Mongabay.co.id

Ketika Puluhan Tahun Warga Nagari Aia Gadang Tak Ada Kejelasan Lahan Plasma

 

 

 

 

 

Eren ingat betul bagaimana sakit dan takut berlari dari aparat pada tahun 2000. Langkah tertatih melewati batang sawit perusahaan. Keringat mengucur deras, napas terengah-engah.

Dia terjatuh, tak sadar diri. Pukulan bertubi seakan tak lagi terasa. Masa-masa itu masih melekat kuat dalam warga dari Nagari Aia Gadang, Pasaman Barat, Sumatera Barat ini.

Kala itu, katanya, warga disuruh perusahaan berkumpul di kantor PT Anam Koto. Kabarnya mereka akan memberikan hak 20% dari lahan perkebunan sawit kepada warga.

“Tiba-tiba yang datang motor merah dan mobil merah yang membawa banyak aparat,” katanya.

Mereka buyar seketika. Aparat menembaki peluru karet dan memukuli beberapa warga.

Eren berlari ke kebun sawit perusahaan. Awalnya hanya dua orang yang mengejar, kemudian empat orang. Dia terjatuh, kepala dipukuli hingga tak sadarkan diri.

Dia terbangun di kantor perusahaan. “Ada beberapa orang waktu itu,” kata Eren.

Aparat membawa mereka ke rumah sakit dan masuk tahanan. Baru beberapa hari mereka dikeluarkan atas bantuan tokoh dari Nagari Aia Gadang.

Konflik lahan antara warga Nagari Aia Gadang dengan perusahaan sawit, PT Anam Koto, berlarut-larut hingga kini. Bahkan, pada 2022, kondisi makin memanas. Warga sempat mendekam dalam penjara.

 

Jalan di tengah perkebunan sawit, PT Anam Koto di Pasaman Barat. Perusahaan bermansalah lahan dengan warga sejak puluhan tahun lalu hingga kini. Foto: Jaka Hendra B/ Mongabay Indonesia

 

***

Pada 14 Juli 2022 malam, sekitar pukul 20.00 WIB, Wisnawati harus mendekam di penjara satu malam bersama anaknya yang berusia 3,9 tahun. Perempuan 39 tahun ini dilaporkan atas tuduhan penganiayaan kepala keamanan Anam Koto beberapa waktu lalu. Dia ditahan bersama empat warga Nagari Aia Gadang lain.  Wisnawati mendapat kelonggaran jadi tahanan kota.

Dia ingat betul waktu itu masih pukul 9.00 pagi. Dia sedang berada di pondok lahan yang warga duduki kembali (reclaiming). Tiba-tiba dia melihat beberapa petugas dengan alat penyemprot.

Awak kiro menyemprot rumput. Kiranya menyemprot (meracuni) tanaman kami. Tu saya usir biar tanaman kami tidak disemprot sado alahnyo (semuanya),” kata Wisnawati.

Dia melihat satpam dan koordinator satpam mengawal para penyemprot. Mereka sekitar 20 orang. Wisna tidak memukul atau melakukan kekerasan fisik. “Cuma mengejar-ngejar mereka saja agar keluar dari area kejadian (area penanaman),” katanya.

Lantas Wisna dan yang lain dorong-dorongan dengan petugas keamanan perusahaan. Setelah kejadian itu, Wisna dapat surat panggilan dari polisi. Isinya, tuduhan pengeroyokan sama di depan umum.

Setelah penetapan sebaai tersangka, Wisna memutuskan tinggal di rumah.

Empat rekan Wisna yang lain masih mendekam dalam   tahanan Polres Pasaman Barat. Ada Idamri (39), Safridin (41), Rudi (31) dan Jasman (45). Mereka semua sebagai tulang punggung keluarga yang meninggalkan anak-anak dan istri.

Untuk membantu keuangan keluarga mereka, Serikat Petani iuran setiap Jumat dan menyerahkan pada setiap keluarga. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang juga mengumpulkan donasi dari Jakarta.

“Anak-anak mereka rata-rata tidak mau sekolah semenjak bapak mereka tidak pulang-pulang,”kata Susi, warga yang ikut reclaiming. 

Istri Rudi hanya bisa menangis saat duduk di luar pengadilan. Air mata makin deras ketika ditanya dampak penangkapan Rudi, pada mereka. Anak-anaknya tidak mau sekolah, penghasilan keluarga terhenti. Warga yang ditangkap rata-rata buruh tani.


 

Duduki lahan

Pada 21 Februari 2022, warga mulai reclaiming atau menduduki lahan seluas 711 hektar yang sudah ditentukan titiknya oleh tim Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Pasaman Barat.

“Di dalam situlah kita menduduki lahan, membuat pondok-pondok, menanami tanaman muda sebagai bentuk protes pada Anam Koto dan pemerintah terkait kewajiban mereka memberikan 20% lahan untuk plasma,” kata Akmal, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) di Nagari Aia Gadang, Pasaman Barat.

