Mongabay.co.id

Sosialisasi PKL dan Jaminan Sosial KKP, Nelayan Keluhkan BBM Langka

 

Puluhan nelayan lokal Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) mengikuti acara sosialisasi Perjanjian Kerja Laut (PKL) dan Jaminan Sosial di Kantor Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Senin, 27 September 2022. KKP bersama BPJS Ketenagakerjaan menekankan nelayan sangat penting memiliki PKL dan jaminan sosial apalagi resiko pekerjaan yang cukup besar.

Direktur Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Mansur mengatakan, PKL merupakan program untuk menjamin kepastian antara pihak, baik pemilik kapal dan awak kapal perikanan (AKP). Di dalam perjanjian akan dijelaskan hak dan kewajiban kedua pihak. “Termasuk ketika terjadi konflik (antar pihak), perjanjian PKL akan menjadi landasan menyelesaikan masalah tersebut,” katanya.

Selain itu penerapan PKL adalah upaya pemerintah memastikan perlindungan untuk awak perikanan, serta menjamin kopetensi AKP untuk keberlangsungan perikanan tangkap. “PKL juga membuat nelayan bangga menyandang profesi itu,” lanjutnya.

Dia berharap setiap APK di Indonesia masing-masing memiliki PKL. “Awak kapal jangan sebagai objek tetapi sebagai mitra,” kata Mansur yang baru beberapa hari lalu dipindahtugaskan menjadi Kepala Pelabuhan Samudera Jakarta.

 

Sosialisasi Nelayan Kecil

Nelayan yang hadir dalam sosialisasi merupakan nelayan kecil yang memiliki ukuran kapal dibawah 30 gross tonnage (GT). Padahal, tahap awal ini PKL lebih ditekankan diterapkan oleh kapal berukuran 30 GT ke atas.

Direktorat Kepelabuhan Perikanan KKP Bambang S Sugiharto mengatakan, PKL ini masih diperuntukkan untuk nelayan yang memiliki kapal 30 GT. Sedangkan untuk kapal kecil ukuran 5 GT akan dimulai Februari 2024. “Kalau (nelayan dibawah 30 GT) sudah siap, bisa mengajukan dari sekarang,” kata Bambang.

Meskipun begitu, Mansur mengatakan, potensi pelanggaran akan terjadi oleh pemilik kapal berukuran kecil dan awak kapal. Saat ini banyak kejadian awak kapal yang nakal, misalnya setelah kasbon melarikan diri. “Kejadian itu yang akan diatur dalam PKL, agar tidak terjadi lagi,” ujarnya.

baca : Nasib Nelayan Natuna: Terusir Dari Laut Sendiri, Ditangkap di Laut Malaysia

 

Acara sosialisasi Perjanjian Kerja Laut (PKL) dan Jaminan Sosial untuk awak kapal perikanan dan nelayan di Kantor PSDKP Kota Batam. Foto Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

KKP juga sedang merancang pendataan AKP dalam sebuah data yang terintegrasi, sehingga pemilik kapal mempunyai catatan track record tingkah laku AKP sebelum dipekerjakan.

Selain itu, Mansur juga menyampaikan terkait kebijakan penangkapan ikan terukur yang diterapkan di Indonesia. Menurut Mansur selama ini banyak masyarakat salah memahami terkait kebijakan tersebut.

Penangkapan terukur dianggap akan menyingkirkan nelayan tradisional atau lokal. Padahal penangkapan terukur lebih mengedepankan pembagian zona tangkap yang mengutamakan nelayan lokal.

Misalnya di suatu perairan terdapat kuota penangkapan perikanan sebanyak 100 ribu ton. Sebelum kuota penangkapan dibagi kepada kapal investor, pemerintah akan membuka ruang untuk nelayan lokal mengajukan permintaan kuota. Mulai dari kapal nelayan berukuran kecil hingga kapal besar.

Jika 100 ribu ton kuota itu sudah habis digarap nelayan lokal, maka tidak perlu lagi campur tangan investor. “Pengajuan kuota juga mudah nantinya, hanya perlu syarat KTP nelayan dan surat domisili, kalau kuota ada sisa, baru ditawarkan ke investor,” katanya.

Penangkapan terukur sebenarnya mengatasi supaya pendistribusian ikan hasil tangkap bisa dilakukan di daerah masing-masing, tidak perlu ke Pulau Jawa. “Sehingga masyarakat disitu bisa mendapatkan manfaat dan juga untuk melindungi nelayan,” katanya.

Mansur juga mengajak nelayan yang hadir dalam forum tersebut untuk selalu menggunakan alat tangkap ramah lingkungan. “Ikan yang ada di laut bukan lah warisan yang bisa dihabiskan, tetapi ikan di laut adalah titipan yang harus dijaga untuk anak cucu masa akan datang,” katanya.

baca juga : Laut Natuna Diatur Zonasi, Nelayan: Jangan Batasi Kami

 

Seorang nelayan tradisional melaut di pesisir Pulau Batam, Kepulauan Riau. Foto Yogi Eka Sahputra

 

Jamsostek untuk Nelayan Kecil

Tidak hanya sosialisasi PKL, BPJS Batam sekupang juga ikut mensosialisasikan pentingnya nelayan mengikuti program Jamsostek (Jaminan Sosial Ketenagakerjaan). Apalagi nelayan memiliki resiko kecelakaan yang cukup besar.

