- Komunitas adat Barambang Katute di Kabupaten Sinjai, Sulsel telah eksis sejak ratusan tahun silam memiliki sejarah dan tradisi serta bukti-bukti fisik akan keberadaannya. Termasuk memiliki dua kawasan hutan yang dikeramatkan.
- Terdapat mekanisme adat dalam pengelolaan hutan termasuk sanksi bagi yang melanggar. Sanksi terberat adalah pengusiran dari kampung.
- Komunitas adat Barambang Katute kini menuju pengakuan sebagai masyarakat adat dari pemda dan di saat yang sama diajukan status hutan adat seluas 1.116 hektar.
- Pemerintah desa banyak memberi dukungan melalui program desa setelah ditetapkannya hutan adat.
Ismail (70) terlihat duduk menunggu di depan kantor desa. Begitu melihat kedatangan kami, ia beranjak dan tersenyum menyambut. Seperti perjumpaan terakhir dengannya beberapa tahun silam, ia terlihat sehat dan penuh semangat.
Ismail adalah seorang pemangku adat di komunitas adat Barambang Katute. Dalam struktur adat ia disebut tomatoa, yang merupakan dewan adat tertinggi. Komunitas adat Barambang Katute sendiri yang secara administratif berada di wilayah Desa Barambang, Kecamatan Sinjai Borong, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Sebuah kampung tua berjarak sekitar 40 Km dari ibukota kabupaten.
Sebagai tomatoa, Ismail telah seringkali mewakili warga dan bahkan masyarakat adat di Kabupaten Sinjai di berbagai forum daerah, nasional dan bahkan internasional. Dia tak terlihat canggung ketika berdiskusi terkait progres pengajuan hutan adat Barambang Katute yang kini sudah dalam tahap akhir.
“Sudah diajukan ke pemerintah, tinggal menunggu pengesahan,” katanya saat ditemui di kantor Desa Barambang, Jumat (2/9/2022).
Masyarakat adat Barambang Katute telah eksis dan bermukim di daerah itu sejak ratusan tahun silam. Sebuah daerah pegunungan dan perbukitan dengan hutan yang masih terjaga.
Lokasi hutan adat Barambang Katute sendiri agak jauh dari lokasi pusat desa. Ismail hanya bisa menunjukkan daerah tersebut dengan menunjuk ke kejauhan, daerah pegunungan yang dipenuhi pepohonan rimbun hampir tak terjamah.
“Hutan-hutan itu dijaga oleh adat. Bahkan ada hutan keramat yang sama sekali tak boleh ada aktivitas penebangan di dalamnya, yaitu di barannai dan lembangia. Tak dibolehkan mengambil apapun di dalamnya selain tali pengikat atau rotan,” katanya.
Masyarakat adat Barambang Katute mengelola wilayahnya dengan konsep keseimbangan antara pengelolaan dengan kelestarian. Wilayah mereka dibagi dua bagian yaitu wilayah kelola dan yang dilarang untuk dikelola.
baca : Pemetaan Wilayah Adat Lebih 20 Juta Hektar tetapi Pengakuan Minim, Mengapa?
Dalam mengelola hutan masyarakat adat Barambang Katute punya mekanisme tersendiri. Ada banyak aturan dan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan. Misalnya ada larangan menebang pohon dengan jarak 100 meter dari sungai karena dinilai akan merusak ekosistem sungai, serta larangan untuk menebang pohon yang masih kecil.
“Jika ada penebangan pohon maka wajib diadakan reboisasi di sekitar wilayah penebangan dengan menanam 10 pohon sebagai pengganti akan tetapi tidak dijadikan untuk milik pribadi,” ujar Ismail.
Bagi yang menebang kurang dari sepuluh pohon, akan dikenakan sanksi ringan dengan melakukan penanaman ulang kemudian memelihara hingga besarnya sama dengan yang telah ditebang.
“Jika menebang pohon di atas sepuluh pohon akan dikenakan sanksi berat dengan diberikan peringatan sampai tiga kali namun ketika tidak diindahkan maka akan diusir dari kampung.”
Sejarah Adat Barambang Katute
Dikisahkan Ismail, penghuni pertama Barambang adalah seseorang yang disebut Barambang Camu yang menempati rumah di Bontolasuna Desa Barambang. Rumah pertama ini merupakan rumah adat bagi komunitas adat Barambang Katute.
“Di sinilah awal mula perkembangan masyarakat adat Barambang Katute sampai menyebar ke kampung lain seperti Bontokatute, Bolalangiri, Coddong, Bihulo, Ambi dan kampung Balang. Di setiap kampung dikepalai oleh seorang kepala kampung sebagai perwakilan dari Puang Barambang yang berkuasa pada saat itu.”
Salah satu bukti fisik yang menunjukkan keberadaan komunitas Barambang Katute adalah sebuah kuburan tua di Maroangin yang saat ini secara administratif berada dalam wilayah Desa Bonto Katute.
Bukti lain berupa sebuah kampung tua di Bontolasuna dan Ballalompoa di Katute serta beberapa tempat bersejarah yang sampai saat ini masih dihormati sebagai peninggalan nenek moyang masyarakat Barambang Katute.
