Mongabay.co.id

Laporan: Jumlah Badak Sumatera di Alam Liar Diperkirakan Kurang dari 50 Individu

 

 

Berdasarkan perkiraan jumlah populasi terbaru, mamalia besar yang paling terancam punah di dunia ini, ternyata berada dalam kondisi yang lebih buruk dari yang dilaporkan sebelumnya.

Selama bertahun, para pejabat dan ahli mengatakan ada “kurang dari 80” badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) yang tersisa di alam liar. Angka ini telah menjadi patokan Pemerintah Indonesia maupun Sumatran Rhino Rescue, sebuah konsorsium LSM, yang sejak 2018 menyusun rencana untuk menangkar dan membiakkan lebih banyak badak.

Namun, hasil perkiraan terbaru, yang disusun pengawas perdagangan satwa liar TRAFFIC dan Asian Rhino Specialist Group di IUCN, otoritas konservasi satwa liar global, menyimpulkan bahwa jumlah badak sebenarnya hanya 34-47 individu, turun dari perkiraan minimum sebelumnya yaitu 73 individu pada 2015.

Perkiraan ini didasarkan pada wawancara dengan penjaga lapangan yang telah mencoba menghitung badak di empat lokasi berbeda, menggunakan kamera pengintai serta tanda-tanda badak lainnya seperti jejak kaki, kubangan, dan pola makan berbeda.

“Kami mendapatkan angka-angka ini dari para pemimpin tim lapangan yang paling paham dengan angka sebenarnya,” kata Susie Ellis, salah satu penulis laporan dan mantan pimpinan International Rhino Foundation (IRF).

Badak sumatera hidup di hutan tropis dan dataran tinggi yang terpencil dan lebat, sehingga sangat sulit untuk mendapatkan angka populasinya yang akurat. Mereka adalah satu-satunya hewan dalam genus Dicerorhinus, membuat mereka berbeda dari semua badak hidup lainnya.

Badak terkecil di dunia, mereka juga dikenal dengan rambut shaggy dan disposisi vokal: mereka bersiul, mencicit, dan mendengus. Petugas taman telah menggunakan kamera pengintai dalam beberapa tahun terakhir untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang populasinya, tetapi masih menimbulkan berbagai keraguan.

 

Badak sumatera hidup di hutan tropis yang terpencil dan lebat, sehingga sangat sulit untuk mendapatkan jumlah akuratnya. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

“Luar biasa sulit untuk menemukan, melacak, memantau badak,” kata Nina Fascione, Kepala IRF saat ini, yang tidak terlibat dalam penelitian ini. “Mereka adalah hewan tertutup. Hidup di hutan lebat. Anda bisa berada di sekitar badak sejauh 20 kaki [6 meter] dan tidak menyadarinya.”

Laporan tersebut mencatat bahwa perkiraan populasi saat ini mewakili penurunan 13% setiap tahun dari 2015-2021. Meskipun populasinya diyakini menurun, jumlah tersebut mungkin juga mencerminkan perkiraan angka badak yang sebelumnya terlalu tinggi.

“Menurut saya, populasinya selalu dilebih-lebihkan, mulai sejak 2008 atau setelahnya,” kata Ellis.

Menurut sebuah studi, populasi badak liar dibagi menjadi empat wilayah berbeda. Para peneliti percaya dua sampai tiga badak liar masih bertahan hidup di Kalimantan (selain itu, satu badak saat ini hidup di penangkaran di sana); 12-14 individu di Taman Nasional Way Kambas di Sumatera bagian selatan (delapan lainnya tinggal di pusat penangkaran); dan populasi terbesar di Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera bagian utara. Di sini, kamera pengintai telah merekam 18 individu, tetapi para peneliti berpikir mungkin masih ada 20-30 yang tersisa.

Perkiraan populasi juga menyatakan bahwa badak mungkin berkeliaran di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, yang juga terletak di Sumatera bagian selatan. Namun, tidak ada badak yang terdokumentasi di taman ini selama bertahun-tahun, dan bahkan kamera pengintai gagal menangkap jejak mereka.

“Sulit dipercaya jika ada badak sumatera yang masih tersisa di sana,” kata Ellis.

