Mongabay.co.id

Rawan Longsor, Pemerintah Pasang Alat Peringatan Dini di Sukabumi dan Bandung Barat

Pencarian korban akibat bencana longsor terus dilakukan tim SAR. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Tanah longsor, salah satu bencana paling mematikan di Indonesia. Periode 2015-2020, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tercatat di seluruh Indonesia alami longsor 4.471 kali, dengan korban meninggal 792 jiwa. Kalau ditambah dengan korban hilang, luka-luka, dan kerusakan atas bangunan, fasilitas umum, dan lahan pertanian maka kerugian baik material maupun nonmaterial sangatlah besar.

Selama tahun 2022 sampai 27 September saja, sudah 364 kali bencana longsor atau tertinggi ketiga setelah banjir 1.033 kasus dan cuaca ekstrem 480 kejadian.

Berbagai upaya dilakukan untuk meminimalisir korban jiwa maupun material dampak longsor, salah satu lewat pemasangan sistem peringatan dini. Dengan instrumen ini, warga bisa segera evakuasi sesaat sebelum bencana. Sistem perencanaan dini menjadi bagian integral kesiapsiagaan menghadapi bencana.

Guna meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat di daerah rawan bencana longsor, BNPB bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) memasang Instrumen peringatan dini bencana longsor, atau landslide early warning system (LEWS).

Pada penandatanganan kerja sama 7 September lalu lewat daring itu hadir pejabat pembuat komitmen BNPB, Linda Lestari, dan UGM yaitu Dekan Fakultas Teknik UGM Selo.

Para pihak sepakat menerapkan teknologi peringatan dini bencana longsor yang mudah dioperasikan masyarakat. Juga teknologi yang dapat memberikan peringatan akurat untuk meminimalkan dampak korban jiwa dan kerugian harta benda akibat longsor.

Instrumen LEWS yang bakal dipasang di dua tempat, Kabupaten Bandung Barat dan Sukabumi tahun ini juga ditetapkan sebagai prioritas nasional 2022. Longsor di dua tempat ini tercatat paling tinggi, mengalahkan jenis bencana lain.

Berdasarkan data BNPB, kurun 2015-2020, longsor di Bandung Barat ada 91 kali, dengan korban meninggal tujuh jiwa. Di Sukabumi, ada 131 kali, dengan korban 50 jiwa.

“Komitmen dari pemerintah daerah sangat perlu dalam pemeliharaan stimulan alat peringatan dini. BNPB dan UGM perlu bersama-sama bersinergi agar kegiatan ini dapat dilaksanakan sebaik mungkin,” kata Afrial Rosya, Direktur Peringatan Dini BNPB dari rilis berita.

 

Kondisi Jembatan Katapang di Jalan M. Isha, Katapang, Purwaharja, Kota Banjar, Jabar yang amblas karena tanah dibawah jalan yang longsor akibat hujan deras pada Minggu malam (09/20/2016). Foto : BNPB

 

Penerapan sistem ini, katanya, pendukung Desa Tangguh Bencana (Destana), yang merupakan cikal bakal ketangguhan bangsa.

Selo, Dekan Fakultas Teknik UGM, menyambut baik keberlanjutan kerja sama antara UGM dan BNPB. Dia berharap, kerja sama ini mendorong inovasi-inovasi baru dari UGM di bidang kebencanaan.

Dia bilang, kerja sama dengan BNPB sebenarnya sudah berlangsung cukup lama. Sepanjang 2008-2021, para pihak telah menerapkan sistem peringatan dini bencana longsor serta banjir di lebih dari 100 kabupaten atau kota pada 32 provinsi di Indonesia.

“Kerja samanya sudah lama sekali dengan Direktorat Peringatan Dini, inisiasi sejak 2008. Mulai banyak pemasangan 2015, lalu berkembang ke seluruh Indonesia,” ungkapnya, kepada Mongabay.

Pada 2008, BNPB berdiri lewat Peraturan Presiden Nomor 8/2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menyusul Undang-undang Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Sejak itu, BNPB aktif menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi, yang diharapkan bisa mempercepat pencapaian penanggulangan bencana.

Menurut Selo, UGM berkomitmen mengawal operasional sistem ini dan terus mengembangkan inovasi-inovasi baru untuk menjawab tantangan ke depan.

