Mongabay.co.id

Teba Modern, Cara Desa Celuk Bali Bebas Sampah Organik

 

Ada yang berbeda di Dusun Cemenggoan, Desa Celuk, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali.

Seluruh warga dusun Cemenggoan memiliki sedikitnya satu sumur komposter di pekarangan rumahnya. Bahkan ada yang membuat sampai tiga lubang komposter khusus mengelola material organik. Dampaknya, buangan sampah ke tempat pengelolaan sampah berkurang drastis, menyisakan hanya sekitar 10% residu yang tidak bisa didaur ulang.

Desa Celuk ini bahkan sudah memasukkan strategi pengelolaan sampah pedesaan ini dalam aturan adat tertulis. Dan dikuatkan dengan pembentukan Badan Pengelola Sampah Desa Adat Cemenggoan pada 2020. Saat ini sedikitnya 350 kepala keluarga sudah memiliki komposter yang mereka sebut dengan program “teba modern.”

Teba adalah bahasa Bali merujuk halaman belakang, areal hijau yang biasanya dimiliki tiap rumah. Di masa lalu, warga membuang sampah ke teba yang biasanya ditanami pohon kebutuhan sehari-hari seperti pisang, bunga, dan kelapa. Namun, saat ini tak banyak rumah memiliki teba yang luas. Kalaupun masih ada, sampah yang dibuang ke teba jadi masalah baru karena tercampur dengan aneka plastik dan anorganik lain.

Karena itulah, dusun ini mencetuskan kiat pengurangan cemaran plastik dengan istilah teba modern. Teba digunakan mengelola sampah mandiri, terutama material organik yang mendominasi jenis sampah di Bali. Sangat sederhana, namun efektif. Warga membuat lubang di areal rumah untuk penampung organik. Sisanya yang bisa didaur ulang ditabung di bank sampah. Sedangkan yang tidak bisa didaur ulang jadi residu.

Tak heran, warga kini sudah tidak memerlukan jasa langganan angkut sampah. Bahkan bisa menabung sampah anorganik yang bisa dijual ke bank sampah. Sistem “teba modern” ini juga secara otomatis mendidik warga memilah sampah dan mampu mengidentifikasi yang tidak bisa didaur ulang seperti popok dan sachet multilayer.

baca : Sampah TPA di Cilacap Ini Habis Terkelola, Bagaimana Caranya?

 

Sumur komposter berbentuk bulat untuk pengolahan sampah organik di Dusun Cemeggoan, Desa Celuk, Sukawati, Gianyar, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Perjalanan dari rumah ke rumah warga menunjukkan ada berbagai model dan lokasi sumur komposter yang dibuat sesuai dengan kebutuhan tiap keluarga. Model terbanyak adalah sumur sedalam maksimal tiga meter, bentuknya bulat dengan diameter sekitar 80 cm atau ukuran buis beton. Namun hanya dua buah buis beton yang diletakkan paling atas. Sedangkan di bagian bawah tetap tanah untuk memudahkan ekosistem pengurai organik ini hidup dan bekerja menghancurkan material organik seperti daun dan sisa limbah dapur.

Lubang lebih dalam, sekitar tiga meter pernah dicoba, tapi sampah malah sulit terurai karena dugaannya mekanisme penguraian tidak optimal. Di bagian atas lubang diisi penutup dan lubang untuk mengeluarkan gas dan serangga penghancur. Ada yang tertanam sehingga rata dengan tanah. Ada juga yang di atas permukaan tanah, sehingga lubangnya di bagian bawah. Warga yang membuat menjulang di atas tanah menjadikan penutupnya sebagai meja untuk area duduk santai. Ada juga yang berbentuk kotak dan tertanam di dalam tanah.