Kepala BPJS Ketenagakerjaan Batam Sekupang Seto Tjahjono mengatakan, nelayan bisa memanfaatkan BPJS Ketenagakerjaan kategori bukan penerima upah (BPU). Nelayan hanya perlu memenuhi dua syarat yaitu memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan usia belum 65 tahun.

Selain NIK yang disyaratkan untuk mendaftar, peserta juga harus memiliki KK, buku nikah dan akta/ surat lahir. Persyaratan administrasi tersebut dibutuh untuk syarat klaim santunan kematian. “Di dalam BPU ada Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM), juga ada program Jaminan Hari Tua (JHT). Kalau JHT bukan merupakan kewajiban, tetapi bisa diikuti secara sukarela oleh peserta,” katanya.

Kepala Bidang Ketenagakerjaan BPJS Ketenagakerjaan Cabang Sekupang, Arya mengatakan, BPJS sudah mencatat sampai saat ini baru 1300 nelayan di Kota Batam yang baru terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Itupun hanya kapal perusahaan yang berukuran 30 GT ke atas.

BPJS Ketenagakerjaan kata Arya, terus mendorong kapal nelayan per orang juga ikut mendaftar kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. “Kita sudah koordinasi sama syahbandar, dalam perizinan sudah diwajibkan mengurus BPJS Ketenagakerjaan, kemudian sosialisasi kepada nelayan melalui kecamatan juga sudah dilakukan,” katanya.

BPJS Ketenagakerjaan menargetkan setidaknya 7.500 orang nelayan harus ikut kepesertaan pada tahun 2023 mendatang dari total 15.000 orang nelayan berdasarkan Dinas Perikanan Batam.

Kepala Bidang Perikanan Tangkap Dinas Perikanan Batam, Witono menyambut baik sosialisasi yang dilaksanakan oleh KKP dan BPJS Ketenagakerjaan. Pasalnya sejak Undang-undang Cipta Kerja diterbitkan banyak aturan usaha yang berubah yang perlu sosialisasi. “Supaya usaha perikanan tangkap dapat berkesinambungan,” katanya.

baca juga : Derita Nelayan Tradisional Setelah Harga BBM Naik

 

Seorang nelayan tradisional dari Pulau Batam, Kepulauan Riau, yang melaut di daerah perbatasan antara Singapura-Indonesia. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia

 

Nelayan Keluhkan BBM Langka

Setelah sosialisasi berlangsung, nelayan menyampaikan keluhan mahal dan langkanya BBM. Mereka kesulitan mencari sumber bahan bakar, terutama nelayan yang berada di pulau-pulau kecil.

“BBM sangat susah didapatkan, apakah ada alternatif untuk kami mendapatkan BBM,” ujar Dorman salah seorang nelayan yang berasal dari Pulau Mubut Kota Batam.

Selain langka, harga BBM juga naik. Bahkan satu botol harga pertalite seharga Rp15 ribu. Sementara hasil tangkapan mereka terus berkurang.

Begitu juga yang disampaikan nelayan Pulau Galang, Fahrizal. Kenaikan harga BBM membuat pendapatnya terus menurun. Di Pulau Galang Fahrizal mengaku harga satu botol pertalite Rp20 ribu. “Sebelum naik, harganya hanya Rp14 ribu,” katanya.

Jika dihitung satu kali mealut pendapatanya melaut rata-rata Rp500 ribu, tetapi modal melaut termasuk BBM bisa mencapai Rp 350 ribu. “Untungnya hanya Rp150 ribu, belum lagi kita bayar ABK lain,” katanya.

Mansur mengatakan saat ini Menteri Kelautan dan Perikanan sudah berkoordinasi dengan staf kepresidenan dan Pertamina mencarikan solusi BBM nelayan. “KKP saat ini sudah berupaya bagaimana nelayan bisa murah dan mudah mendapatkan BBM,” katanya.

Mansur mengusulkan, jika memang akses masyarakat pulau kesulitan mendapat BBM, bisa saja solusinya membangun Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPDN). “Dinas terkait bisa pelajari untuk pembangunan SPDN ini,” katanya.

Dalam siaran pers belum lama ini, KKP akan mempermudah akses bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi untuk nelayan kecil. Begitu juga KKP akan mencari solusi dengan laporan kelangkaan BBM di kalangan nelayan kecil.

“Begitu pula dengan isu kenaikan harga BBM, KKP akan terus mengupayakan agar Pertamina memberikan harga terbaik untuk nelayan,” kata Direktur Jenderal Perikanan Tangkap M. Zaini Hanafi pada saat pendampingan kunjungan kerja spesifik Komisi IV DPR RI di Pelabuhan Perikanan (PP) Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah, awal September lalu.

 

Exit mobile version