Mongabay.co.id

‘Rujuk’ Kerja Sama Iklim Indonesia-Norwegia

 

 

 

 

Setelah setahun Indonesia memutuskan skema perjanjian kerjasama iklim dengan Norwegia, kini ‘rujuk’ lagi. Kedua negara ini akan merinci secara spesifik skema-skema kerja sama ke depan.

Pada 10 September 2021, Pemerintah Indonesia memutuskan akhiri kerja sama dengan Norwegia yang melalui Letter of Intent (LoI) setuju membayar US$1 miliar. Pada bulan sama, 12 September 2022, kedua negara ini kembali menjalin kerja sama dan disepakati dalam pertemuan antara Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Lingkungan Hidup dan Iklim Norwegia Espen Barth Eide.

Menteri Siti mengatakan, niat Norwegia menjalin kerja sama yang baru ini sudah disampaikan Pemerintah Norwegia dalam surat tertanggal 5 Agustus 2022. Dalam surat itu, katanya, Pemerintah Norwegia berniat membangun kemitraan baru dengan Pemerintah Indonesia di bidang perubahan iklim dan kehutanan, melalui dukungan implementasi forestry and other land uses (FoLU) Net Sink 2030.

”Guna lebih memperkuat upaya berkelanjutan Indonesia, selama kunjungan kerja Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegiatelah ditandatangani MOU (nota kesepahaman). Kerja sama ini bertujuan mendukung upaya indonesia dalam penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan tata guna lahan lainnya,” katanya saat konferensi pers di Jakarta.

Siti bilang, pemerintah Kerajaan Norwegia menyampaikan apresiasinya atas upaya Indonesia yang konsisten dan signifikan serta berkelanjutan dalam mengurangi deforestasi.

Dalam kerjasama ini, tak hanya menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, fokus utama kerja sama ini juga meliputi perlindungan dan mengelola hutan dengan partisipasi masyarakat, termasuk masyarakat adat. Selain itu, peningkatan kapasitas untuk memperkuat penyerapan karbon hutan alam melalui pengelolaan hutan lestari, rehabilitasi hutan dan perhutanan sosial, termasuk mangrove.

Ruang lingkup lain meliputi konservasi keanekaragaman hayati, pengurangan emisi gas rumah kaca dari kebakaran dan kerusakan lahan gambut, penguatan penegakan hukum dan komunikasi. Juga, konsultasi dan pertukaran pengetahuan pada lingkup internasional tentang kebijakan dan agenda iklim, kehutanan dan tata guna lahan.

“Kerja sama itu tidak hanya mencerminkan kemitraan dan kesepakatan berbasis hasil kedua negara. Namun mencakup keterlibatan yang lebih luas terkait isu-isu iklim dan pengelolaan hutan di Indonesia,” tegas Siti.

 

Konflik satwa dan manusia terus terjadi antara lain karena ruang hidup satwa maskin terjepit. Seperti kasus di Riau ini, proses pencarian Sehat, buruh perusahaan HTI yang kena terkam harimau. Foto: BBKSDA Riau

 

Sejak 2010, kemitraan antara Pemerintah Norwegia dan Indonesia sudah berlangsung dalam program REDD+ (reducing greenhouse gas emissions from deforestation and, forest degradation).

Selama 10 tahun berlangsung, pemerintah Indonesia memutus hubungan kerja sama LoI Norwegia yang akan membayar US$1 miliar kalau negara memiliki hutan hujan tropis yang mampu memperlambat emisi dari deforestasi.

Pemerintah Indonesia menyatakan keputusan diambil karena tak ada kemajuan konkrit dalam implementasi kewajiban Pemerintah Norwegia merealisasikan pembayaran skema berdasarkan capaian (result based payment/RBP) atas upaya Indonesia. Dia klaim dalam program REDD+, Indonesia melaporkan berhasil mencegah 70 juta ton lepasan emisi karbon.

 

Rumusan kerja sama

Espen Barth Eide mengatakan, kerja sama ini akan mendukung upaya penurunan emisi Indonesia yang diverifikasi pihak ketiga dari 2016-2020. Dia pun menyatakan, kesepakatan ini dibangun berdasarkan kemitraan yang pernah terjalin sebelumnya dalam program REDD+.

Ke depan, kata Eide kerja sama ini mengedepankan aspek kesetaraan dan saling menghormati guna memastikan tujuan bersama upaya penurunan emisi. Pemerintah Indonesia maupun Norwegia membahas detail kesepakatan terbaru yang dituangkan dalam dokumen perjanjian kontribusi (contribution agreement) ini.

Hutan adat Laman Kinipan, yang berubah jadi kebun sawit skala besar. Foto:Meta Septalisa

 

Dalam kunjungan Pemerintah Kerajaan Norwegia, Eide juga diajak untuk penanaman mangrove, dan meninjau Ibu Kota Nusantara (IKN) yang akan dibangun melalui rencana pembangunan berwawasan lingkungan.

Dida Migfar Ridha, Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri KLHK mengatakan, kerja sama terbaru antara Indonesia dan Norwegia memiliki sedikit perbedaan dengan sebelumnya. “Kerja sama ini ini tidak berfokus pada RBP, juga bagaimana mendukung program FoLU Net Sink 2030.”

