Mongabay.co.id

‘Transisi Energi’ ala Campur Batubara dan Biomassa Hadapi Kendala

 

 

 

 

Pencampuran porsi kecil biomassa dengan batubara (co-firing) di pembangkit listrik jadi salah satu langkah pemerintah untuk transisi energi. Klaimnya, cara ini bisa mengurangi emisi sekaligus menjaga akses energi. Benarkah? Sementara di lapangan, para pelaksana pun berkutat dengan persoalan teknis dari masalah mesin, sampai keberlanjutan sumber-sumber biomassa.

Yudo Dwinanda Priadi, Ketua Energy Transition Working Group (ETWG) mengatakan, ETWG fokus pada akses, teknologi dan pendanaan transisi energi.

Co firing adalah salah satu teknologi yang kita coba untuk membuatnya lebih terjangkau,” kata dalam diskusi daring beberapa waktu lalu.

Hingga Mei 2022, ada 32 PLTU dari rencama 52 PLTU yang menggunakan teknologi co firing. Meski, tak semua PLTU sudah menjalani percobaan bisa mengaplikasikan teknologi ini.

PLTU Tanjung Jati B salah satunya. Menurut Hari Cahyono, General Manager PLTU Tanjung Jati B Jepara, meski sudah menjalani uji coba, namun boiler PLTU ini masih belum sepenuhnya bisa menerima pencampuran bahan bakar dari sekam kayu.

“Kendala di mesin,” katanya.

Bahan bakar sekam kayu, kata Hari, memiliki kalori lebih rendah dari batubara. Boiler PLTU ini didesain untuk bahan bakar dengan kalori 5700 kkal, sementara pembakaran sekam kayu hanya 4.000 kkal.

“Bisanya dipakai di PLTU dengan desain low ring calorie.”

 

 

Dokumen: Kajian Trend Asia soal emisi karbon dari co-firing biomassa PLTU

Batubara baru dipindahkan dari kapal ke tongkang kemudian dikirim ke PLTU. Foto: Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

 

Meski demikian, Dirjen Minerba KESDM, Ridwan Djamaluddin menekankan, co firing ini menunjukkan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi pada 2060 dan upaya transisi energi.

“Saat ini berbagai potensi biomassa sedang dalam proses standardisasi nasional,” kata Ridwan.

Beberapa potensi biomassa yang bisa dimanfaatkan berupa hutan tanaman energi 444 juta ton, sekam kayu 2 juta ton, pelet kayu 800.000 ton, sawit 12 juta ton, sekam padi 10 juta ton, tandan buah 7 juta ton, dan sampah rumah tangga 68.000 ton.

Namun Ridwan bilang, masih ada tantangan teknis terkait boiler dan feeding equipment karena beda karakter antara batubara dan biomassa.

Slamet Handoko, Coal Development and Utilization Testing Group Tekmira KESDM mengatakan, teknologi biomass pyrolysis bisa dipakai sebagai teknologi yang dapat mengganti sejumlah batubara sebagai bahan bakar tanpa mengubah boiler namun tetap dengan kualitas pembakaran sama.

“Keuntungan utama, mengurangi emisi gas rumah kaca dan menambah bauran energi terbarukan,” katanya.

Saat ini, PLTU telah menggunakan 290.000 ton total biomassa. Target pada 2025 PLTU sudah co firing dengan 10,2 juta ton biomassa.

Sekitar 90% co-firing saat ini oakai sekam kayu karena karakteristik mirip dengan batubara.

“Tak perlu ada perubahan peralatan. Namun belum ada sistem pengumpulannya.”

Slamet mengatakan, ada tiga jenis co-firing, langsung, tidak langsung dan paralel.

Co-firing langsung, mencampur batubara dan biomassa sekaligus. Sekam kayu, paling cocok untuk jenis ini.

Co-firing tidak langsung, biomass digasifikasi lalu dicampur dengan pembakaran batubara. Co-firing paralel, katanya, perlu dua boiler berbeda.

Kalau melihat jenis boiler, katanya, ada tiga jenis PLTU. Pertama, pulverized coal boiler di PLTU dengan kapasitas besar, kebanyakan di Jawa, seperti PLTU Suralaya, Paiton dan Pelabuhan Ratu.

Ada 12 PLTU dengan jenis boiler ini dengan kapasitas 15.000 megawatt yang cocok pakai biomassa sekam kayu.

Kedua, circulating fluidized boiler yang ada di 19 PLTU dengan kapasitas 2.605 megawatt. Ketiga, stocker boiler ada di 14 PLTU dengan kapasitas 229 megawatt.

Dia bilang, cangkang sawit punya potensi besar untuk jadi biomassa karena setok banyak dan bisa dikumpulkan di pabrik. Namun, katanya, perlu ada konversi dengan teknologi cocok agar pas dengan boiler PLTU.