Masyarakat adat Barambang Katute sendiri dipimpin oleh seorang pemangku adat yang disebut Puang Barambang, yang saat ini dijabat oleh Muhammad Dahyat. Sayangnya, ketika kami berkunjung ke komunitas ini, dia sedang berada di Luwu.
Puang Barambang dalam melakukan pengambilan keputusan memiliki bali tudangen atau dewan adat, yang disebut dengan tomatoa. Dalam menjalankan pemerintahan adat Puang Barambang dibantu oleh sejumlah perangkat adat, yaitu Sanro, Panre Tanra dan Guru.
baca juga : Pertama di Indonesia, Sulsel Segera Miliki Sistem Informasi Wilayah Adat
Puang Barambang selain memimpin komunitas juga bertindak sebagai penengah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang muncul di komunitas, misalnya terkait pengelolaan hutan dan lahan ataupun masalah-masalah terkait kehidupan sosial masyarakat dengan merujuk pada aturan-aturan adat.
Untuk Sanro, tugasnya terkait masalah kesehatan serta mengatur dan mempersiapkan ritual adat. Panre Tanra bertugas di bidang pertanian, perkawinan, perumahan. Termasuk berfungsi melihat dan menyesuaikan dengan keadaan cuaca untuk memulai beragam aktivitas masyarakat.
Sedangkan jabatan Guru, yang bertugas di bidang keagamaan, yang berfungsi sebagai perangkat adat yang mengatur pranata yang menyangkut ritual-ritual keagamaan.
Dalam pengambilan keputusan adat terdapat majelis yang disebut abbahang atau musyawarah adat, yang biasanya dilakukan untuk membahas hal-hal yang terkait pranata sosial dan pengelolaan sumber daya alam. Abbahang dihadiri oleh seluruh pemangku adat di dalam satu tempat yang ditentukan oleh pimpinan adat.
Terkait sistem kepemilikan tanah atau lahan telah dikuasai secara turun-temurun, dan merupakan tanah milik adat. Mereka mendapatkan hak atas tanahnya rata-rata berdasarkan peralihan hak dari orang tua atau nenek moyang.
Masyarakat Barambang Katute juga memiliki sistem pengobatan yang disebut mallopu, yaitu cara pengobatan dari daun-daun dan lumut yang diperoleh dari hutan atau tempat keramat biasa digunakan untuk penyakit peddi ulu atau sakit kepala, remmung atau demam dan joli-joli atau diare.
Mereka juga memiliki kemampuan alami yang disebut maddamoo hani atau makkoci bam’mpo yaitu kemampuan khusus mengambil madu tanpa membunuh lebahnya.
Komunitas ini juga memiliki kekayaan budaya berupa musik tradisional yang dibawakan oleh sebuah kelompok terdiri dari lima orang. Kelompok musik akan bernyanyi menggunakan bahasa konjo diiringi alat musik berupa suling, kecapi dan gendang.
Di wilayah Barambang Katute terdapat air terjun yang disebut air terjun kembar, karena terdiri dari dua air terjun yang terpisah hanya sekitar 50 meter, yang ramai dikunjungi warga di akhir pekan atau hari-hari libur. Airnya tak pernah kering meski di musim kemarau.
baca juga : Ilusi Konservasi dan Ancaman Perampasan Wilayah Adat
Pengakuan Hutan Adat
Saat ini, masyarakat adat Barambang Katute masih dalam penantian pengakuan hutan adat dari pemerintah. Segala proses identifikasi dan verifikasi sudah dilakukan. Segala dokumen yang dibutuhkan pun sudah diserahkan ke pemerintah beberapa waktu lalu. Luas hutan adat yang diusulkan adalah 1.116,6 hektar, sementara luas wilayah adat Barambang Katute sendiri seluas 3.170,60 hektar.
Menurut Jasmadi, pengurus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sinjai, pengakuan akan masyarakat adat di Sinjai diatur melalui Peraturan Daerah Sinjai No.1/2019 tentang Pedoman Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat. Untuk pengakuan komunitas nantinya akan diatur melalui SK bupati setelah dilakukan identifikasi dan verifikasi. Sementara untuk hutan adat akan ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Saat ini untuk Barambang Katute masih dalam pembahasan untuk ditetapkan di pemerintah daerah, masih ada beberapa hal yang butuh klarifikasi. Di saat yang sama kami juga sudah ajukan untuk pengakuan hutan adat di KLHK,” ungkap Jasmadi.
Dorongan untuk pengakuan hutan adat ini turut difasilitasi oleh program Kemitraan yang didukung oleh Ford Foundation dan Kementerian Dalam Negeri.
Menurutnya, pengakuan ini penting sebagai bagian dari kedaulatan masyarakat adat mengelola wilayahnya dengan mekanisme adat yang ada, serta melindungi wilayah adat dari ancaman dari luar, seperti yang pernah terjadi beberapa tahun silam.
Bohari, Kepala Desa Barambang Katute, menyatakan sangat mendukung perjuangan masyarakat adat Barambang Katute untuk pengakuan hutan adat serta akan memberikan dukungan melalui sejumlah program desa.