Dia katakan, kerja sama ini termasuk dalam aspek tata kelola kebijakan mendukung penurunan emisi.

Terkait kerja sama yang sempat terhenti, Dida pun mengatakan Indonesia mengapresiasi niat Norwegia yang akan memperhitungkan kembali detail kewajiban pemenuhan RBP.

Adapun, protokol dan standar akan tertuang dalam dokumen perjanjian kontribusi (contribution agreement) yang disesuaikan dengan tata kelola dan kapasitas yang berlaku di Indonesia.

 

Harus Konkrit

Nadia Hadad,     Direktur Eksekutif  Yayasan Madani Berkelanjutan, mengatakan, babak baru kemitraan Indonesia-Norwesia dalam mendukung target FoLU Net Sink 2030 jadi langkah positif.

Harapannya, kerja sama ini tidak hanya dukungan finansial melalui ‘result based contribution’ juga bisa mendorong sumber pendanaan lain.

Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, rencana ambisius dalam FoLU Net Sink 2030 yang didukung Pemerintah Norwegia perlu menyasar kerja-kerja konkrit agar Indonesia mampu memimpin penurunan emisi dari hutan dan pengunaan lahan. Salah satunya, mempercepat pengakuan dan perlindungan wilayah kelola rakyat (WKR).

“Dengan mempercepat perluasan terhadap pengakuan dan perlindungan WKR adalah solusi berkelanjutan mengatasi krisis iklim. “Ini prasyarat penting harus dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mencapai FoLU Net Sink,” kata Zenzi.

WKR ini, katanya, bukan hanya dapat memulihkan ekonomi rakyat secara langsung namun memiliki dimensi pemulihan ekosistem dari kondisi krisis sosial ekologis pada tingkat tapak.

Berdasarkan laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca 2017-2019, sektor kehutanan dan tata guna lahan (forest and other land use masih menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca nasional tertinggi secara berturut-turut.

Pada 2017, sektor kehutanan dan tata guna lahan menyumbang emisi nasional 36%, pada 2018 sebesar 44%, puncaknya 2019 sebesar 50%. Emisi sektor FoLU pada tahun itu setara 924.853 Giga CO2eq.

Sumber penyumbang emisi itu, kata Zenzi, salah satunya deforestasi  di kawasan hutan karena masih dominasi penguasaan hutan dan lahan oleh perusahaan.

Data Walhi dalam Tinjauan Lingkungan Hidup (TLH) 2022 menyebutkan, lebih dari 33 juta hektar kawasan hutan di indonesia terbebani izin, seluas 4,5 juta hektar dikuasai konsesi pertambangan. Kondisi ini, diperparah rencana-rencana proyek strategis nasional, seperti food estate. Lebih dari 3,2 juta hektar kawasan hutan buat proyek food estate di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara dan Papua.

 

Masyarakat penjaga hutan. Pepohonan di hutan adat Marena. Kala akses kelola dan hak kelola, mereka bisa menjaga hutan sekaligus memanfaatkannya. Namun, hingga kini, sebagian usulan hutan adat Marena belum juga mendapatkan penetapan pemerintah. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

Kerja sama ini, katanya, akan berjalan efektif jika menyasar pada penurunan deforestasi, dengan mencabut izin-izin konsesi perusahaan di kawasan hutan serta setop izin perkebunan sawit dan tambang. Juga, serta mengembalikan daya tampung alam dan menghentikan kejahatan kehutanan dan lingkungan dengan penegakan hukum.

“Kami mendesak lahirnya kebijakan baru berupa Undang-Undang Keadilan Iklim dan dicabutnya aturan dan kebijakan yang menjadi sumber perusakan lingkungan hidup di Indonesia,” kata Zenzi.

Yosi Amelia, Program Officer Hutan dan Iklim Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, Indonesia memiliki hutan alam primer dan sekunder seluas 89,7 hektar yang seharusnya dilindungi. Berdasarkan analisis Madani 2022, masih ada hutan alam seluas 9,6 juta hektar belum terlindungi.

“Pengoptimalan upaya perlindungan dan penyelamatan hutan alam tersisa mulai dari risiko rendah hingga tinggi seharusnya jadi langkah kunci untuk mencapai ambisi Indonesia FoLU Net Sink 2030.”

Rencana operasional IFNET 2030 fokus perlindungan hutan alam pada wilayah yang memiliki indeks prioritas lokasi (IPL) dengan skala 7-9 atau hutan alam yang memiliki risiko deforestasi tinggi. Sementara, kata Yosi, dengan perlindungan hutan alam pada IPL 7-9 masih belum mencukupi untuk memenuhi target IFNET menuju nol deforestasi hingga sangat mungkin memperluas aksi mitigasi pengurangan laju deforestasi pada risiko rendah-sedang.

Dengan ada komitmen Pemerintah Norwegia ini, katanya, mampu mendorong aksi mitigasi pada wilayah hutan yang berisiko rendah hingga sedang juga.

 

 

 

******

Exit mobile version