Dia bilang, lebih enam bulan mereka menduduki lahan masih belum ada titik terang. Perusahaan bahkan mendatangi warga dan menanyakan alasan reclaiming.

Alasan warga masih menuntut hak 20% plasma dari perusahaan yang berdiri di tanah ulayat mereka sejak medio 90-an.

“Kita berharap pemerintah daerag mendorong bersama agar hak kita dikabulkan. Yang menentukan memang pemerintah daerah.”

Dalam proses enam bulan itu ada beberapa kali intimidasi kepada warga. Pada 28 Februari 2022, dari perusahaan menebang tanaman-tanaman warga seperti pisang, durian, kelapa dan alpukat.

Pada 8 April 2022, perusahaan mendatangi warga dan mengatakan lokasi itu tak aman. Kemudian, 9 April, sekitar 35 sekuriti berpakaian seragam cokelat merobohkan 11 pondok warga dari atap rumbia dan pondok terpal. Lalu,

28 Mei 2022, perusahaan melalui tim keamanan diduga meracuni tanaman yang ditanami warga sejak enam bulan lalu. Jagung, terong, kacang panjang dan pisang mati.

“Saat itulah masyarakat melakukan pembelaan supaya tanaman tidak diracuni perusahaan, Saat itu pula terjadi adu mulut dan dorong mendorong. Tanpa sengaja ada beberapa orang melakukan pemukulan terhadap koordinator satpam di bagian belakang.”

Dari perusahaan melaporkan ke Polres Pasaman Barat.

Sebelumnya, kata Akmal, mereka juga melaporkan perusahaan merusak pondok warga. Penyelidikan tak jalan karena alasan lokasi yang reclaiming dan ditanami warga dalam HGU Anam Koto.

“Kita sudah sampaikan pada perusahaan kalau pun memang ini HGU Anam Koto coba lihatkan pada kami HGU-nya. Kalau pun ada, di peraturan ada hak dan kewajiban. Ternyata tidak ada penjelasan pasti terhadap pertanyaan-pertanyaan kita,” katanya.

Akmal mengatakan, SPI Nagari Aia Gadang mengusulkan penetapan tanah obyek reforma agraria (Tora) ke SPI pusat untuk 246 keluarga. SPI di Jakarta melaporkan pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

 

Warga nagaria Gadang mendirikan posko perjuangan di lahan reclaiming. Foto: Jaka Hendra B/ Mongabay Indonesia

 

Mongabay  menghubungi Sekretaris Daerah Pasaman Barat, Hendra Putra, soal masalah ini. “Kalau itu lebih paham Asisten 1 Setia Bakti. Langsung saja hubungi beliau.”

Setia Bakti, Asisten I Bupati Pasaman Barat bilang tanah di Anam Koto belum jadi tanah obyek reforma agraria (Tora) walau sudah ada pengusulan. Dia tak mau menjawab panjang lebar karena, katanya, kewenangan Dinas ATR-BPN.

Dia bilang, pemerintah daerah berupaya menyelesaikan setiap konflik di Pasaman Barat.

Saat ditanya soal wewenang bupati sebagai Ketua GTRA, dia bilang, tidak tahu. Dia lempar itu ke Badan Pertanahan Nasional Pasaman Barat sebagai pelaksana penetapan Tora.

Bupati Pasaman Barat mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 188.45/471/BUP-PASBAR/2022 tentang pelaksanaan kewajiban Anam Koto kepada Masyarakat Kanagarian Aia Gadang.

SK ini berdasarkan surat perjanjian antara Ninik Mamak Nagari Aia Gadang dan Anam Koto 19 November 1990. Dalam surat itu menyebutkan, Ninik Mamak Nagari Aia Gadang dengan salah satu syaratnya pembangunan plasma sekurang-kurangnya 10%.

Dalam SK itu disebutkan perusahaan harus menyerahkan 500 hektar untuk kebun plasma masyarakat.

“SK bupati itu upaya agar perusahaan melakukan kewajiban perusahaan yang dijanjikan sejak 1990. Kalau tidak dipatuhi akan kita kirim surat lagi,” katanya.

Setia enggan berkomentar tentang sanksi atau langkah yang akan pemerintah daerah ambil ketika perusahaan tak patuh.

 

 

Tanaman warga Nagari Aia Gadang di lahan reclaiming di Pasaman Barat. Foto: Jaka Hendra B/ Mongabay Indonesia

 

Mongabay coba menghubungi AKBP Muhammad Aries Purwanto, Kapolres Pasaman Barat melalui pesan WhatsApp dan telepon tetapi belum ada respon hingga kini.

AKP Fetrizal, Kasat Reskrim Polres Pasaman Barat mengaku kalau laporkan masyarakat tetap diterima. “Kami sudah pemeriksaan saksi, ahli pidana, ahli BPN, cek TKP (tempat kejadian perkara) dan gelar perkara. Statusnya henti lidik,” katanya.

Fetrizal billang, hasil pemeriksaan ahli menyatakan kalau perbuatan ada tetapi bukan tindak pidana. Secara legalitas tanah itu masih berstatus hak guna usaha (HGU).

