu ini.

“Jalan ke sini tidak sampai dua kilometer sudah batubara.”

Pesandi sampaikan soal krisis lahan warga Lung Anai. “Nda ada tanah sudah,” ujar perempuan 67 tahun ini.

Sebelum ini, katanya, setiap rumah punya lumbung gabah. Cukup persediaan konsumsi hingga musim tanam tahun depan. Kini. sudah berubah “Tidak ada padi, di dapur lagi,” ujar Amai.

“Beli sudah beras. Nanti tanya lagi dari mana dapat uang? Hasil kebun pisang.”

Selain kebun pisang, mereka masih punya pohon karet setengah hektar lebih.

Krisis lahan ini, karena kehadiran perusahaan berbasis lahan. Mereka merusak lahan jadi tambang, kayu industri dan perkebunan sawit. “Semua kita punya digaruk, lahan karet lagi yang bisa.”

 

Desa Lung Anai, Kutai Kartanegara. Foto: Abdullah NAem/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Amai, areal yang sudah tereksploitasi batubara jelas tak layak jadi lahan pertanian. Perusahaan sudah sampai di bibir Sungai Gitan. Mereka gali dan ambil batubara. Andaikan ada “konservasi” sekitar 200 meter dari tepi sungai tidak dibongkar batubara mungkin masih bisa mereka membuat ladang.

Kawasan Gitan dan sekitar yang diceritakan Amai Patih merupakan areal yang selama ini jadi lahan menanam padi ladang bagi warga Suku Kenyah. Sama seperti masyarakat adat Kalimantan lain, Kenyah menganut sistem perladangan dengan model rotasi. Setiap musim tanam mereka berpindah dari ladang satu ke ladang yang lain. Seiring perluasan penguasaaan berbagai perusahaan sejak tujuh tahun terakhir membuat warga kesulitan mendapatkan lahan.

Untuk mencapai kawasan ini perjalan sekitar satu jam setengah dengan perahu ketingting. Perahu kecil hanya memuat 4-5 orang. Belakangan kawasan ini berubah dan perusahaan tambang batubara, perkebunan sawit dan lain-lain juga berada dalam konsesi korporasi kayu International Timber Corporation Indonesia Hutani Manunggal (ITCI HM).

Konsesi perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto ini kini ditetapkan sebagai kawasan Ibu kota Negara baru. Tanoto mendapatkan sebagian konsesi ini sebelumnya dari Hashim Djojohadikusumo pada 2006 seluas 162. 513 hektar.

Yurni, juga tetangga Amai mengatakan hal sama. Warga Lung Anai, katanya, pelan-pelan kehilangan lahan. Budaya berladang mulai ditinggalkan. “Sekitar 70% sudah tidak lagi berladang,” kata perempuan 35 tahun ini.

Yurni masih berladang meski lahan tak seluas seperti dulu.

“Walaupun kecil kecil (lahan) kami tetap berladang.”

Lahan tergerus karena warga jual ke perusahaan tambang.

Kuas Nay, Kepala Desa Lung Anai, mengatakan, dulu hampir setiap rumah punya ladang. “Sekarang bisa dihitung jari,” katanya.

Lahan-lahan adat yang menjadi ruang hidup warga juga sudah terbebani berbagai perizinan. ”Kita nda memiliki hak di Undang-undang atau peraturan di negara ini. Contohnya, semua lahan keperluan bisnis. KBK, hutan produksi, PKP2B,” Kepala desa menyebut penamaan penguasaan lahan atas nama Undang-undang.

Lahan tersisa yang masih layak ditanami, kata Amai, juga dilarang. “Nanti kita membakar juga bahaya lagi. Kita lagi yang ditegur, didenda. Coba mereka habisin lahan kalau ada sisanya kami bikin ladang, membakar bebas, mungkin bisa kita bikin ladang itu,” ujar Amai.

Pertengahan September 2015, dua warga Kenyah Gun Lian dan Sudin dikriminalisasi. Berawal dari laporan sekuriti perusahaan ITCI HM kepada Polsek Loa Kulu. Mereka dituduh sebagai pembakar lahan.

Orang Kenyah menyebut tradisi nutung uma yang sudah mereka lakukan sejak lama. Amai Patih bilang, mereka ditahan selama delapan bulan lebih. Peristiwa ini membuat warga Kenyah khawatir.

