Mongabay.co.id

Generasi Muda Desak Keseriusan Aksi Pemerintah Tekan Krisis Iklim

 

 

 

 

“Mari sini, berkumpul kawan. Lawan .. Lawan.. Terus melawan. Di Sudirman, di jalanan. Angkat sekali lagi postermu kawan. Di Sudirman, di jalanan. Kobarkan api perlawanan.” Begitu penggalan lirik Di Sayidan, satu lagu populer Band Shaggydog terdengar lantang dalam aksi iklim para anak-anak muda di Jalan Thamrin-Sudirman, Jakarta, 23 September lalu.

Hari itu, merupakan aksi anak muda suarakan kirisis iklim serentak di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

Di Indonesia, berbagai komunitas dan organisasi pemuda, organisasi masyarakat sipil menggelar aksi Jeda Iklim Global (Global Climate Strike) serentak di berbagai kota. Mereka suarakan kekhawatiran situasi saat ini n mendatang kalau tak ada aksi nyata untuk mengatasi krisis iklim.

 

Aksi iklim generasi muda di Jakarta, Jumat lalu. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Farah Adhiba dari Sirampong, Brebes, Jawa Tengah khawatir cuaca kian tidak menentu. “Setiap hujan makin was-was, rumah saya korban longsor September lalu,” kata pemuda 21 tahun ini.

Bahkan, desa tetangganya, banjir bandang, sebelumnya tidak pernah terjadi.

“Saya khawatir, bagaimana tempat kita tinggal ke depan, mau tinggal dimana kalau situasi ini terus mengancam?” tanyanya.

 

Anak-anak muda di Jakarta, aksi iklim untuk mendesak pemerintah beraksi nyata hadapi krisis iklim. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Dia membawa kipas dengan lukisan dengan dua gambar kontras, antara langit biru bertuliskan ‘mau hidup lama’ dan langit warna abu-abu hitam bertuliskan ‘punah cepat.’

Sabila Nur Fitri, dari Kecamatan Ciwidey, Jawa Barat bilang, mereka di sana mulai merasakan dampak perubahan iklim, seperti cuaca tak menentu berdampak pada hasil panen pertanian di sekitar Ciwidey.

“Sekarang mah mau panen padi sedikit, ini juga cuma jadi pemasukan sampingan,” katanya. Orangtuanya memilih jadi buruh pabrik.

 

Aksi pemuda dari Batang, yang merasakan dampak dari kehadiran pembangkit batubara ini. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Belum lagi, katanya, lahan pertanian beralihfungsi jadi perumahan, cuaca selalu menipu membuat gagal panen, hasil strawberry tak sebagus dan senikmat saat dia masa kecil. “Saya khawatir, apalagi air sudah susah harus pakai air kemasan.”

Gerakan ini merupakan sebagai ekspresi kekecewaan dan keresahan anak muda teradap sikap pemerintah yang lalai dalam menghadapi ancaman krisis.

Reka Maharwati, perwakilan dari Enter Nusantara mengalami keresahan sama. Dia bersama gerakan Bumi Butuh Aksi menyatakan sikap memukul mundur krisis iklim.

 

Krisis iklim butuh aksi nyata bukan hanya janji atau ilusi. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Dengan aksi iklim ini dia berharap, bisa mengetuk aksi nyata dan mampu menekan pemerintah dan pelaku bisnis untuk melakukan perubahan sistematis dan melakukan aksi iklim sesegera mungkin.

“Kita sudah dapat melihat dampak krisis iklim dari pesisir utara Pulau Jawa yang setiap tahun makin tenggelam,” katanya.

Fandy Achmad, perwakilan Koalisi Keadilan Energi mengatakan, aksi ini untuk menyebarkan semangat dan mendorong meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan hidup.

 

Aksi iklim di Sumatera Utara meminta pemerintah serius hadapi perubahan iklim. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Dia berharap, isu iklim atau lingkungan hidup ini terus digaungkan hingga bisa mengubah mengubah sifat manusia yang pada dasarnya merusak. “Saya harap jadi sebuah pemantik dengan harapan makin banyak orang peduli dan melakukan hal-hal  baik untuk bumi dan lingkungan.”

Tak hanya diJakarta. Aksi iklim generasi muda juga dilakukan di Sumatera Utara.

Yayasan Srikandi Lestari, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan bersama dengan 100-an pemuda berkumpul di depan Kantor Pos lama Medan aksi menuntut pemerintah Indonesia serius menangani perubahan iklim yang makin parah.

Sumiati Surbakti, Direktur Yayasan Srikandi Lestari mengatakan, kebutuhan mengatasi krisis iklim mendesak.

“Kami mendorong pemerintah melakukan tindakan segera, kongkret dalam mengatasi krisis iklim, ” katanya.

 

Sumut darurat, perlu aksi serius atasi krisis iklim. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Dalam aksi ini, ada beberapa poin tuntutan antara lain, pertama, mendorong pemerintah melalui working group Presidensi G20 segera melakukan tindakan kongkrit mencapai Kesepakatan Paris dalam membatasi kenaikan suhu global. Kedua, mendesak pemerintah meninggalkan energi fosil yang berkontribusi pada perubahan iklim. Ketiga,  mendorong pemerintah fokus kepada pendanaan ke energi terbarukan yang ramah lingkungan.

Mereka menggelar aksi teatrikal dan pembacaan puisi tentang perubahan iklim dan desakan terhadap pemerintah agar segera atasi krisis iklim. Tampak aparat kepolisian berjaga-jaga di sekitar lokasi.

Muhammad Alinafiah Matondang, Kepala Divisi Sumber Daya Alam LBH Medan mengatakan, Pemerintah Indonesia tak konsisten dalam menekan perubahan iklim ini. Kebijakan-kebijakan yang dibuat bertolak belakang dengan komitmen menekan perubahan iklim.

 

Aksi di Jakarta, Jumat pekan lalu, ‘Pukul Mundur Krisis Iklim.” Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Dia contohkan, UU Cipta Kerja, yang cenderung mengutamakan investasi. LBH Medan, mendesak cabut Undang-undang ini dan memberikan perlindungan terhadap masyarakat yang terdampak dari limbah beracun batubara penyebab peningkatan perubahan iklim.

Dia bilang, dalam membuat aturan dan kebijakan harus bisa melindungi masyarakat dan tidak mengkriminalisasi mereka yang menuntut mendapatkan ruang hidup sehat dan bersih serta terbebas dari limbah beracun seperti batubara.

“Buat Undang-undang perlindungan terhadap para penggerak HAM, aktivis lingkungan yang bergerak menuntut kebenaran. Hentikan penggunaan batubara untuk bahan bakar dan setop pembangkit listrik batubara.”

****

 

Exit mobile version