Terkait argumentasi LBH Padang soal UU Pokok Agraria untuk menindaklanjuti laporan warga itu, polisi berdalih HGU belum batal. “Kalau masalah lahan, kalau merasa cacat silakan diajukan ke PTUN untuk membatalkannya,” kata Fetrizal.

Dia benarkan ada usulan Gugus Tugas Reforma Agraria. “Hasil GTRA tidak masuk. Cuma diusulkan benar. Tapi setelah diklarifikasi tidak memenuhi syarat,” katanya.

Saat ditanya syarat yang tak terpenuhi, Fetrizal mengarahkan bertanya ke GTRA.

“Tanya Tim GTRA. Kami hanya proses, bahwa di TKP ada HGU yang masih berlaku yang dicek BPN.”

Tamba, tim legal Anam Koto membenarkan ada laporan dari perusahaan.

“Sekarang mereka (warga) masih di dalam. Kita tidak mau bentrok lebih lanjut. Ya, kita bikinlah pengaduan ke Polres. Ngapain kita bentrok-bentrok dengan masyarakat,” katanya.

Dia mempertanyakan 20% alokasi bagi masyarakat Aia Gadang. “Dua puluh persen itu peraturan tahun berapa? HGU kita terbit tahun berapa? IUP terbit tahun berapa?” katanya.

Tamba akui perjanjian tentang pembagian 10%. “Yang 10% memang ada perjanjian dengan ninik mamak tahun 1990. Itu di luar lahan yang diserahkan ke kita.”

Pada 1990, katanya, perusahaan serahkan 5.000 hektar lahan dari Ninik Mamak Nagari Aia Gadang. Sekitar 5.000 hektar dari Muara Kiawai. “Jadi yang diserahkan pemda waktu itu ada 10.000 hektar untuk perkebunan sawit di Pasaman Barat,” katanya.

“Tahun 1991 disuruhlah kita mengganti rugi. Kita bayar ke dua nagari yaitu Muara Kiawai dan Aia Gadang. Yang kita bayar 10.000 hektar tapi yang bisa ditanami hanya 4.790 hektar.”

Dari dokumen SPI, menerangkan kronologis kasus Aia Gadang. Semua pada April 1990, saat pemerintah mengundang ninik mamak untukmenandatangani penyerahan ulayat pada investor perkebunan sawit.

Dalam berita acara mereka ada perusahaan dan Pucuk Adat Nagari Aia Gadang serta Ketua Karapatan Adat Nagari Muara Kiawai mengaku sepakat. Mereka setuju transaksi kalau hutan rimba hak ulayat sekitar 8.000 hektar diserahkan ke perkebunan.

Pihak pertama (perusahaan) mendapatkan lahan dengan cara adat isi limbago dituang, silih jarih kepada Muara Kiawai dan Nagari Aia Gadang Rp37.000 per hektar. Pada poin ketiga, dalam pelaksanaan ada pola kebun inti dan plasma dapat menjadi anak atau kelompok tani atau koperasi unit desa.

Juga poin soal pembayaran terakhir setelah selesai pengukuran oleh BPN atas dana 50% persen lagi.

Pada 19 Nobvember 1990, tercatat berita acara penyerahan luasan lahan berbeda. Pada berita pertama ada 8.000 hektar diserahkan kedua nagari, namun berita acara kedua 10.000 hektar tetapi tidak semua bisa digunakan perusahaan. Hingga kini, masyarakat belum mendapatkan alokasi 10% plasma itu.

LBH Padang memandang Polres Pasaman Barat harus obyektif. “Harus melihat kasus ini tak hanya dari pidana murni. Tapi sebab akibat itu harus dilihat juga,” kata Diki Rafiqi, Kepala Bidang Agraria dan Lingkungan LBH Padang.

Dia bilang, polisi jangan hanya mendengar kasus ini secara sepihak dari perusahaan tetapi masyarakat juga.

Kalau melihat fenomena ini, polisi hanya memproses pelaporan perusahaan, tetapi tidak begitu dengan laporan masyarakat.

”Padahal, dalam konteks pidana itu kalau di Undang-undang Pokok Agraria, tanah dan apa yang ada di atas berbeda kepemilikan, tidak serta merta punya tanah lalu memiliki tanaman di atasnya.”

Warga yang sudah jatuh tertimpa tangga ini masih berharap ada titik terang atas alokasi lahan buat mereka. Kalau tak ada lahan tani, hidup mereka makin sulit.

Seperti Wisna, suaminya sebagai buruh tani terkadang hanya bekerja dua kali seminggu. Bahkan, akhir-akhir ini mulai jarang.

Wisna berharap, penetapan titik obyek reforma agraria dikabulkan.

“Untuk masa depan anak. Kalau awak pendidikan terputus. Mudah-mudahan anak tidak, itu bisa untuk menyekolahkan anak-anak.”

 

 

******* 

 

Exit mobile version