 

Pesandi dengan anyaman rotannya. Foto: Naem Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

***

Amai Patih menunjuk bening, gendongan bayi terbuat dari rotan yang berada di atas lemari tivi. Bening anyaman terbuat dari rotan yang sudah dibalut manik dominan warna kuning. Satu persatu hasil karyanya itu dia keluarkan. Ada juga qiba. Ini wadah dari rotan mirip rangsel untuk tempat barang saat bepergian ke kebun dan ladang.

Qiba hasil dia kirim ke anaknya di Desa Sungai Bawang yang tak jauh dari Bandara Udara Samarinda untuk jual ke wisatawan. Dia jual Rp400.000. “Empat buah saya bikin kemarin sebentar aja habis.”

Masalahnya, ketersediaan rotan makin langka. Mereka perlu waktu satu hari mencari rotan di dalam hutan. “Mungkin habis sudah” ujar Pesandi.

Amai lebih banyak menunggu orang bawa rotan ke rumahnya untuk diolah jadi qiba. Dia berharap, anak-anak muda belajar membuat anyaman khas orang Kenyah ini. “Kalau kami ini habis nda ada sudah.”

Dari rumah Amai terlihat Yurni dan suaminya baru pulang dari kebun mengendarai sepeda motor. Sama seperti Amai dan Pesandi, Yurni juga berjuang memastikan ketersediaan pangan bagi keluarga mereka.

Biasa Yurni menghabiskan waktu di kebun dan ladang selama 4–5 hari. Senin berangkat ke kebun, Jumat atau Sabtu pulang ke kampung. Lazim mereka beribadah pada Minggu di Gereja Kemah Injil Desa Lung Anai.

Kini, warga lebih memilih pakai sepeda motor menuju kebun dan ladang yang tersisa di Gitan. Yurni dan suami biasa menempuh waktu 1.5 jam dari Kampung Lung Anai melintasi perkebuanan sawit untuk ke Gitan.

Dia bilang, sungai tak lagi digunakan. “Sekarang jalan sungai sudah tidak bagus,” kata Yurni.

Di sepanjang sungai sudah ada aktivitas batubara dan kayu. Bahkan, katanya, dekat kebun kakaonya, ada anak sungai akan dipindahkan untuk gali batubara. “Parit sudah dibuatkan.”

Yurni tanam kakao setelah lahan tak lagi bisa dikelola untuk berladang. Di lahan sekitar setengah hektar itu dia tanam ratusan pohon kakao. Setiap minggu rata rata bisa panen 10 kilogram Rp29.000 per kg.

Kakao juga hadapi masalah karena kebun kerap banjir. Aktivitas batubara berdekatan dengan kebunnya.

Bukan itu saja. Amai bilang, Sungai Gitan dan Jembayan juga tercemar, terlebih saat limbah sawit masuk badan sungai. “Kalau banjir berapa ton ikan mati. Mereka buang kotoran, baung sama lais banyak mati,” ujar Amai.

Sungai Gitan keruh dan berbau. “Biar berapa kita kasih obat tetap bau,” katanya.

 

 

Kebun coklat, yang bisa tersisa. Foto: dokumen Yurni

 

***

Apokayan, tempat kelahiran Amai, masyhur dengan keindahan alam. Kelok Sungai Kayan nan jernih dan kehidupan warga Suku Kenyah bersatu dengan alam. Di sepanjang sungai berdiri lamin yang megah. Amai Patih tinggal di umaq draq tuan bersama warga lain. Kehidupan masyarakat secara komunal mulai dari sistem hunian.

Selain menghabiskan waktu di ladang, Amai belia gemar bermain gasing. Bersama orangtuanya, dia mencari kayu keras di dalam hutan untuk bahan gasing. Dia pun selalu memancing ikan bersama Panyan, kakeknya di Sungai Kayan.

Suatu hari mereka mendapat lima ikan jelawat dan mereka bawa ke Long Nawang ditukar dengan garam. Garam jadi barang langka di Apokayan. Di Long Nawang, mereka menemui seorang guru SD yang biasa menjual garam.

“Atuk atuk, tukar apa?”

“Tukar usen (garam)”

“Berapa mau?”

