Mongabay.co.id

Pentingnya Big Data, Memantau Perdagangan Online Burung Kicau di Indonesia

 

 

Para peneliti di Indonesia telah memanfaatkan kekuatan data besar (big data) untuk memantau perdagangan online burung kicau yang marak, sebagai alat konservasi penting karena tidak adanya platform lain untuk menindak perdagangan.

Para peneliti dari Center for International Forestry Research (CIFOR), mengembangkan “Support Vector Machine,” atau SVM, untuk mengumpulkan semua daftar iklan burung kicau antara April 2020 dan September 2021, dari pasar online di Indonesia.

Alat berbasis web-scraping ini menemukan 326.201 daftar iklan yang relevan, sebanyak 284.118 burung kicau, tulis para peneliti dalam riset yang diterbitkan pada 5 September 2022 di jurnal Global Ecology and Conservation.

“Melihat hasil penelitian kami, perdagangan menggunakan platform online memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi,” kata penulis utama Beni Okarda kepada Mongabay melalui email.

 

Menurut kelompok pemantau perdagangan satwa liar, Indonesia adalah rumah bagi jumlah terbesar spesies burung terancam di Asia. Foto: Beni Okarda

 

Memelihara burung kicau adalah hobi yang populer di Indonesia, terutama di kalangan orang Jawa, yang melihatnya sebagai penanda status dan mempromosikan ketenangan pikiran.

Kegiatan ini telah meluas ke luar Jawa, sebagian besar berkat program transmigrasi pemerintah yang memindahkan penduduk pulau berpenduduk padat ini, ke bagian lain negara, memungkinkan pemeliharaan burung berakar di wilayah tersebut.

Studi sebelumnya tentang perdagangan burung telah menyoroti pasar perkotaan di Jawa dan Sumatera. Sebuah laporan tahun 2005 memperkirakan, rata-rata 614.180 burung kicau di hutan ditangkap dan diperdagangkan setiap tahun di kedua pulau tersebut.

Burung kicau juga dihargai untuk ditampilkan dalam kontes, yang telah melahirkan jaringan klub, forum online, dan blog yang berkembang pesat.

Okarda mengatakan, spesies yang mereka identifikasi dalam daftar online, sebagian besar mencerminkan komposisi burung kicau yang dipelihara di rumah seperti yang diidentifikasi dalam studi tahun 2020.

Tim Okarda juga menemukan, lebih dari 6% iklan, atau lebih dari 18.000, mencantumkan burung spesies terancam, seperti jalak suren (Gracupica jalla) dan cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), keduanya berstatus Kritis (Critically Endangered).

Pola lain yang disorot penelitian ini adalah sebagian besar penjual tidak berprofesi sebagai pedagang. Artinya, mereka tidak membeli dan menjual burung untuk tujuan komersial, tetapi sebagai penghobi. Sebagian besar berbasis di Jawa, dengan sebagian besar transaksi terjadi di kota atau pulau yang sama.

“Saya percaya infrastruktur seperti e-commerce adalah salah satu faktor utama dari aktivitas perdagangan online yang sukses,” rekan penulis studi Sonya Dyah Kusumadewi mengatakan kepada Mongabay melalui email, merujuk pada internet yang dapat diakses secara luas dan sejumlah besar layanan pengiriman, termasuk pengiriman di hari yang sama.

 

Menurut kelompok pemantau perdagangan satwa liar, TRAFFIC, Indonesia adalah rumah bagi sejumlah besar spesies burung yang terancam punah di Asia. Foto: Beni Okarda

 

Indonesia adalah rumah bagi jumlah terbesar spesies burung terancam punah di Asia, menurut TRAFFIC, sebuah kelompok pemantau perdagangan satwa liar. Negara di Asia Tenggara ini memiliki daftar spesies dilindungi dan melarang penangkapan atau perdagangan beberapa satwa liar yang terancam punah.

Siapapun dapat dihukum jika menangkap spesies yang dilindungi di alam liar, lima tahun penjara dan denda 100 juta Rupiah berdasarkan Undang-Undang Konservasi Tahun 1990.

Tetapi, pemerintah juga memberikan kuota untuk fasilitas penangkaran yang terdaftar, menangkap spesies dilindungi di alam liar untuk tujuan penangkaran. Fasilitas ini kemudian dapat menjual keturunan, namun yang terpenting, tidak ditetapkan sebagai dilindungi.

Menurut para konservasionis, masalah utamanya adalah banyak penangkaran tidak mendaftarkan diri atau burung kicau yang mereka biakkan, sehingga semakin besar kemungkinan burung yang mereka hasilkan sebenarnya ditangkap dari alam liar dan ‘dicuci’ melalui fasilitas tersebut. Kuota yang meningkat untuk pengembangbiakan hewan di fasilitas konservasi komersial Indonesia, tampaknya memicu perdagangan satwa liar ilegal, menurut TRAFFIC.

Selain itu, para kolektor lebih memilih burung yang ditangkap dari alam liar, yang mereka yakini memiliki kualitas kicauan lebih baik daripada burung penangkaran, kata TRAFFIC. Mereka bersedia membayar dan memberi insentif para pedagang untuk menyimpan burung-burung yang ditangkap secara liar, ketimbang bersusah payah membiakkan dari spesies yang sama.

Konservasionis telah bertahun meminta pemerintah untuk memperbarui Undang-Undang Konservasi dan termasuk mengatur perdagangan satwa liar online, tetapi tidak berhasil. Sementara, undang-undang yang ada tentang transaksi elektronik memang membahas perdagangan satwa liar online, dan itu masih jauh dari cukup untuk membendung praktik yang sebenarnya, kata pengamat.

 

Burung kicau di Indonesia juga ditampilkan dalam kontes, yang telah melahirkan jaringan klub, forum online, dan blog yang berkembang pesat. Foto: Beni Okarda

 

Pada 2017, Wildlife Conservation Society yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum Indonesia untuk menangkap para pedagang, mengatakan bahwa setidaknya 40% dari pedagang satwa liar ilegal di negara ini menggunakan platform online seperti WhatsApp untuk melakukan transaksi mereka sejak 2011. Nilai perdagangan ilegal ini mencapai 13 triliun Rupiah ($868 juta) per tahun.

Okarda berharap temuan timnya, dan alat SVM yang mereka kembangkan, dapat menjadi model bagi otoritas Indonesia untuk memantau pasar online. Mengingat, Indonesia adalah hotspot satwa liar global dan salah satu pasar online terbesar di dunia, membingungkan bahwa Indonesia tidak memiliki sistem pemantauan untuk pasar burung kicau online, katanya.

“Pemantauan perdagangan burung kicau perlu diperluas ke pasar online juga,” papar Okarda.

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: Big data monitoring tool aims to catch up to Indonesia’s booming online bird trade. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

Exit mobile version