Mongabay.co.id

Masyarakat Kelola dan Rawat Bersama Taman Nasional Wasur

 

 

 

 

Lelaki 35 tahun ini aksi tunggal saat Presiden Joko Widodo berkunjung ke Merauke, 28 November 2018. Kala itu, dia sedang berada di Pasar Mopah, Merauke, Papua. Tampak banyak aparat keamanan berjaga di sekitar Tugu Kapsul. Ternyata, presiden akan melewati jalan itu.

Baginya, ini kesempatan untuk menyuarakan persoalan lingkungan hidup d Papua. Hutan dan alam Papua, terkuras untuk industri skala besar seperti tambang dan perkebunan sawit.   Bersegera dia mencari kertas berukuran A3 lalu menuliskan “SOS Our Earth.” Dia tuliskan itu dengan arang kayu.

Dia menerobos barisan aparat kemanan sambil menunjukkan tulisan itu. Dia pun digelandang ke Polres Merauke. Setelah interogasi, dilepas setelah bilang, kalau dia aktivis lingkungan.

Sosok yang aksi solo ini adalah Agustinus Mbesway Mahuze. Pria asal Kampung Wasur, Merauke, Papua ini begitu khawatir dengan kondisi lingkungan hidup di Papua.

“Sengaja tulisan itu ingin dibentangkan di hadapan Presiden Joko Widodo karena kerusakan terjadi di Merauke oleh beberapa perusahaan sawit. Ini berdampak buruk bagi manusia dan lingkungan hidup. Sudah pasti bongkar hutan lagi,” kata Mahuze, saat berbincang dengan Mongabay, Agustus lalu.

 

Agustinus Mbesway Mahuze, tokoh pemuda asal Kampung Wasur yang prihatin dengan keadaan kedaan penduduk dan tergerak untuk berakhi nyata. Foto: Agapitus Batbual/ Mongabay Indonesia

Keprihatinan Mahuze muncul melihat kondisi hutan di Papua, yang terus tergerus. Sebagai orang Marind, hatinya berontak.

Jauh sebelum aksi itu, terpikirkan oleh Mahuze, perlu upaya untuk menyelamatkan alam dan bumi termasuk Papua. Dia pun ingin melakukan sesuatu yang bisa berdampak pada masyarakat adat Papua, sekaligus menjaga hutan dan lingkungan hidupnya.

“Ide besar adalah segala ekosistem harus terjaga lebih dahulu. Dia pun membentuk Kelompok Mahuze Mandiri supaya masyarakat turut menjaga hutan,” katanya.

 

Salah satu lokasi ekowisata di Kampung Wasur Foto: Agapitus Batbual

 

Sejak 2014, dia sudah mendampingi warga di Kampung Wasur. Kelompok Mahuze Mandiri di Kampung Wasur ini terletak di Taman Nasional Wasur (TNW).

Dengan ada kelompok ini, harapannya, masyarakat bisa berdaya dengan kekayaan dan potensi alam yang ada sekaligus menjaganya.

“Penghentian penebangan, semisal kayu balok, atau demi pengusaha di Merauke, apapun alasannya, tidak boleh lagi. Mereka [pengusaha] mengeruk keuntungan dan masyarakat tanpa sadar sangat merugi,” katanya.

 

Masyarakat Kampung Wadur, hidup bersama hutan, memanfaatkan dan merawatnya. Foto: Agustinus Mbesway Mahuze,

 

Mahuze bilang, kebetulan Wasur terletak di Gapura TNW yang menjadi potensi alam yang bisa masyarakat adat manfaatkan sekaligus turut menjaga ekosisitem. Mahauze Mandiri, menerapkan cara mengelola hutan berbasis kearifan lokal.

Bersama masyarakat, Mahuze mengembangkan ekowisata misal, tempat pemandian dan bumi perkemahan.

“Tinggal mereka manfaatkan dua tempat itu, dengan mengelola untuk pendapatan Kampung Wasur,” katanya, seraya bilang, warga mendapatkan pelatihan manajemen ekowisata.

Dia bilang, semua pengurus kelompok berkerja sama menata Kampung Wasur. Semua marga di Wasur bekerja sama dengan pihak lain, seperti dengan Balai Taman Nasional Wasur.

 

Dewanto Talubun, Direktur LSM Harmoni Alam Paapuanan. Foto: Agapitus Baatbual/ Mongabay Indonesia

 

Di wilayah Marga Mahuze, misal, ada tempat sakral karena jadi perjalanan leluhur, tempat isitrahat usai berburu yang kini jadi zona inti oleh BTNW.

Ke depan, katanya, tempat sakral juga bisa jadi ekowisata religi yang bisa Kelompok Mahuze kelola. Selain itu, pada saat tertentu mereka juga menampilkan tarian adat, pesta bakar batu, sampai masak sagu yang jadi makanan khas Papua dan lain-lain.

Selain itu, katanya, yang melakukan aksi serupa tak hanya dari Mahuze, tetapi juga marga lain, seperti Marga Ndiken, Gebze, Kaize, Balagaize, Samkakai dan lain-lain.

Dia bilang, sangat penting marga-marga bersatu membangun Wasur lebih baik lagi.

Mahuze mengatakan, beberapa tempat telah jadi ekowisata rohani seperti Gua Bunda Maria, yang terletak di pinggir Jalan Trans Papua, taman anggrek (bualas) dan lain-lain. Dengan mengembangkan ekowisata ini, katanya, akan ada pendapatan marga atau untuk Wasur.

Selain itu, dia juga khawatir bahasa asli hampir punah. Orang Papua, katanya, harus menghidupkan lagi bahasa lokal agar tak kehilangan jati diri.

 

Salah satu lokasi di Kampung Wasur yang masyarakat manfaatkan untuk obyek ekowisata. Foto: dokumen Agustinus Mbesway Mahuze di Favebook

 

Dominggus Bakap, Kepala Kampung Wasur bilang, sudah berdiskusi dengan instansi terkait mengenai rencana pengembangan ekowisata Kampung Wasur. Marga-marga pun sudah duduk bersama untuk pengembangan potensi wilayah dengan kearifan lokal.

Wanto Talubun, Direktur Perkumpulan Harmoni Papuana mendukung Kelompok Mahuze Mandiri dalam menguatkan aksi-aksi masyarakat untuk pengembangan potensi ekonomi sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.

Talubun bilang, Wasur adalah kampung mereka hingga pengelolaan hutan bebasis kearifan lokal, patut mendapat dukungan. Jadi, bagaimana masyarakat manfaatkan alam dan mendapatkan nilai tambah melalui kearifan lokal sekaligus jadi melestarikan lingkungan.

Dalam hal ini, katanya, perlu kerja-kerja kolaborasi antara pemerintah pusat (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), BTNW, BKSDA, dan masyarakat adat maupun kelompok yang peduli.

Yarman, Kepala Kantor Balai Taman Nasional Wasur bilang, Wasur memang punya potensi yang bisa meningkatkan ekonomi masyarakat. Dengan masyarakat ikut mengelola dan menjaganya, kata Yarman, kelestarian alam setiap kampung yang berada dalam kawasan konservasi ini bisa terjaga.

 

Patroli hutan oleh masyarakat Kampung Wasur. Foto: dokumen Agustinus Mbesway Mahuze

 

*******

Exit mobile version