Amai dan kakeknya menunjukkan empat jelawat. Satu ikan setara sebungkus garam. “Sebesar ini ,” Amai memegang betisnya. Dia beruntung mendapatkan garam hari itu.

Mereka kembali ke rumah dengan mendayung perahu. Persediaan garam cukup untuk beberapa puluh hari ke depan.

Dahulu, sebelum Orang Kenyah mengenal garam dari luar, mereka punya garam lokal. Di sebuah gunung di Apokayan, ada satu sumber air panas mendidih yang keluar dari sela-sela tanah. Orang orang mengambil dan memasak air hingga terbentuk seperti karat dan menjadi garam.

Satu wadah berisi air, kata Amai bisa jadi segenggam garam. “Orang bilang sungan, itu orang bikin pertama,” ucap Amai.

Setelah itu, katanya, orang di Apokayan mencari garam sampai ke Malaysia. Amai bilang di Apokayan cuma garam yang kurang. “Hambar juga rasanya sayur gak ada asin asin.”

Untuk rasa manis mereka pakai tebu.

Masa itu, sekitar 1963-1966, datang TNI di perbatasan saat konfrontasi Indonesia-Malaysia yang dikenal sebagai ‘Ganyang Malaysia’. Peristiwa ini dipicu rencana pembentukan Federasi Malaysia terdiri dari federasi Sabah, Serawak, Singapura dan Brunei.

Presiden Soekarno murka karena akan cengkraman dan kepentingan Inggris di Asia Tenggara. Di tambah lagi dengan demonstrasi anti Soekarno di Kuala Lumpur.

Untuk antisipasi, TNI melatih warga Apokayan untuk tempur hingga sewaktu waktu dapat diperbantukan di medan laga. Amai ikut dilatih.

Dalam sesi latihan bersama di Apokayan, seorang serdadu melempar senapan jenis LE ke arah Amai. Karena tak siap, senjata laras panjang itu menghantam kaki Amai hingga terluka. Ketika itu, perhatian Amai bukan ke pelatih tetapi ke seorang temannya.

Dia berteriak kesakitan. Sejak peristiwa itu dia tak mau pegang senjata laras panjang lagi. Baginya, lebih menarik urus meriam daripada pegang senapan.

Tak ada sekolah karena mereka ikut latihan terus. Selama dua minggu dia jaga meriam di Long Nawang bersama seorang teman dan seorang serdadu dari Jawa. Dari para serdadu Amai belajar strategi perang. Salah satunya, bukan semata-mata fokus ke manusia, tetapi bagaimana menyasar gundang beras, BBM dan listrik musuh.

 

Amai Patih, dengan beragam anyaman rotan. Kini, rotan sudah sulit dia dapatkan. Foto: Naem Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Huru-hara politik pada 1965 di Jakarta dan kenaikan Soeharto ke tampuk kekuasaan, pelan pelan konflik Indonesia-Malaysia, reda.

Upacara teqoajau tiba. Siang itu, Orang-orang berkumpul di sebuah lamin umaq laloq laboq di Apokayan untuk pesta panen.

Hari itu, mereka kedatangan tamu komandan yang bertugas di perbatasan. Letnan itu paham memainkan ruang batin warga saat suasana tak menentu. Amai masih ingat, namanya Letnan Palaguna. Dia berpidato di depan Masyarakat Kenyah. “Kita ini harus pergi ke kota. Pergi cari sekolah, buat hubungan dengan pemerintah di sana. Kalau di sini masih jauh,’’ ujar Palaguna kepada warga.

Saking semangatnya Palaguna pidato selama tiga jam. “Dari pukul 2.00 sampai 4.00,” kata Amai.

Selain menyebut Sekolah, kota dan pentingnya pemerintah, Palaguna juga menyerukan meninggalkan agama lama orang Kenyah dan memilih salah salah satu agama resmi.

Palaguna bertugas di Apokayan dalam misi – yang Orang Kenyah bilang-GM. Palaguna berada di sana pada 1964 – 1966.

Sebelum Palaguna, ada Letnan Herman Musakabe dan Letnan Manopo. Ketiga nama ini disebut sebut sebagai komandan GM Masa Ganyang Malaysia.