 

 

 

Namun, beberapa otoritas taman nasional berpendapat bahwa beberapa mungkin masih bertahan. Perkiraan baru-baru ini mengatakan, kurang dari lima individu mungkin berada di taman nasional.

“Sulit untuk membuktikan sesuatu yang negatif,” kata Fascione. “Kami tidak melihat tanda-tanda badak, meskipun saya mendengar beberapa hal yang bermacam-macam. Ada cukup banyak orang di lapangan yang menunjukkan bahwa mungkin masih ada beberapa badak, yang saya kira tidak dapat diacuhkan sepenuhnya.”

Dia menambahkan, IRF bersedia membayar untuk menganalisis setiap sampel yang dicurigai kotoran badak, jika ada yang dibawa (untuk diteliti). Para ahli sering sulit membedakan kotoran tapir dan badak, sama seperti mereka kebingungan melihat jejak kaki kedua mamalia besar tersebut.

Jika ada badak yang bertahan hidup di Sumatera atau di Kalimantan, populasinya tidak cukup besar untuk menopang dirinya sendiri, bahkan dalam jangka pendek.

Badak sumatera, seperti semua badak lainnya, menderita akibat perburuan manusia selama ribuan tahun. Di zaman moderen, permintaan cula badak — untuk berbagai manfaat kesehatan yang belum pernah dapat dibuktikan secara medis — telah mendorong setiap spesies badak menuju kepunahan.

Meskipun penjaga hutan tidak menemukan bukti perburuan badak sumatera dalam beberapa tahun terakhir, Ellis mengatakan dia “Percaya bahwa perburuan masih terus berlanjut,” dan menambahkan bahwa “Perlu ada intervensi pemerintah yang jauh lebih agresif.”

Hari ini, badak sumatera mungkin lebih terancam oleh fakta sederhana bahwa hanya sedikit populasi tersisa, sehingga mereka jarang bertemu satu sama lain dan berhasil berkembang biak. Badak sumatera betina umumnya menderita masalah reproduksi, membuat proses reproduksi baik di alam liar maupun di penangkaran menjadi lebih menantang.

Seperti banyak megafauna lainnya, badak sumatera juga berkembang biak dengan sangat lambat, dengan masa kehamilan 15-16 bulan dan minimal tiga hingga empat tahun antar kelahiran anak.

 

Anak badak sumatera yang berada di Suaka Badak Sumatera, Way Kambas, Lampung. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay

 

Penurunan bekepanjangan spesies ini menyebabkan konservasionis memberlakukan upaya penangkaran yang banyak kesalahan pada 1980-an, tetapi akhirnya menghasilkan kelahiran anak badak mulai tahun 2000-an. Yang terbaru lahir pada bulan Maret tahun ini, sehingga jumlah total badak yang berada di penangkapan menjadi sembilan [di Sumatera dan Kalimantan], meskipun perkembangbiakannya tetap sangat lambat.

Rencana Penyelamatan Badak Sumatera untuk menangkap lebih banyak individu dari alam untuk meningkatkan program penangkaran (banyak individu di penangkaran saat ini terkait langsung) tertunda karena pandemi COVID-19.

Permintaan pernyataan komentar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia belum dijawab, saat tulisan ini dipublikasikan. Namun, Fascione mengatakan dia yakin para pejabat Indonesia menyadari situasi”mengerikan” ini dan sedang berupaya  merespons.

“Pemerintah Indonesia sedang melakukan banyak hal untuk bergerak maju. Mereka benar-benar melakukannya. Mereka sedang mengerjakan rencana aksi darurat. Semua direktur taman nasional sangat mendukung hal ini dan saling bekerja sama,” kata Fascione, seraya menambahkan bahwa dia yakin penangkapan badak akan dimulai dengan sungguh-sungguh tahun depan.

“Saya pikir ini hal yang jelas bagi semua orang… Dulu ada lebih banyak ketidaksepakatan intelektual di antara [konservasionis tentang] cara terbaik ke depan. Kabar baiknya adalah, sekarang semua orang berada di jalan pemikiran yang sama.”

 

Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: New estimate of less than 50 Sumatran rhinos shows perilous population drop. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita.

 

Exit mobile version