Inovasi itu secara kelembagaan diemban GAMA-InaTek, sebagai pusat unggulan inovasi teknologi mitigasi bencana. Ini merupakan lembaga penelitian yang fokus pada mitigasi bencana longsor, banjir, dan gunung berapi. Alat peringatan dini yang sudah dikembangkan saat ini selain deteksi tanah longsor juga banjir, tsunami, dan aliran lahar.

Selain dengan BNPB, kerja sama juga dilakukan dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, perusahaan pertambangan dan eksplorasi sumber daya alam, Pertamina, dan International Consortium on Landslide UNESCO. Pemasangan juga tak hanya di Indonesia, namun juga di luar negeri seperti Myanmar, Tiongkok, Vietnam, Kroasia.

 

Pencarian korban akibat bencana longsor terus dilakukan tim SAR. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Temuan

Inovasi instrumen deteksi dini longsor ini berlatar belakang risiko bencana tinggi di berbagai wilayah di Indonesia. Penyebabnya, antara lain letak geeografis Indonesia, perubahan fungsi lahan, kemiringan tanah, krisis iklim, dan gempa bumi.

Orang di balik terciptanya alat-alat di UGM ini adalah Faisal Fathani, dosen Faktultas Teknik UGM. Kala itu, dia selesai menempuh pendidikan doktoral di Jepang, dengan penelitian tentang longsor, dan model matematika untuk memprediksi bencana ini.

Sepulang dari Jepang, dia ditantang Dwikorita Karnawati, koleganya, untuk membuat alat deteksi longsor. Kebetulan ada alat serupa buatan Jepang namun mahal, dan pengoperasian sulit. Kalau rusak alat harus bawa ke Jepang.

Mengutip situs web UGM, Faisal berhasil membuat instrumen deteksi dini tanah longsor generasi pertama pada 2006. Dalam perkembangannya, alat ini dipasang di berbagai daerah rawan bencana longsor dan area penambangan.

Instrumen dilengkapi beberapa sensor, antara lain extensometer atau alat deteksi pergerakan tanah. Kemudian tiltmeter atau alat deteksi perubahan posisi kemiringan permukaan tanah, dan ultra-sonic water level yaitu alat deteksi perubahan permukaan air pada alur sungai. Semua terhubung dalam satu server dengan memori digital.

Cara kerja alat ini, katanya, mendeteksi jarak keretakan tanah untuk menentukan potensi longsor. Apabila, dalam kondisi bahaya, katanya, alat akan mengirim sinyal hingga sirine berbunyi sebagai bentuk peringatan dini.

Ketika sirine berbunyi, masyarakat harus waspada dan melakukan evakuasi. Dari tahun ke tahun, katanya, alat ini terus disempurnakan hingga makin mudah. Sinyal peringatan pun bisa dikirim ke ponsel warga.

Instrumen ini tercatat pernah membantu penduduk di lokasi longsor, seperti November 2007, di Pagentan, Banjarnegara berhasil evakuasi dini atau empat jam sebelum longsor terjadi.

Pengalaman nyaris sama terjadi di Aceh Besar November 2015. Alat mengeluarkan peringatan dini lima jam sebelum longsor dan banjir bandang. Warga pun punya cukup waktu untuk menyelamatkan diri.

Temuan alat Faisal Fathani dan Dwikorita Karnawati ini telah menghasilkan beragam paten seperti extensometer pembacaan manual sederhana untuk pemantauan tanah longsor dan peringatan dini. Lalu, extensometer bawah tanah untuk mengukur laju retakan di bawah permukaan tanah, juga extensometer di atas permukaan dengan pencatatan data.

Kemudian, extensometer dengan pencatatan kertas otomatis untuk pemantauan tanah longsor dan peringatan dini, dan T-shape tiltmeter untuk mengukur deformasi tanah longsor.

Pada 2018, sistem peringatan dini gerakan tanah berbasis masyarakat yang diusulkan Indonesia resmi memperoleh ISO 22327. Dengan begitu, LEWS menjadi rujukan sertifikasi internasional untuk standar peringatan dini bencana longsor.

Sementara pada 2020, usulan Indonesia kembali diterima dengan penerbitan ISO 22328 untuk sistem peringatan dini bencana berbasis masyarakat.

 

Longsor di Desa Sukatani, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, pertengahan Febuari lalu, tepat 10 meter dari pinggir Jalan Tol Purbaleunyi km 188. Longsor merusakkan80 rumah, 3 hektare sawah, dan mengungsikan 240 jiwa. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version