Imbauan Palaguna membuat warga terbelah. Ada yang semangat mengikuti ada juga yang menolak. Pidato Palaguna segera ditindak lanjuti oleh para pejabat tingkat lokal. Camat Long Nawang ikut kampanye agar masyarakat segera mencari tempat di hilir demi mencapai ‘kemajuan’.

Pada 1967, Orang Kenyah terutama dari sub Suku Kenyah Lepoq Jalan mulai meninggalkan rumah panjang mereka. Taman Dion, warga Lung Anai, seperti yang disebut dalam catatan Etnografi Naladwipa “Dilema Invensi Kebudayaan dan Penguasaan Sumber Daya Alam” mengatakan, berangkat dari Apokayan umur 25 tahun. Menurut dia, kepindahan mereka karena desakan dari Camar Long Nawang. “Kami pindah meski sedih rasanya,” ucap Dion.

Bahkan, sampai ada yang berpisah suami istri karena satu bertahan di Apokayan dan satunya pindah.

Umaq ndratuan, dan umaq juman, tempat Amai dan Pesandi kosong ditinggal penghuni. Kala itu, Pesandi berumur 12 tahun ketika ikut orangtuanya pindah. Mereka berjalan kaki selama dua hari dua malam menuju hulu salah satu anak Sungai Bo. “Bikin ladang lagi dulu,” ucap Pesandi.

Mereka menyiapkan perbekalan dengan berladang, selama satu tahun mereka di sana. Usai panen mereka membuat perahu dan dipakai rombongan hingga sampai ke Sungai Mao, tembus ke Sungai Bo. Perjalanan berlanjut menuju Data Bunyau.

“Kami setengah tahun [di perjalanan], karena ada kakak saya yang bunting, takut melahir di jalan,” kisah Pesandi.

Perjalanan satu bulan melintasi berbagai riam Mahakam untuk sampai Long Segar di Kabupaten Kutai Timur.

Catatan Etnografi Naladwipa Institute Samarinda menyebutkan, rombongan yang pertama meninggalkan Apokayan adalah umaq lung tisai sekitar 200 keluarga, kemudian umaq lulau dengan 50 keluarga, umaq sungan 50 keluarga diikuti umaq lain.

Pindah pada 1967 dari Apokayan sampai ke Lung Anai 1968, sekitar enam bulan di perjalanan. Dari Apokayan ke Long Gemar, Wahau, Sentosa. Kampung ini masuk Kutai Timur.

Di perjalanan, kata Amai, mereka bikin perahu saat bertemu Sungai dan berjalan kaki dan ikut orang cari upahan. Amai Bilang pakaian berganti ganti-ganti hanya tiga setel.

Amai dan Pesandi bertemu di Long Segar. Mereka menikah pada 1969.

Orang Kenyah mulai masuk ke Desa Lung Anai pada masa pembabatan hutan di bentang alam Sepaku hingga Jonggon pada 1986. Amai Patih, Panyet, Apui, Pajan, Ibau, Pelujuk, antara lain dari 12 orang yang bertugas mencari lokasi yang dirasa cocok sebagai tempat tinggal, kebun dan ladang warga.

Saat di wilayah baru Lung Anai mereka bertemu warga lokal, Basap. Mereka bicara dan orang-orang Basap memberi mereka lahan bersama. Saat lahan cocok, mereka kemudian kembali ke Long Segar untuk mengajak keluarga dan rombongan besar.

Sebelum pembentukan Desa Lung Anai, areal ini bernama ‘Tanah Merah’ sebuah kawasan penumpukan kayu log milik perusahaan ITCI Kartika Utama. Perusahaan kayu era Soeharto.

Warga menyebut sebagai kayu ekspor. Saat lahan tak ;agi jadi tempat penumpukan kayu, orang-orang Kenyah mulai membentuk perkampungan di kawasan itu.

Amai mempersiapkan bahan rumah di sekitar Sungai Gitan. Dia mengumpulkan dan mempersiapkan material untuk bangun rumah seluas 6×12 meter. Dia bolak-balik dari Lung Anai ke Gitan untuk menebang kayu. “Saya nyengso sendiri.”

Untuk mengangkut kayu dari Gitan dengan perjalanan satu setengah jam pakai perahu ketinting menyusuri Sungai Payan. Perahu panjang lima meter dia rancang khusus untuk angkut kayu.