Wayan Balik Mustiana, 47 tahun, Ketua Badan Pengelola Sampah (BPS) Desa Adat Cemenggoan memiliki dua buah sumur komposter. Satu unit di dalam rumah, lainnya di depan pintu gerbang rumah. “Ada mitos pamali buat lubang sampah di dalam rumah,” ujarnya ditemui 7 September 2022. Namun, ia menjawab dengan logika, membandingkan dengan lubang septitank dan lubang toilet.

Sumur komposternya satu meter di dalam tanah dan satu meter di atas tanah. Agar estetik, ia tidak menggunakan buis tapi membuat dinding dari batu sungai. Lubangnya sejajar tanah, jadi usai menyapu halaman, material organik langsung diarahkan ke lubang.

Satu sumur komposter baru ada depan rumah, untuk memudahkan buang organik setelah menyapu jalan gang. Wayan Balik juga menunjukkan cara kerja “teba modern” yang dirintis sejak 2018 melalui miniatur. Sebidang tanah dengan pohon dan sumur komposter dalam kotak kaca.

baca juga : Ilmuwan Temukan Cacing Super Pemakan Sampah Plastik

 

Miniatur sistem sumur komposter untuk pengolahan sampah organik di Dusun Cemeggoan, Desa Celuk, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Ia menceritakan, ide teba modern ini diawali dengan kehadiran Forum Peduli Lingkungan pada 2011. Saat itu mereka bersih-bersih cemaran sampah plastik di sungai sekitar desa. Kemudian ada instruksi membuat bank sampah namun operasionalnya tidak berjalan lancar karena sistem pencatatan puluhan jenis sampah dinilai cukup rumit. Mereka kemudian menyederhanakan hanya 4 yakni kantong kresek, botol, logam, dan lainnya.

Sampai 2016, mereka melihat tidak ada perubahan signifikan pada pengelolaan sampah sementara volumenya terus meningkat. Akhirnya pada 2017, mereka menemukan momentum, salah satu warga menggali tanah di teba untuk jadi material urugan meninggikan pelataran tempat sembahyang. Lubang bekas galian dijadikan penimbunan sampah, namun masih dicampur anorganik.

Sampah plastik kemudian diambil, dan lubang ini diujicoba menampung khusus organik, diketahui lubang baru penuh setelah satu tahun. “Oh ini penanganan sampah organik,” ia kaget ternyata solusinya sederhana. Apalagi Wayan Balik merasakan sendiri sejumlah pelatihan pemilahan sampah tidak efektif jika prosesnya menyulitkan warga.

Pada 2017, dimulailah dibuat delapan lubang komposter secara swadaya oleh tim forum peduli lingkungan. Bertambah jadi 15 lubang pada 2018 dari bantuan dana desa. Selanjutnya bertambah 150 lubang dari dana CSR Pertamina. Inisitif ini diapresiasi desa adat yang merespon dengan aturan tertulis atau awig-awig tentang larangan buang sampah sembarangan dan dengan model pengelolaan sampah mandiri pedesaan (Pesan Pede) sekitar 2019. Setelah itu BPS dibentuk pada 2020.

Kini, seluruh warga yakni 350 KK sudah memiliki sumur komposter sendiri. Lubang komposter yang mirip sumur dangkal ini pun berfungsi sebagai penyerap air hujan karena bagian lantainya tidak dibeton. Bahkan beberapa sumur disambungkan ke lubang tambahan untuk menyerap genangan air hujan.

baca juga : Aplikasi Bank Sampah Digital ini Jadi Basis Data lebih 15 Ribu Warga Bali

 

Sumur komposter pengolah sampah organik dengan tutup tinggi sebagai meja di Dusun Cemeggoan, Desa Celuk, Sukawati, Gianyar, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Desa adat juga menyediakan areal untuk menampung material organik dari upacara adat dan agama yang menghasilkan banyak sisa organik dari sesajen.

Dampak signifikan adalah, sejak 2020, dusun ini tidak pakai jasa truk pengangkutan sampah lagi. Warga hemat biaya sampah Rp30 ribu per bulan, dan semua warga malah menghasilkan dengan menabung sampah anorganik di bank sampah. BPS hanya menyiapkan satu pick-up per minggu untuk mengangkut residu limbah sulit didaur ulang. Ada juga dusun-dusun lain mengikuti sistem ini, namun tidak sebanyak warga di Cemenggoan.