“Potensinya 20 kali lebih banyak dari sekam kayu namun belum dipakai karena persoalan teknologi tadi.”

Tantangan mengembangkan co-firing, selain jumlah harus banyak dan suplai harus berkelanjutan, karakteristik juga harus mendekati batubara baik dari segi kalori maupun karakter lain.

Selain itu, kata Slamet, harga harus ekonomis.

Untuk mengubah cangkang sawit menjadi serbuk atau bubuk bisa pakai biomass pyrolysis yang mengurangi kadar air hingga lebih efektif dan mengurangi biaya.

“Keuntungannya, energi efisiensi tinggi bisa hampir menyamai batubara.”

Edi Wibowo, Direktur Bioenergi Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, KESDM mengatakan, bioenergi termasuk bioamssa, menyumbang 2 gigawatt untuk target bauran energi terbarukan 23% pada 2025 yang pada 2021 baru 12,2%.

Untuk mencapai target ini, katanya, co-firing akan dijalankan pada 113 PLTU di 52 lokasi dengan kapasitas 18.664 megawatt.

“Targetnya 15% pada 2035.”

Potensi sumber biomassa, katanya, dari hutan tanaman energi (HTE) 49.578 hektar atau setara 991.560 ton, dengan potensi pengembangan bisa 27,2 juta hektar atau 545 juta ton biomassa. Dia tak menjelaskan lebih detil soal dari mana angka 27 juta hektar yang disebut ‘potensi lahan HTE” itu.

 

Polusi udara dari sebuah pembangkit listrik bertenaga batubara. Foto : shutterstock

 

Selain itu, ada potensi limbah pertanian seperti batok kelapa 425.978 ton, limbah industri sekam kayu 2,4 juta ton, sekam padi 10 juta ton, pelet kayu 789.000 ton dan sawit 12,8 juta ton.

Co-firing ini dianggap bisa mengurangi penggunaan energi fosil, harga lebih terjangkau dengan PLTU, meningkatkan bauran energi yang cepat dan mudah, mengurangi emisi sulfur dioksida dan mengurasi gas rumah kaca.

Target KESDM tahun ini co-firing bisa implementasi di 35 lokasi yang akan membantu dekarbonisasi 0,334 juta ton CO2 dengan 0,45 juta ton biomassa setara 340 gwh.

Hingga Juni 2022 sudah implementasi di 32 lokasi, diperkirakan mengurangi 0,263 juta ton CO2, dengan pemakaian 0,255 juta ton biomassa yang setara dengan 265 gwh.

Dalam pengembangan peta jalan energi terbarukan, lanjut Edi, target co-firing biomassa pada 2025 yakni 12,7 twh di 52 PLTU yang membutuhkan 10,20 juta ton biomassa.

Wiluyo Kusdwiharto, Direktur Megaproyek dan EBT PLN mengatakan, co-firing juga satu komitmen PLN mencapai target 23% ebt pada 2025, phase out coal pada 2056 dan net zero emission pada 2060, selain tidak memberikan izin baru bagi PLTU setelah 2022.

“PLN juga sudah melakukan tes untuk cangkang sawit 100% namun butuh feedstock berkelanjutan dan perlu modifikasi pada PLTU,” katanya.

Untuk mencapai target 2025 butuh 10,2 juta ton feedstock. PLN, klaim berhasil di 32 lokasi dan sudah uji coba di 47 lokasi.

Sementara Atsuhiro Hanatari Direktur IHI Power Service Indonesia mengatakan, kalau biomasaa pakai pelet kayu tak mesti sama dengan karakteristik batubara.

“Pembakaran tidak langsung paling cocok untuk Indonesia karena banyak bahan bakar terutama di Pulau Jawa.

Jiho Yoo, peneliti Korea Institute of Energy Research mengingatkan, co-firing pada industri semen juga perlu karena juga banyak pakai batubara.

 

PLTU INdramayu 1, mulai co-firing antara bomassa dan batubara. Di lapangan, warga juga mengeluhkan debu dari pengangkutan bahan-bahan biomassa. JUga asap yang mengepul memenuhi perkampungan. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Risiko co-firing

Belum lama ini, Trend Asia melakukan kajian terhadap penerapan co-firing biomassa dengan 52 PLTU. Organisasi yang konsern transisi energi terkeadilan ini menemukan, alih-alih menekan emisi karbon, malah ada risiko terjadi deforestasi sampai permintaan batubara terus meningkat walau ada co-firing. Pemerintah pun diminta mengkaji ulang, jangan sampai kebijakan berlabel transisi energi untuk menekan emisi malah memberikan hasil sebaliknya.

Hasil analisis Trend Asia menunjukkan, meskipun total setok karbon yang akan dimiliki seluruh HTE yang mendukung co-firing pada 52 lokasi PLTU itu diperhitungkan, net emisi tetap positif.

 

********

Exit mobile version