Kayu gelondongan dia proses jadi tiang, balok dan papan di Kampung Sentuk Sungai Payan, tetangga desa. Dia kumpulkan material berangsur-angsur. Saat sudah tersedia, Amai meminta bantu warga bersama-sama mendirikan rumah.

Tak hanya rumah yang dikerjakan dengan gotong royong, juga balai adat.

Kini, sudah sulit mencari kayu untuk keperluan sendiri karena sudah banyak perusahaan beroperasi.

Lung Anai ditetapkan sebagai Desa Budaya pada 2005. Pemerintah memberikan ‘keistimewaaan’ dengan gelar ini. Wakil Bupati Syamsuri Aspar hadir dalam pemberian gelar itu.

Hari-hari berikutnya, keriuhan upacara adat makin sering berlangsung di Desa Budaya Lung Anai, terutama terkait siklus pangan. Upacara sebelum tanam dan saat pesta panen selalu dilaksanakan setiap tahun.

Alaq tau (upacara mencari hari baik) dan uman ubeq (upacara panen). Namun, Desa Budaya Lung Anai tak menyebutkan tentang kepastian lahan ladang mereka.

Padahal, kebudayaan Orang Kenyah juga berladang. Kebudayaan hanya menyempit pada kesenian seperti musik dan tarian, tak ada jaminan mereka tetap bisa berladang.

 

Balai Adat di Desa Lung Anai. Foto: Abdullah Anem/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Bagaimana nasib berladang Orang Kenyah? Kenyah di Lung Anai belum menyerah. Musim tanam tahun ini, mereka kembali menggagas ladang. Ladang keluarga, kata Yurni, diprakarsai gereja. Mereka baru saja merintis lahan yang masih tersisa. Areal yang belum dibongkar sawit, kayu industri atau tambang batubara mereka olah.

Pesandi bilang, ladang ini ‘satu untuk umum’. Maksudnya, semua warga boleh ikut berpartisipasi mengelola ladang. “Persiapan umand ubeq,” Pesandi menyebut salah satu upacara panen. “Ubeq saat bulir padi yang masih ijo mulai kuning,”

Masyarakat Kenyah terus berjuang agar lumbung pangan di rumah dan lumbung desa tetap terisi. Di Lung Anai, ada beberapa lumbung padi dekat balai desa. Sejauh ini masih dipertahankan dan masih ada isi.

Warga yang masih punya ladang menyumbang untuk mengisi lumbung desa. Andai dapat 100 kaleng, 10 kaleng masukkan lumbung.

Beras itu, kata Amai, mereka gunakan untuk kegiatan bersama. Saat gotong royong tidak beli beras. Warga mengambil dari lumbung.

Suriatili, warga Kenyah, sejak 2016 mencoba belajar membuat sawah. Perempuan 49 tahun ini memanggil warga transmigran asal Jawa di tetangga desanya untuk membantu bagaimana olah lahan jadi sawah. Hasilnya, sekitar 1,5 hektar di dekat pemukiman mereka di tepi Sungai Payan, sudah mulai panen.

Suriatili mengerjakan bersama suami dengan dua adiknya, Yurni dan Martinus. Saat COVID-19, Surianti panen. Dia dapat 100 kaleng gabah.

“Kalau kerjakan semua bisa lebih,” katanya.

Kaleng yang dimaksud Surianti adalah kaleng minyak ukuran 25 liter.

Sawah ini tadah hujan, baru bisa dia garap satu kali dalam setiap tahun.

Sidaris juga menggarap sekitar 1,5 hektar untuk sawah. Di Lung Anai ada sekitar tiga hektar sawah dari dua keluarga. Kebiasaan ini tak pernah masyarakat Kenyah lakukan sebelumnya.

Tradisi baru mengelola padi sawah ini juga tidak akan menyebar ke warga lain karena keterbatasan lahan dan tradisi berladang.

Amai memperkirakan, tradisi berladang sebentar lagi akan berakhir karena tak ada lagi lahan. Lung Anai jadi desa budaya, ternyata tak menjamin keselamatan ladang Orang Kenyah. “Apa kita bikin, kalau tidak ada padinya yang kita tanam? Susah kita pesta panen kalau tidak ada berasnya.”

 

 

 

********

Exit mobile version