Dari perhitungan Wayan Balik, setiap rumah tangga rata-rata menghasilkan sampah sekitar 4 kg per hari. Maka ada 1,2 ton sampah per hari. Dari jumlah itu, 70% organik dan jumlah ini mengurangi beban tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) atau tempat penampungan akhir sampah (TPA) secara signifikan. Residu diperkirakan sekitar 150 kg per minggu atau 600 kg per bulan, dominan popok sekali pakai. Selanjutnya ada sekitar 1,4 ton sampah plastik, botol, kertas, dan logam yang bisa didaur ulang.

Namun, ia tak mengelak jika masih ada warga yang kemungkinan bakar sampah jika tidak disiplin setor anorganiknya ke bank sampah atau mengumpulkan residu. “Kami mengalami penolakan juga. Selain pamali buat lubang sampah di rumah, ada juga yang tidak peduli,” ujarnya.

Made Cermin, warga Cemenggoan yang sudah lanjut usia ini terlihat menyapu halaman dengan daun berserakan. Sampah ditampung di tong sampah dulu sampai penuh, setelah itu baru dimasukkan ke lubang komposter. Ada tiga tong sampah di rumahnya, organik, sampah yang bisa dijual ke bank sampah, dan tong residu. “Anak saya yang usia satu tahun sudah hapal dan bisa buang popoknya ke tong residu,” Wayan Wardana bangga.

Rumahnya yang ditinggali 4 orang dewasa, dan 3 anak ini dinilai sudah terbiasa memilah sampah sejak dini. Ia memiliki 2 lubang, satu unit kompos sudah dipanen tanpa tambahan bahan lain. Hasilnya sekitar 10 karung.

Kepala Dusun Wayan Agus Sugamia juga bangga dengan peran serta warganya. Ia menyebut TPST kini bisa fokus mengurus residu agar tak mudah penuh.

BPS juga sudah memiliki prosedur pengelolaan sampah tertulis. Sampah organik tiap rumah ditampung sepenuhnya di Save-Teng Sampah Organik (teba/komposter yang ada di masing-masing rumah). Sedangkan sampah dadakan volume besar ditangani dengan pemanfaatan gudang komposter yang disediakan oleh BPS.

Sementara sampah non rumah tangga seperti bisnis atau perkantoran akan ditangani dengan penjemputan setiap hari kerja, dengan syarat terpilah.

menarik dibaca : Inilah Para Pahlawan Sampah Bali

 

senja bersampah di Pantai Kedonganan, Kuta, Bali pada Februari 2021. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Siasat Desa Adat Cemenggoan terlihat sederhana, semua bisa melakukannya di rumah dengan modal gali lubang. Namun diperlukan sistem yang mendorong semua bekerja sama dan menciptakan perubahan.

Walau Pemerinta Provinsi Bali sudah memiliki regulasi pengelolaan sampah berbasis sumber namun implementasinya tak mudah. Secara umum sampah masih tercampur di TPA dan TPST.

Sebelumnya I Made Dwi Arbani, Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3 dan PPKLH Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Bali mengatakan kondisi di Bali sudah darurat sampah karena TPA overload dan akan ditutup pada November ini jelang perhelatan G20. Ada 4.300 ton sampah per hari. Jika satu truk berisi 2 ton sampah, maka produksi sampah warga Bali termasuk turis lebih dari 2.000 truk per hari.

Masalahnya pengurangan baru 15% dan 50% masih ke TPA Suwung. Ia meminta setiap kabupaten dan kota mengumpulkan rencana aksi untuk kompak membatasi tiga jenis sekali pakai yakni kantong plastik bergagang, styrofoam wadah makanan dan dekorasi, dan pipet plastik.

 

Exit mobile version